Mohon tunggu...
kevin prayoga
kevin prayoga Mohon Tunggu... Seniman - Aku adalah dia yang tak kau kenal.

Kemandirian ekonomi adalah kemerdekaan ideologi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Fenomena Banyaknya Perempuan Independen dan Sedikitnya Pria Mapan

2 Desember 2024   13:52 Diperbarui: 2 Desember 2024   14:00 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Belakangan ini, media sosial diramaikan dengan pernyataan Prilly Latuconsina yang viral di TikTok. Ia mengungkapkan pendapatnya tentang fenomena sosial yang dianggap relevan dengan kondisi saat ini: semakin banyak perempuan yang mandiri secara ekonomi dan emosional, sementara pria yang benar-benar mapan---baik dalam hal finansial maupun kehidupan pribadi---tampaknya semakin sedikit. Ucapan ini menjadi pemantik diskusi yang lebih luas tentang dinamika hubungan modern dan perubahan peran gender dalam masyarakat.

Kemunculan perempuan independen di era modern merupakan hasil dari perjuangan panjang menuju kesetaraan gender. Kini, perempuan tidak lagi hanya dipandang sebagai "pendamping" pria, tetapi juga sebagai individu yang memiliki hak dan kapasitas untuk menentukan jalan hidup mereka. Tren ini semakin terlihat dalam berbagai aspek kehidupan, seperti pendidikan, karir, dan kepemimpinan.

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa partisipasi perempuan dalam pendidikan tinggi terus meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini sejalan dengan berkembangnya kesadaran masyarakat tentang pentingnya memberikan akses pendidikan yang setara bagi anak perempuan. Perempuan masa kini memiliki kesempatan yang sama untuk meraih gelar pendidikan tinggi, meniti karir profesional, atau menjadi pengusaha yang sukses.

Fenomena ini menciptakan generasi perempuan yang tidak lagi bergantung pada pasangan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Mereka mampu membiayai diri sendiri, memiliki rumah, mobil, dan gaya hidup yang nyaman. Selain itu, perempuan independen juga menunjukkan keberanian dalam mengambil keputusan hidup, termasuk memilih untuk menunda pernikahan atau bahkan menjalani hidup tanpa pasangan jika tidak menemukan pria yang sesuai dengan nilai-nilai mereka.

Namun, kemandirian ini juga membawa konsekuensi dalam hubungan personal. Banyak perempuan independen merasa sulit menemukan pria yang "selevel" dalam hal ambisi, visi, atau kemapanan. Hal ini menjadi sumber frustrasi, terutama dalam budaya yang masih menempatkan pria sebagai pemimpin atau tulang punggung dalam hubungan.

Di sisi lain, menjadi pria mapan di era modern bukanlah tugas yang mudah. Tekanan sosial yang kuat masih mengharapkan pria untuk menjadi penyedia utama dalam rumah tangga, meskipun kondisi ekonomi semakin sulit. Ketimpangan ini diperburuk oleh tantangan global seperti resesi ekonomi, tingkat pengangguran yang tinggi, dan biaya hidup yang terus meningkat.

Tidak sedikit pria yang merasa terjebak dalam ekspektasi masyarakat ini. Sebagian besar dari mereka harus bersaing dalam dunia kerja yang kompetitif, dengan peluang yang tidak selalu mendukung. Mereka juga menghadapi tekanan untuk segera "sukses" di usia muda, sebuah standar yang terkadang tidak realistis dan mengabaikan proses bertahap menuju kemapanan.

Selain itu, budaya generasi milenial dan Gen Z cenderung lebih santai dalam merencanakan masa depan dibandingkan generasi sebelumnya. Banyak pria muda yang lebih memilih mengejar kebahagiaan pribadi, seperti menjelajahi hobi, bepergian, atau mengejar passion, dibandingkan langsung fokus pada pencapaian finansial. Hal ini menciptakan ketimpangan yang nyata antara ekspektasi dan kenyataan.

Ketidakseimbangan antara perempuan yang semakin independen dan pria yang kesulitan mencapai kemapanan ini memunculkan dinamika baru dalam relasi modern. Beberapa pihak melihat fenomena ini sebagai masalah sosial yang perlu diatasi, sementara yang lain menganggapnya sebagai refleksi dari perubahan paradigma dalam hubungan gender.

Dalam budaya tradisional, pria sering kali dianggap sebagai pencari nafkah utama, sementara perempuan bertugas mengurus rumah tangga. Namun, pola ini kini bergeser. Perempuan tidak hanya menjadi pencari nafkah, tetapi juga pemimpin dalam banyak aspek kehidupan. Di sisi lain, pria diharapkan untuk tidak hanya mapan secara finansial, tetapi juga mampu mendukung pasangan mereka secara emosional dan intelektual.

Sayangnya, tidak semua pria siap menghadapi perubahan ini. Beberapa di antaranya merasa terancam oleh keberhasilan perempuan, yang akhirnya menciptakan jarak emosional dalam hubungan. Di sisi lain, perempuan independen sering kali menginginkan pasangan yang setara, baik dalam hal pencapaian maupun visi hidup.

Fenomena ini dapat dipandang dari dua sisi. Di satu sisi, ketimpangan ini bisa menjadi tantangan serius dalam membangun hubungan yang sehat. Kemandirian perempuan sering kali disalahartikan sebagai bentuk "keangkuhan," sementara pria yang belum mapan dianggap "tidak layak."

Namun, di sisi lain, kondisi ini juga membuka peluang untuk menciptakan hubungan yang lebih setara. Dalam hubungan yang ideal, kemapanan tidak hanya diukur dari sisi finansial. Kesiapan emosional, kemampuan komunikasi, dan dukungan satu sama lain adalah elemen yang jauh lebih penting.

Pernyataan Prilly Latuconsina bukan sekadar opini, tetapi cermin dari dinamika sosial yang sedang berubah. Perubahan ini menantang kita untuk mendefinisikan ulang apa artinya kemapanan dan kemandirian dalam hubungan.

Bagi perempuan, fenomena ini adalah bukti bahwa mereka telah berhasil mendobrak batasan-batasan tradisional. Bagi pria, ini adalah panggilan untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan zaman tanpa kehilangan jati diri. Pada akhirnya, hubungan yang sehat tidak didasarkan pada siapa yang lebih "mapan" atau lebih "mandiri," tetapi pada kemampuan untuk saling menghormati dan mendukung.

Dengan membuka ruang untuk diskusi yang lebih inklusif, kita dapat menciptakan masyarakat yang menghargai perbedaan dan mempromosikan kesetaraan dalam setiap aspek kehidupan. Fenomena ini, meski kompleks, memberi kita peluang untuk belajar dan tumbuh sebagai individu dan sebagai komunitas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun