Mohon tunggu...
Kevin Julianto
Kevin Julianto Mohon Tunggu... Administrasi - Writer. Banker. Announcer.

A Passion Worker.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Saat Jeruk Pontianak Harus Seratus Persen Impor

5 Maret 2014   01:08 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:14 318
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

AFTA 2015 Jeruk Pontianak Sampai Mainan Anak-Anak

AFTA atau Asean Free Trade Area adalah wadah yang menyatukan negara se-Asean untuk bekerjasama dalam perdagangan bebas. Keuntungan AFTA salah satunya adalah adanya link and match dalam perdagangan bebas sehingga roda perekonomian antar negara Asean dapat bergerak cepat dan pembangunannya pun lebih signifikan.

[caption id="attachment_315132" align="aligncenter" width="300" caption="afta.org"][/caption]

Hanya saja, tentu AFTA semestinya menguntungkan Indonesia secara menyeluruh. Agar tidak hanya pihak kapital saja yang mengeruk keuntungan dari adanya AFTA ini. Contoh sederhana. Untuk memenuhi permintaan ikan patin di Indonesia 70 persen impor berasal dari Vietnam. Karena produksi ikan patin di Vietnam, tepatnya Sungai Mekong mencapai 1 juta ton per tahun. Padahal tahun 80 an, Vietnam belajar dan mengintroduksi ikan patin dari perairan Sumatera, tepatnya Sumatera Barat. Tentu dengan adanya AFTA tidak semata trade berdasar lembar permintaan dan penawaran. Perlu adanya development concern dari Indonesia itu sendiri agar volume produksi meningkat dan volume impor bisa diturunkan.

Jeruk Pontianak 100 Persen Impor

Contoh yang sedikit lebih miris adalah Jeruk Pontianak. Dari namanya saja kita bisa tahu kalau itu jeruk made in Pontianak. Sekarang ini benarkah itu, benarkah jeruk tersebut berasal dari Pontianak? Anda boleh cek sendiri, sekarang jeruk Pontianak harus impor dari Malaysia karena di Pontianak sendiri sudah tidak memproduksi jeruk Pontianak. AFTA erat kaitannya dengan komoditas pertanian secara umum.

[caption id="attachment_315130" align="aligncenter" width="300" caption="http://balitjestro.litbang.deptan.go.id/"]

1393930449595035632
1393930449595035632
[/caption]

Karena memiliki irisan langsung dengan petani, yang tentu harus diperhatikan agar tingkat kesejahteraannya meningkat. Intinya AFTA bukan semata hitam diatas putih pemenuhan permintaan penawaran, kerjasama antar negara, tapi justru harus mampu memakmurkan negaranya masing-masing terlebih dahulu. Meski sektor industri juga menjadi perhatian karena membanjirnya produk industri impor menurunkan daya saing pelaku usaha dalam negeri. Hal ini memang tidak begitu nampak di AFTA, tapi di ACFTA atau Asean China Free Trading Area.

AFTA ACFTA dan WTO

Produk China seperti mainan anak yang membanjiri negeri dengan harga bantingan membuat pelaku usaha dalam negeri lesu. Ya, beda kasus dengan AFTA. Hanya saja patut dijadikan pelajaran bahwa AFTA harus berbeda dengan ACFTA. Meski sebenarnya AFTA, ACFTA dan yang beberapa waktu lalu baru diadakan di Indonesia, WTO atau World Trade Organization adalah sama pada dasarnya. Hanya beda ‘baju’nya saja.

[caption id="attachment_315133" align="aligncenter" width="300" caption="asean-summit-2013.tumblr.com"]

13939310201281696221
13939310201281696221
[/caption]

Spirit AFTA harus merujuk pada semangat maju bersama, bukan eksploitasi salah satu negaranya saja. Sehingga Asean bisa sama-sama maju, bukan salah satu negaranya saja.

Ekspor? Tunggu Dulu

Contoh yang harus mulai dihentikan adalah impor ikan lele dari Malaysia dengan harga sangat murah, kisaran 9.000 rupiah per kilo. Sedangkan petani lele lokal menjual kisaran 13.000 per kilo. Wajar dari Malaysia murah, karena kualitasnya pun KW 2, yang sebenarnya tidak layak konsumsi alias barang reject. Tapi, meski low quality ketika produk tersebut masuk ke Indonesia ya pasti laku. Harga murah, siapa yang tak mau? Petani lokal pun melesu. Lain impor lain ekspor. Salah satu upaya pemerintah yang patut diapresiasi adalah pelarangan ekspor rotan mentah.

[caption id="attachment_315131" align="aligncenter" width="300" caption="http://www.thepresidentpost.com/"]

13939306701190158435
13939306701190158435
[/caption]

Alasannya, nilai jual rotan mentah sangat murah. Rotan akan diekspor kalau sudah diolah sehingga bertambah nilai jualnya. Ya, dalam AFTA pun Indonesia tidak boleh asal ekspor. Contoh kegiatan ekspor yang tidak menguntungkan adalah ekspor ikan hias dan teripang. Ikan hias dari Indonesia diekspor ke Singapura. Hasilnya? Singapura mengembangkannya dan menjadi negara penghasil ikan hias nomor satu di dunia.

[caption id="attachment_315134" align="aligncenter" width="300" caption="Rotan antarafoto.com"]

13939312371942071061
13939312371942071061
[/caption]

Teripang dari Indonesia diekspor ke Malaysia. Dengan harga sangat murah. Di Malaysia, teripang diolah lagi diekstrak menjadi suplemen dalam kapsul. Kemana Malaysia menjual suplemen tersebut? Ke Indonesia, dengan harga hampir 20 kali lebih mahal dari harga teripangnya.

Spirit Maju Bersama

Maka, AFTA tahun 2015 Indonesia semestinya siap, siap untuk apa? Siap untuk mendahulukan kepentingan Indonesia itu sendiri terlebih dahulu. Mendahulukan kepentingan petani, pelaku usaha industri, sumberdaya alam dan lainnya agar Indonesia ikut maju saat AFTA dan Asean juga maju.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun