Mohon tunggu...
Kevin Farrel Awanta
Kevin Farrel Awanta Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar

Pelajar Kelas Persiapan Atas SMA Seminari Menengah St. Petrus Canisius Mertoyudan

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Dehumanisasi dalam Digitalisasi Pendidikan

27 September 2024   12:18 Diperbarui: 27 September 2024   12:28 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pendidikan Sebagai Sarana

Pendidikan adalah sarana di mana nilai kehidupan manusia pada zaman modern ini diukur sesuai dengan hasil yang diperolehnya dalam dunia pendidikan. Pendidikan sendiri menjadi titik acuan tiap orang dalam menilai dan dinilai satu sama lain. Kecenderungan untuk melihat seseorang dari riwayat pendidikan terutama akademis maupun keterampilan, telah menjadi habitus yang dinormalisasi. Hal ini memiliki dampak negatif dan positifnya masing - masing karena melalui ini dunia manusia dipandang dalam beberapa sudut pandang.

Pertama - tama perlu memahami posisi dan status manusia sebagai subjek dalam dunia pendidikan. Manusia adalah makhluk yang berkembang dan berproses tanpa henti hingga titik terakhir hidupnya di muka bumi. Namun, dalam perkembangannya yang tak terbatas, munculah berbagai inovasi dan pemikiran baru terutama pada sarana dan prasarana untuk semakin mengetahui tentang bumi yang mereka tinggali. Hakekatnya, manusia dirancang untuk semakin mengetahui, menggali, dan menguasai serta mengolah kekayaan baik alam maupun sesama makhluk hidup.

Pada permulaannya, manusia tak memiliki pendidikan sama sekali hingga sebuah peristiwa sepele menyebabkan suatu gejala ilmiah terjadi dan manusia yang menikmatinya mulai menggunakan akalnya. Manusia belajar memahami karena bahasa yang mereka miliki serta semakin berkembangnya penemuan dibuatlah suatu sarana untuk menyalurkan dan melestarikan temuan - temuan tersebut. Saran ini yang disebut sebagai ilmu pengetahuan yang dilestarikan atau dipanggil dunia pendidikan. Hal - hal baru yang terus ditemukan diolah dan menjadi dasar perkembangan ilmu pengetahuan yang sudah ada. Semakin berkembang, semakin banyak dan kompleks suatu pengetahuan.

Imitasi dan Realitas

Dalam pendidikan yang semakin berkembang apalagi ditambah dengan hadir dan berkembangnya teknologi. Sayangnya, manusia semakin meninggalkan citra kemanusiaannya. Manusia mulai menjadikan dan menganggap diri sebagai robot pengolah ilmu dalam pendidikan. Formalitas dan imitasi terhadap kemanusiaan telah marak terjadi di setiap daerah. Mulai dari penyelewengan martabat, penyalahgunaan sarana prasarana, dan puncaknya dehumanisasi pendidikan.

Realitas pendidikan modern ini menjadi puncak hasil peralihan sarana prasarana dalam pendidikan. Pendidikan yang berfokus pada teknologi dan tanpa teknologi tak dapat berjalan suatu pendidikan. Hal ini berdampak pada ketergantungan dan etika dalam menjaga martabat antara tenaga pendidik dan terdidik. Dalam kasus aktual, marak terjadi terhadap para tenaga pendidik yang mulai menjadikan profesi sebagai rutinitas semata dengan tanggung jawab praktis seperti membuat para terdidik merasa
kembali bekerja rodi pada mental mereka. Imbasnya, para terdidik pun mulai menganggap bahwa dunia mereka bukanlah dunia para pendidik yang tak semua pengetahuan dapat masuk, melainkan yang mereka rasa mendukung lah yang masuk dengan mendewakan teknologi yang ada di tangan mereka sekaligus mengesampingkan para tenaga pendidik yang dirasa kurang proper dengan mereka.

Digitalisasi sendiri adalah sebuah peristiwa dan terminologi yang menjelaskan proses peralihan media dan sarana prasarana pada media digital dari media cetak. Dalam pendidikan berarti perubahan atau terminologi yang menjelaskan peralihan buku cetak dalam pendidikan menjadi buku digital. Titik negatifnya adalah peristiwa culture lag yang menyebabkan perubahan bukan hanya pada buku cetak, tetapi juga pada para siswa maupun guru. Hal ini merubah interaksi layaknya menjadi sebuah data digital yang saling bertabrakan.

Dalam pernyataan Paulo Friere, berbunyi "Panggilan manusia sejati adalah menjadi pelaku yang sadar, yang bertindak mengatasi dunia serta realitas yang menindas atau mungkin menindasnya." Hal ini dapat berarti bahwa pendidikan sekarang malah menjauhkan manusia dari eksistensinya sebagai manusia. Paulo Friere menggambarkannya dengan sistematis dan terstruktur serta berdasarkan filosofi. Manusia yang seharusnya tak terbatas pada daya imajinasi untuk berpikir bebas dan kritis telah menjadi budak pendidikan yang terdigitalisasi di mana peralihan ini tak memiliki kesadaran sama sekali. Seperti sebuah bank rentenir yang menarik/mengambil paksa suatu kebebasan mengkritisi oleh imajinasi manusia.

Manusia Subjek Eksistensi

Manusia hakekatnya adalah subjek. Mereka memiliki eksistensi yang menjadikan diri mereka sebagai subjek. Ketika eksistensi itu hilang, maka manusia hanya hidup berdasarkan ambisi yang meluap. Ambisi yang menguasai menjadi titik awal dari manusia untuk menjadi seperti robot yang sekedar menjalankan perintah awal dan dasar. Sedangkan, eksistensi merupakan suatu hal yang sangat penting bagi manusia untuk menghasilkan reaksi hasil dari aksi lingkungannya.

Konsep Realitas Dehumanisasi

Pertama - tama yaitu konsep realitas dehumanisasi yang telah dikemukakan oleh Paulo Friere. Dalam metode pengajarannya, ia menggunakan pengajaran dengan realitas kontekstual para terdidik atau komunikasi generatif. Ia percaya bahwa pendidikan dialogis atau audiensi antar tenaga pendidik dan terdidik dapat menuntun pada dunia yang manusiawi. Metode yang seperti ini dapat menghasilkan proses sejarah pendidikan yang dialektis.

Saat manusia mempelajari realitas yang dihadapkan padanya atau yang diamatinya, secara langsung ia mempelajari realitas dan membuat proses eleksi. Dengan adanya hasil dari eleksi, manusia mampu menimbang - nimbang serta membandingkan dengan menaruh perhatian atau lebih peka pada peristiwa - peristiwa serta berbagai kontradiksi dalam realitasnya. Hakekatnya juga semua ini sama sekali tak membatasi manusia karena kemampuan untuk timbul dan ikut andil dalam proses sejarah juga karena imajinasi yang dimilikinya. Tak ada satu pun manusia yang bisa dibatasi imajinasinya.

Imajinasi sebagai pusat tak keterbatasan manusia. Manusia hidup dan berelasi melalui bahasa konvensional mereka yaitu bahasa manusia / human word. Dengan konvensionalitas antar manusia dan dirinya sendiri, mereka menamai realitas. Hal ini didasari pada kombinasi pikiran dan tindakan yang terjadi dan tak terpisahkan hubungannya dengan pikiran dan bahasa hingga membuat mereka mampu berefleksi.

Manusia adalah makhluk historis. Kesadaran manusia yang unik dan berbeda menjadikannya makhluk yang historis. Kesadaran yang mampu untuk menyempurnakan hubungan dengan dunia karena kapasitas refleksi dan imajinasi. Melalui itu manusia bertindak sesuai dengan kehendak mereka dan barulah mereka dikatakan bereksistensi yang tidak hanya sekedar hidup.

Sayangnya, sistem pendidikan pada realitas aktual sangat kontras dengan status manusia. Sistem yang membatasi eksistensi bahkan menghilangkan eksistensi kemanusiaan para terdidik dan pendidik. Para pendidik yang menjadi titik mulai / awal sebagai para penderita culture lag "melampiaskan" pada para terdidik. Mengakibatkan para terdidik jatuh dalam tekanan, tuntutan, dan rasionalisasi.

Penyimpangan Peran

Dalam pandangan Paulo Friere, ia menyebutnya dengan ibarat bank. Peran - perannya pun kompleks sesuai dengan realitanya. Para terdidik menjadi bahan atau objek investasi dan jaminan potensial yang tak ada bedanya dengan kumpulan hasil depositor ekonomis yaitu para tenaga pendidik. Para terdidik diperlakukan layaknya "bejana kosong" yang adalah tabungan untuk "modal pengetahuan."

Peran yang diambil dalam sebuah kasus benar menjadi konkrit dan kontekstual. Para tenaga pendidik yang adalah subjek aktif, sedangkan para terdidik adalah objek pasif penurut tanpa eksistensi. Sistem pendidikan pun berakhir dengan sifat negatif. Cenderung pada pandangan bahwa informasi yang guru berikan harus diingat dan dihafalkan. Sehingga timbul pula hasil eksperimen dari objek penurut yaitu objek spekulasi pengetahuan tanpa kesadaran akan realitas.

Hasil sistem pendidikan yang seperti ini lah semakin memberi dampak pada dehumanisasi pendidikan. Friere mengartikannya sebagai pelanggeng hegemoni kaum tertentu dan yang ditindasnya. Menindas dalam konteks ini artinya menanggalkan ide - ide tentang kemanusiaan. Maka, Friere menegaskan gagasan tentang membangun sistem pendidikan progresif dan generatif terhadap permasalahan kehidupan sesuai dengan kemampuan manusia yang sesungguhnya yaitu berefleksi.

Pada kasus aktual, data yang terkumpul dari para terdidik yang sadar akan statusnya kebanyakan telah mengalami depresi berat. Oleh karena stress dan depresi berat, mulailah diambil jalan - jalan pintas seperti penyalahgunaan obat - obatan, perundungan, kekerasan, bahkan bunuh diri. Kasus ini menjadi topik utama keprihatinan hasil dari dunia pendidikan yang belum terolah sepenuhnya. Penindasan ini juga seharusnya menjadi titik pandang pemerintah sebab karena sistem - sistem atau problem baru tanpa solusi.

Sarana Memanusiakan Manusia

Manusia adalah makhluk yang penuh dengan eksistensi dan melalui eksistensi  mereka hidup. Paulo Friere merupakan tokoh yang mencoba memperjuangkan kebebasan dan eksistensi manusia. Dehumanisasi pendidikan yang terjadi pada zaman  ini sangatlah memiliki korelasi dengan dehumanisasi pendidikan yang disampaikan  Paulo Friere yaitu pendidikan yang tidak menjadikan pihak terdidik maupun pendidik sebagai manusia. Peran tetap ada, tetapi peralihan peran dari subjek menuju objek pasif menjadi hal penyimpangan terbesar karena mengubah tata martabat manusia.

Pendidikan perlu memperhatikan realitas dan ditanggapi secara generatif. Melalui pendidikan generatif, sistem pendidikan menjadi sistem yang audiensi atau mendengarkan secara terbuka termasuk terhadap kritik dan belajar satu sama lain. Dengan pendidikan generatif melatih kepekaan akan konteks zaman serta lingkungan yang ada dan menjadi kesadaran tiap pribadi. Tiap pribadi pun akhirnya mampu menemukan eksistensinya masing - masing dalam realitas yang membuatnya hidup.

Solusinya yaitu dengan melatih keterbukaan melalui kasus aktual yang diangkat dalam kurikulum maupun materi pendidikan. Studi kasus sebagai fokus atau jembatan untuk berdiskresi dan saling dengar antar tenaga pendidik dan terdidik. Dr. Erich Fromm mengungkapkan bahwa pendidikan yakni sarana untuk memanusiakan manusia, memberdayakan dan mencerahkan manusia. membentuk manusia sedemikian rupa sehingga menjadi entitas yang tidak cepat diserap industri.

Referensi

https://journal.uinsgd.ac.id/index.php/jaqfi/article/view/4247/2489, 
https://www.merdeka.com/peristiwa/infografis-data-mengejutkan-kasus-bunuh-diri-anak-
104087-mvk.html,
Collins, Denis. 2011 Paulo Freire : Kehidupan, Karya & Pemikirannya. Terjemahan
Heyneardhi dan Anastasia P. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Suharyo, Ignatius. 2009. the Catholic Way. Yogyakarta. Percetakan Kanisius.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun