Mohon tunggu...
Kevin Christian Wibisono
Kevin Christian Wibisono Mohon Tunggu... -

Murid SMAK IPEKA Puri Indah, Jakarta Barat

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Bahasa Indonesia: Cerminan Budaya Bangsa

28 Februari 2015   06:13 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:22 540
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1425060228104559741

[caption id="attachment_400065" align="aligncenter" width="500" caption="Ilustrasi/kompasiana(http://id.wikipedia.org)"][/caption]

Setelah membaca judul tulisan ini, sebagian dari kita mungkin mengajukan pertanyaan: bagaimana pemakaian bahasa bisa menggambarkan budaya suatu bangsa; bukankah bahasa dan budaya tidak berinterrelasi? Padahal, kedua hal tersebut sebenarnya saling berhubungan dan, bahkan, tidak dapat dipisahkan. Ahli antropologi C. Kluckhohn pernah mengemukakan bahwa budaya memiiki tujuh unsur; salah satu di antaranya adalah bahasa. Argumen yang sama juga diungkapkan oleh Cateora, yang juga seorang ahli antropologi.

Secara harfiah, kata ‘budaya’ berasal dari kata bahasa Sansekerta, ‘buddhayah’, yang berarti hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia, sedangkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi Keempat mendefinisikan kata ‘bahasa’ sebagai sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang digunakan oleh anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri. Ragam bahasa dengan strukturnya yang kompleks merupakan produk dari akal budi dan pikiran manusia, sehingga bahasa sangat pantas untuk disebut bagian dari budaya. Dengan kalimat lain, bahasa dan budaya memiliki relasi subordinatif (Koentjaraningrat, 1992:1).

Menurut ahli-ahli bahasa Chomsky dan Piaget, jalan pikiran dan kebudayaan suatu masyarakat dipengaruhi oleh struktur bahasanya. Pernyataan lain yang cukup populer ialah “budaya yang ada di sekeliling sebuah bahasa akan ikut menentukan wajah dari bahasa itu”. Oleh karena itu, penggunaan bahasa Indonesia oleh masyarakat dapat mencerminkan budaya bangsa kita. Saya, secara pribadi, merasa prihatin dengan nasib bahasa nasional kita; hanya segelintir orang yang mengaku Warga Negara Indonesia dapat berbahasa Indonesia dengan baik dan benar. Mengapa realitas seperti ini bisa muncul? Salah satu alasan yang valid adalah adanya pengaruh budaya di masyarakat, yakni budaya ketidakacuhan, ketidakkritisan, pragmatisme, dan xenocentrism yang telah merambat ke segala kalangan.

Masih ingatkah kita akan pelajaran “mata untuk melihat; hidung untuk mencium; kulit untuk meraba; telinga untuk mendengar; lidah untuk mengecap” di Sekolah Dasar? Disebut apakah kelima alat tersebut: panca indera, pancaindera, panca indra, atau pancaindra? Mayoritas dari kita semua akan menjawab pilihan pertama, ‘panca indera’. Padahal, penulisan yang sesuai dengan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) adalah ‘pancaindra’. Hal ini dengan konkret menunjukkan bagaimana pemakaian bahasa yang salah telah ditanamkan kepada masyarakat sejak kecil. Kenyataan ini tidak lepas dari ketidakacuhan masyarakat, bahkan termasuk kaum pendidik, terhadap penulisan bahasa Indonesia yang baik.

Contoh nyata lainnya adalah ubikuitas penggunaan kata depan di- dan ke- yang tidak benar. Pernahkah kita memperhatikan papan yang tergantung di pagar-pagar rumah dengan tulisan “dilarang parkir didepan pintu”. Penulisan yang sesuai dengan EYD adalah “dilarang parkir di depan pintu”, dengan kata ‘di’ dipisah dengan kata ‘depan’ karena bukan merupakan kata berimbuhan. Jika dipikir secara mendalam, kesalahan penulisan kata depan di- bisa terjadi akibat jukstaposisi dengan kata-kata yang menggunakan prefiks di-. Hal ini sesuai dengan sikap masyarakat Indonesia yang tidak kritis dan cenderung menyukai segala sesuatu yang praktis.

Saya mencoba untuk menganalisis kesalahan tata bahasa Indonesia dalam penulisan tiga artikel yang saya pilih secara acak di kompas.com, salah satu sumber berita dalam jaringan yang tepercaya. Secara mengejutkan, ternyata ditemukan cukup banyak galat. Dalam artikel berjudul “Diminta Lengser oleh Nelayan, Begini Kata Susi”, saya mendapatkan tujuh kesalahan, yaitu tiga kesalahan penggunaan kata depan di-, dua kesalahan penggunaan kata depan tak-, satu kesalahan penggunaan tanda baca koma, serta satu kalimat yang tidak efektif. Dalam artikel berjudul “SUV Termurah Lexus Indonesia Meluncur Pekan Depan” yang panjangnya kurang dari dua ratus kata, saya menjumpai sebelas kesalahan, yaitu lima kesalahan penggunaan tanda baca koma, dua kesalahan penggunaan konjungsi antarkalimat, dua kesalahan penulisan mata uang, juga dua kesalahan penggunaan kata serapan, sedangkan dalam artikel berjudul “Acara Fashion Terbesar di Indonesia, Indonesia Fashion Week 2015, Digelar Hari Ini”, saya menemukan delapan kesalahan, yaitu tiga kesalahan penggunaan tanda baca koma, satu kesalahan penggunaan kata berimbuhan, satu kesalahan penggunaan kata serapan, satu kesalahan penggunaan tanda hubung (hyphen), satu kesalahan penggunaan konjungsi intrakalimat, dan satu kalimat dengan struktur yang sangat buruk.

Dari hasil analisis di atas, terlihat bahwa masyarakat Indonesia mengonsumsi bacaan yang mengandung banyak kesalahan penulisan. Oleh karena itu, tidak heran bahwa penguasaan bahasa Indonesia di kalangan masyarakat kurang baik. Ada dua pihak yang mungkin disalahkan: penulis bacaan dan masyarakat itu sendiri. Penulis bacaan memproduksi tulisan yang tidak sempurna, sehingga diikuti oleh para pembacanya, yakni seluruh masyarakat Indonesia. Di lain pihak, masyarakat sebagai pembaca kurang memiliki inisiatif, atau mungkin kurang kritis, untuk berkonsultasi dengan KBBI dan pedoman EYD, yang bisa diunduh secara gratis, saat menemukan keraguan dalam penggunaan bahasa Indonesia

Sikap xenocentrism di kalangan masyarakat, terutama anak muda yang paling terkena dampak globalisasi, mengakibatkan kecintaan terhadap bahasa Indonesia menjadi pudar. Klausa “bangga menggunakan bahasa Indonesia” dialihposisikan oleh klausa “bangga menggunakan bahasa asing”. Pola pikir yang demikian juga berperan dalam menciptakan ketidakpedulian terhadap penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Pembelajaran bahasa Indonesia dianggap sebagai hal yang tidak perlu dan bahkan pembuangan waktu dengan alasan bahasa Indonesia adalah bahasa yang tidak penting untuk dikuasai secara penuh. Contoh konkret yang mudah ditemukan adalah preferensi penggunaan frasa ‘thank you’ daripada frasa ‘terima kasih’ dan kata ‘meeting’ daripada kata ‘rapat’. Ini adalah fakta yang sungguh ironis.

Kini, orang-orang yang menjadi pemerhati bahasa Indonesia semakin langka. Tidak bisa kita mungkiri bahwa tendensi masyarakat Indonesia untuk menyukai segala hal yang praktis, berbau asing, dan tidak menunjukkan kepedulian terhadap lingkungan maupun sesama tercermin di dalam penggunaan bahasa nasionalnya. Mari kita semua lebih menaruh perhatian terhadap bahasa Indonesia, mengingat bahasa adalah identitas suatu bangsa dan penggunaannya mencerminkan kebudayaan bangsa. Dengan demikian, budaya yang kurang baik dari masyarakat Indonesia perlahan-lahan dapat terkikis, dan identitas kita, sebagai Warga Negara Indonesia, dapat berubah ke arah yang lebih baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun