Apakah wanita bisa menjadi jendral? Banyak pria yang beranggapan bahwa wanita itu lemah dan tidak boleh ikut dalam pertempuran. Tapi aku membantah anggapan itu—mereka tidak seharusnya meremehkan wanita. Aku akan membuktikan bahwa wanita bisa menjadi jendral sekaligus membawa kemenangan dalam suatu pertempuran. Sejak umur tujuh tahun, aku selalu berlatih berbagai macam bela diri dan senjata. Saat beranjak dewasa, aku diajarkan tentang strategi dan taktik oleh kakak laki-lakiku, Costacurta.
Kakakku adalah seorang jendral, tapi beberapa bulan setelah dipromosikan, ia gugur dalam pertempuran besar antara Kerajaan Hoshizora dan Kerajaan Amagumo. Ia tewas dikeroyok oleh tiga jendral Kerajaan Amagumo: Kazuki, Ryota, dan Masato. Sebelum tewas, kakakku berhasil menghabisi salah satu dari ketiga jendral itu, Masato. Kedua orang tuaku meninggal sejak aku masih bayi, dan kini aku hidup dalam kesepian. Semua keluargaku sudah pergi meninggalkanku untuk selamanya.
***
Siang itu, saat aku bersandar di bawah rindangnya pohon linden sembari membaca buku, tiba-tiba datanglah seekor merpati putih dengan gulungan kertas terikat di kakinya. Aku pun kebingungan sekaligus penasaran, siapa yang mengirimiku surat melalui burung merpati ini. Aku langsung membuka ikatan itu dan membaca isi suratnya. Surat itu berbunyi:
“Untuk Nona Narumi, Dari Raja Kerajaan Hoshizora, Haruto. Besok pagi, datanglah ke pondok kayu dekat Sungai Baransu. Aku ingin berbicara empat mata denganmu. Aku datang ke sana tanpa pengawal.”
"Hah? Raja Haruto menyuruhku datang ke pondok kayu dekat Sungai Baransu hanya untuk berbicara empat mata denganku? Apalagi beliau datang tanpa pengawal. Aneh sekali," gumamku sambil merobek-robek surat itu hingga menjadi potongan kecil dan membakarnya. "Cih, raja aneh."
***
Keesokan harinya, aku datang ke pondok kayu dekat Sungai Baransu dengan mengendarai kuda coklat peninggalan kakakku. Terlihat dari jendela, Raja Haruto sedang duduk melamun di dalam pondok itu sembari memegang gulungan emas di tangan kirinya. Aku pun turun dari kuda dan memarkirnya di samping pohon nangka dekat pondok, lalu beranjak masuk.
"Selamat pagi, Raja Haruto. Maaf aku terlambat karena latihan memanah terlebih dahulu," ucapku sambil duduk di sofa depan Raja Haruto.
"Tidak apa-apa, Nona Narumi. Jadi, begini… alasanku menyuruhmu datang ke pondok kayu ini dan berbicara empat mata adalah untuk membahas strategi pertempuran melawan Kerajaan Amagumo. Sebelum kakakmu tewas dalam pertempuran besar bulan kemarin, ia memberitahuku kalau ada seseorang yang lebih hebat darinya dalam bertarung dan mengatur strategi pertempuran. Jika ia gugur dalam pertempuran, orang itu akan meneruskan posisinya sebagai jendral. Dan orang yang dimaksud kakakmu itu adalah kau, Nona Narumi."
Aku sontak kaget ketika mendengar perkataan yang baru saja dilontarkan Raja. "Hah? Serius?"
"Iya, itu benar. Tapi, sebelum kau meneruskan posisi kakakmu sebagai jendral, aku akan memberimu dua ujian. Dua ujian itu akan menentukan apakah kau layak meneruskan posisi kakakmu atau tidak. Jadi, apakah kau bisa menyanggupinya, Nona Narumi?"
"Baiklah, aku siap dengan dua ujian yang akan Anda berikan itu, Raja Haruto. Berhasil atau tidaknya... kita lihat saja nanti."
Setelah itu, Raja Haruto mengeluarkan pedang sepanjang 75 sentimeter dari dalam karung goni di sampingnya, lalu beliau mengelap pedang itu dengan sapu tangannya. "Dengarkan aku dengan seksama. Akan kujelaskan singkat tentang dua ujian yang akan kuberikan kepadamu. Ujian pertama, kau akan melawan dua bawahan Jendral Tomoya, yaitu Ryo dan Riku. Jika kau berhasil mengalahkan mereka berdua, kau lolos ujian pertama. Selanjutnya, ujian kedua, bawakan dua kepala jendral Kerajaan Amagumo, Kazuki dan Ryota. Bulan depan, kau akan diikutkan dalam pertempuran melawan Kerajaan Amagumo. Itulah ujian keduamu. Habisi dua jendral itu! Sekaligus balaskan dendam kakakmu."
“Kukira ujian yang akan Anda berikan kepadaku bakalan susah, ternyata semudah ini. Ujian pertamanya kapan, Yang Mulia?” tanyaku dengan nada angkuh.
Raja Haruto tersenyum tipis mendengar ucapanku barusan. “Hmm, angkuh sekali kau ini, hahaha. Ujian pertama akan dimulai besok pagi di depan pondok ini dan aku akan menonton pertarunganmu dari dalam pondok. Nanti malam, Ryo dan Riku akan datang ke sini membahas strategi untuk pertempuran bulan depan sekaligus bersiap-siap untuk bertarung denganmu.” Beliau kemudian menyodorkan pedang yang tadi diusapnya dengan sapu tangan ke arahku. “Terimalah pedang ini, anggap ini hadiah dariku.”
“Baiklah, Yang Mulia, terima kasih. Apakah tidak ada lagi yang ingin Anda bicarakan dengan saya? Kalau tidak ada, saya akan pulang karena jadwal latihan saya hari ini banyak sekali.”
“Tidak ada, kau bisa pulang sekarang. Nona Narumi, pangkat jenderal tidak hanya dimiliki oleh para pria. Wanita juga memiliki kesempatan untuk mencapai pangkat jenderal. Anggapan bahwa wanita itu lemah dan tidak cocok untuk menjadi jenderal adalah salah besar. Karena untuk menjadi seorang jenderal itu tidak terbatas pada kekuatan fisik, tetapi lebih pada kepemimpinan, kecerdasan strategi, kemampuan pengambilan keputusan, dan dedikasi terhadap tugas dan pasukan. Seorang jenderal harus mampu mengambil keputusan sulit dalam situasi yang serba cepat dan penuh tekanan, dan harus memiliki pemahaman yang mendalam tentang taktik militer, strategi, dan logistik.”
Aku hanya mengangguk tanpa sepatah kata pun keluar dari mulutku. Setelah itu, aku beranjak keluar pondok dan langsung bergegas menuju kudaku.
Kevin Dias Syahputra
[Mojokerto, 11 Juli 2024]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H