Mohon tunggu...
kevin prayoga
kevin prayoga Mohon Tunggu... Seniman - Aku adalah dia yang tak kau kenal.

Kemandirian ekonomi adalah kemerdekaan ideologi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Stunting di Negeri Kaya Raya: Kutukan Atau Ketidakadilan?

9 Desember 2024   22:22 Diperbarui: 9 Desember 2024   22:22 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Indonesia, negeri yang dijuluki zamrud khatulistiwa, sejatinya memiliki segala potensi untuk menjadi surga di bumi. Dengan laut yang membentang seluas 6,4 juta kilometer persegi, wilayah ini menjadi rumah bagi beragam spesies ikan dan hasil laut yang melimpah. Tanahnya yang subur, diberkati dengan abu vulkanik yang memperkaya unsur hara, membuatnya ideal untuk bercocok tanam, dari padi hingga palawija. Hutan tropisnya, yang menjadi paru-paru dunia, juga menyimpan kekayaan flora dan fauna yang tidak ternilai. Seolah, alam Indonesia telah menyerahkan kunci keberlimpahan kepada rakyatnya. 

Namun, kenyataan berkata lain. Di tengah kekayaan yang luar biasa ini, masih ada sekitar 21,6% anak Indonesia yang tumbuh kerdil akibat stunting---sebuah kondisi kronis yang mencerminkan kurangnya asupan gizi yang cukup pada 1.000 hari pertama kehidupan mereka. Sebuah ironi yang pedih: di negeri dengan limpahan sumber daya, masih banyak anak yang tidak mendapatkan hak dasar mereka atas gizi yang memadai. Apakah ini salah mereka yang lahir di desa terpencil? Atau kutukan bagi rakyat kecil yang terpinggirkan oleh kapitalisasi hasil alam negeri ini?

Sebagian mungkin akan menyalahkan ketidakadilan dalam distribusi sumber daya. Hasil tangkapan laut, misalnya, lebih banyak diekspor untuk memenuhi pasar global, sementara anak-anak nelayan makan nasi tanpa lauk. Demikian pula, tanah yang subur sering kali diubah menjadi lahan monokultur untuk ekspor seperti sawit atau tebu, menggusur kebun kecil yang dahulu menghasilkan sayuran dan buah-buahan untuk konsumsi lokal. Akibatnya, keluarga di pedesaan menghadapi dilema yang tragis: mereka tinggal di tanah subur tetapi sulit mengakses makanan bergizi.

Mungkin ini bukan sekadar ironi, melainkan sebuah refleksi atas bagaimana prioritas pembangunan dikelola. Ketika angka pertumbuhan ekonomi menjadi tolok ukur utama keberhasilan, masalah dasar seperti gizi anak sering kali tersisihkan. Dengan segala keberlimpahan sumber daya ini, stunting seharusnya menjadi bagian dari masa lalu, bukan momok yang terus menghantui masa depan anak-anak Indonesia. Ataukah, seperti yang sering disebut dengan nada sinis, ini memang kutukan? Kutukan sebuah bangsa yang terlalu sibuk membanggakan potensi tanpa benar-benar merangkul rakyat kecil yang hidup di bawah bayang-bayangnya.

Kita bangga dengan fakta bahwa Indonesia memiliki 17.000 pulau, laut yang membentang seluas 6 juta kilometer persegi, dan beragam jenis ikan yang konon cukup untuk memberi makan dunia. Namun, anak-anak kita yang tinggal di pesisir, ironisnya, justru mengalami kekurangan gizi.

"Mungkin ikan-ikan itu terlalu sibuk berenang di laut yang luas untuk ditangkap," begitu kira-kira alasan yang masuk akal. Atau barangkali, ikan-ikan itu lebih suka masuk ke ekspor daripada panci-panci di dapur rumah tangga nelayan. Jangan lupa, ikan yang segar tentu lebih berharga di pasar global dibandingkan dengan anak-anak nelayan yang membutuhkan protein untuk tumbuh kembangnya.

Tanah Indonesia dikatakan begitu subur hingga tongkat kayu pun bisa tumbuh menjadi tanaman. Tapi rupanya, anak-anak di desa-desa yang dikelilingi sawah dan kebun tetap tumbuh pendek. Mengapa? Jangan-jangan tanah kita hanya subur untuk tanaman ekspor seperti kelapa sawit dan tebu, sementara sayur dan buah-buahan yang kaya nutrisi hanya menjadi pelengkap festival panen.

Faktanya, akses terhadap makanan bergizi sering kali menjadi masalah. Produk hasil tani yang seharusnya memberi makan masyarakat lokal malah dikirim ke pasar kota atau diekspor demi devisa. Di desa-desa, anak-anak memakan nasi tanpa lauk atau bahkan hanya dengan garam. Tapi, siapa yang peduli? Devisa kita bertambah, sementara anak-anak kita tumbuh kerdil. Bukankah itu harga kecil yang pantas untuk pembangunan?

Di negara dengan budaya kuliner yang kaya, makanan kita sering kali menjadi lambang prestise sosial. Kue-kue manis penuh gula yang diiklankan dengan wajah anak-anak bahagia menjadi kebanggaan di meja makan. Sementara itu, kebutuhan dasar seperti protein dan sayuran dianggap mewah, bahkan sulit dijangkau oleh sebagian besar rakyat.

Dan apa yang lebih ironi dari "beras subsidi"? Beras dengan harga murah ini sering kali berkualitas rendah, tanpa kandungan gizi yang cukup. Sebuah solusi yang ironis untuk sebuah masalah gizi kronis.

Tentu saja, kita tidak boleh menyalahkan siapa pun. Menyalahkan kebijakan publik yang tidak berpihak pada rakyat kecil? Itu terlalu klise. Menyalahkan korupsi yang menggerogoti anggaran kesehatan? Tidak sopan. Menyalahkan ketimpangan akses terhadap makanan bergizi? Tidak bijaksana. Lebih mudah jika kita menerima bahwa stunting adalah "kutukan" yang diwariskan oleh leluhur kita. Bukankah ada ungkapan bahwa penderitaan adalah bagian dari kebijaksanaan hidup?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun