Mohon tunggu...
Kevin Ekaputra 1854039
Kevin Ekaputra 1854039 Mohon Tunggu... Lainnya - .

.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mata Uang Masyarakat Tahun 1300-1700

8 Februari 2022   11:35 Diperbarui: 8 Februari 2022   12:19 227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Uang merupakan suatu benda yang diterima secara umum oleh masyarakat untuk mengukur nilai, menukar, dan melakukan pembayaran atas pembelian barang dan jasa, pada waktu yang bersamaan bertindak sebagai alat penimbun kekayaan. Kali ini kita akan membahas bagaimana mata uang masyarakat pada tahun 1300-1700. Uang pada zaman Majapahit disebut juga dengan picis. Dalam studi rinci tentang Majapahit, kita membaca mungkin di kerajaan Majapahit abad ke-14, terutama di distrik-distrik pedalaman, barter masih digunakan. Mata uang kerajaan adalah uang Cina. Uang ini diimpor dari Cina dalam jumlah besar. Selain itu, sangat sedikit perhatian yang diberikan kepada mata uang asing ini, seolah-olah impor ini tanpa memiliki konsekuensi apapun. Terlepas dari pandangan tentang perkembangan sebelumnya, diasumsikan bahwa koin impor dari Cina memungkinkan untuk pedagang Cina mendapatkan pijakan dalam perdagangan lada lokal di Jawa Barat abad ke-17. Transaksi lokal bertahap menjadi uang di semua lapisan masyarakat harus belajar menghitung picis.

Jika Majapahit bergantung pada koin impor Cina selama keberadaannya pada tahun 1293-1527, dan jika kita mengganggu kebutuhan moneter Jawa telah konstan selama ini. Ada dua hal yang perlu dicermati. Diskontinuitas dalam produksi koin Cina dan hubungan perdagangan Sino-Jawa akan mengakibatkan kekurangan mata uang di Kerajaan Majapahit. Kekurangan seperti itu akan membutuhkan solusi, mungkin dalam bentuk produksi koin lokal.   

Kesulitan utama adalah menemukan petunjuk tentang hal ini disebabkan oleh kurangnya informasi tekstual tentang mata uang di Jawa pada periode Majapahit. Uang yang beredar di Cina dari abad ke-10 sampai abad ke-16 terbukti telah diproduksi terutama dalam beberapa periode puncak selama abad ke-11 dan ke-12. Uang tembaga pun yang diekspor ke Jawa dalam periode apapun pasti terdiri dari koin Sung Utara. Dari abad ke-12 dan seterusnya koin-koin ini diekspor sebagai bagian dari ekspansi komersial dan budaya Cina ke selatan antara 1150 dan 1300. Setelah itu, perdagangan Cina menurun dan kemudian meninggalkan Majapahit dan melaka untuk membangun kerjaaan perdagangan Asia Tenggara.

Namun, Jawa mengikuti jalur yang berbeda. Dari Jawa, penggunaan koin tembaga impor Cina telah menyebar ke bagian barat pulau dan ke daerah-daerah yang berdagang dengan Majapahit, seperti melaka dan Brunei, Bali, Sumbawa, dan pulau-ppulau timur lainnya. Setelah tahun 1300, koin tembaga ini menjadi mata uang resmi pulau tersebut, meskipun kota perdagangan dengan Cina menurun sekitar tahun 1300 sampai 1400.

Koin-koin Cina yang lebih besar terus mengalir ke Jawa ketika kontak perdagangan kembali setelah tahun 1400 sampai 1520. Perdagangan ini agak sepihak, karena pedagang Jawa mengunjungi Cina. Tetapi setelah tahun 1450, pedagang Cina lebih suka mengunjungi entreport terbaru di Melaka. Ketika perdagangan Cina bangkit kembali setelah tahun 1567, Melaka berada di tangan Portugis dan Majapahit Jawa Timur tidak ada lagi. Kapal-kapal Cina kemudian datang ke Banten, di Jawa Barat, dengan membawa koin tembaga pertama, tetapi kemudian datang ke Banten, Jawa Barat dengan membawa koin tembaga pertama yang versinya lebih kecil. Koin-koin kecil ini mungkin diterima secara luas, karena sangat cocok dengan sistem mata uang Majapahit.

Picis yang jelas-jelas non-Cina ini diakui sebagai uang Jawa oleh para ahli numismatik di kemudian hari, dengan cara yang sama seperti mata uang Hindu sebelum tahun 1300. Kesenjangan moneter yang dirasakan antara 1300-1600 adalah akibat dari fakta bahwa koin yang diproduksi dan digunakan selama periode ini tidak memiliki semua karakteristik lokal. Koin-koin Cina yang ditemukan di Jawa tidak memiliki semua indikasi periode peredarannya, selalu dicetak pada periode sebelum penggunaan lokal selama berabad-abad. Salinan-salinan Jawa bahkan jika diakui seperti itu dan tidak hanya diklasifikasikan sebagai varietas Cina kecil sama sulitnya untuk ditanggalkan.

Akan menggoda untuk memutuskan bahwa mereka yang menganggap pembangunan moneter di Jawa abad ke-14 hingga 16 sebagai gagal atau salah karena Jawa sepenuhnya dimonetisasi ketika Belanda tiba. Penerapan sikap yang berlawanan seperti itu akan terlalu sederhana, dan berarti mengganti model lama dengan model baru yang hanya memiliki sedikit bukti faktual.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun