Mohon tunggu...
Kevin Arga Tobing
Kevin Arga Tobing Mohon Tunggu... Lainnya - Masyarakat

* Membaca dan menulis * Tertarik pada hukum internasional

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Ancaman terhadap Kedaulatan dan Hak Berdaulat Indonesia di Laut China Selatan

17 Mei 2024   18:44 Diperbarui: 31 Mei 2024   17:42 198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Memang tidak dapat dipungkiri bahwa prasyarat untuk melakukan kerja sama eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam harus dilandasi dengan pemeliharaan hubungan baik, dan penegasan batas luar ZEE serta LK yang menjadi yurisdiksi dan hak eksklusif negara pantai. Pembuatan perjanjian internasional mengenai kerja sama eksplorasi sumber daya alam, harus didukung dengan pembuatan perjanjian internasional mengenai kerja sama keamanan maritim oleh negara-negara pantai di wilayah LCS.

Apabila negara-negara pantai di LCS ingin bekerja sama dengan RRT berkenaan dengan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam, harus memerhatikan preseden pada Kasus “The China-Viet Nam Oil Rig” di wilayah sekitar Kepulauan Paracel (Paracel Islands) yang mengalami kebuntuhan. RRT tetap menyalahgunakan hak-hak dalam UNCLOS dengan menyatakan lokasi pengeboran minyak berada pada Zona Tambahan (Contiguous Zone) dari Xisha Islands yang dikuasai oleh RRT, tepatnya pada batas laut teritorial Xisha Islands dan 17 mil laut dari Zhongjian Island di Xisha Islands. Sedangkan Viet Nam menyatakan lokasi pengeboran minyak berada pada ZEE serta LK yurisdiksi Viet Nam.

E. PEMBUATAN KERJA SAMA PENGAWASAN DAN PENEGAKAN ATURAN UNCLOS SERTA PERATURAN NASIONAL NEGARA-NEGARA DI WILAYAH LAUT CHINA SELATAN TERHADAP TUMPANG TINDIH KLAIM NINE-DASH LINE DENGAN ZEE YURISDIKSI NEGARA-NEGARA PANTAI

Indonesia dan Filipina dapat menjadi negara yang memprakarsai pembuatan perjanjian internasional tentang kerja sama regional yang dimaksud di atas. Dari sudut pandang Indonesia, Indonesia mengusulkan kepada negara-negara pantai di wilayah LCS keperluan pembentukan perjanjian internasional demi menciptakan ketertiban pelaksanaan hak berdaulat di ZEE dan hak eksklusif di LK oleh negara-negara pantai yang memanfaatkan laut, karena Laut Natuna (ZEE yurisdiksi Indonesia) masuk ke dalam Nine-Dash Line dan memudahkan BAKAMLA saat mengawasi wilayah perairan Indonesia dan menegakkan hukum laut semakin efektif, sesuai dengan Article 62 Paragraph 4 (k) UNCLOS 1982 jo. Pasal 59 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan. Contoh pada yurisdiksi Indonesia di Laut Natuna Utara, beberapa kali muncul kapal RRT mengawasi klaim Nine-Dash Line, dan kapal penangkap ikan milik Viet Nam juga sering ditemukan pada wilayah Laut Natuna Utara, karena wilayah perairan Indonesia cukup luas, pengawasan kurang memadai. Salah satu contoh perjanjian internasional keamanan maritim yang dibuat oleh Indonesia ialah “Indonesia-Australia Joint Declaration on Maritime Cooperation” pada Tahun 2017. Salah satu plans of actions ialah memperkuat keamanan maritim dengan pertukaran informasi, pengawasan terkordinasi, dan lain-lain. Dari sudut pandang Filipina, Filipina dapat mengusulkan kepada negara-negara pantai di LCS pembentukan perjanjian kerja sama pengawasan dan penegakan hukum laut agar sekaligus mengeksekusi atau menegakkan Award of PCA Case No. 19-2013.

 

Gambar 2. Peta Natuna, sumber: https://setkab.go.id/en/on-natuna-waters-conflict-president-jokowi-we-will-prioritize-peaceful-diplomacy/
Gambar 2. Peta Natuna, sumber: https://setkab.go.id/en/on-natuna-waters-conflict-president-jokowi-we-will-prioritize-peaceful-diplomacy/

F. KONSEP MEKANISME TEKNIS DALAM KERJA SAMA PENGAWASAN WILAYAH ZEE NEGARA-NEGARA PANTAI DI WILAYAH LAUT CHINA SELATAN

Klausul-klausul teknis yang harus termuat dalam perjanjian internasional perihal kerja sama pengawasan dan penegakan hukum laut, antara lain:

  • Pengawasan dan penegakan hukum laut berlandaskan prinsip iktikad baik dan UNCLOS;
  • Para pihak sepakat harus mengutamakan pertukaran informasi hasil aktivitas pengawasan wilayah perairan ZEE serta LK negara pantai serta melaporkan secara faktual kepada negara pantai yang bersangkutan;
  • Para pihak harus sepakat memberikan mandat atau mengalihkan pengawasan dan menerima kewajiban tersebut, jika situasi salah satu pihak pengawas sedang mengalami kesulitan. Klausul ini diperlukan sebab mencegah kerugian yang akan timbul jika negara asing maupun kapal asing melakukan abuse of rights;
  • Para pihak harus sepakat menerima permintaan bantuan oleh salah satu pihak dalam penegakan hukum laut, demi kelancaran dan kemudahan penegakan hukum laut di ZEE serta LK;
  • Pengawasan dilaksanakan oleh dua atau lebih kapal negara-negara dalam pihak perjanjian dengan tujuan memperkecil hambatan saat penegakan hukum, seperti kapal-kapal asing kabur;
  • Pengawasan teknis secara bergantian pada setiap wilayah perairan ZEE serta LK para pihak yang rentan ditemukan kapal-kapal asing untuk diambil sumber daya, pada wilayah ZEE serta LK para pihak dimana terdapat atau akan dibangun instalasi di atas fitur maritim, maupun di wilayah ZEE serta LK dimana mendapati gangguan terhadap kegiatan eksploitasi atau eksplorasi yang ditimbulkan oleh kapal asing;
  • Penegak hukum yang menemukan dan menduga kapal-kapal asing melakukan abuse of rights di wilayah ZEE serta LK negara-negara pihak perjanjian wajib melakukan pengejaran, inspeksi, menyita barang bukti, menahan dan membawa kapal beserta para ABK asing, jika dugaan terbukti terlibat dalam pelanggaran hukum wilayah ZEE negara pantai, agar diadili oleh negara pantai yang bersangkutan;
  • Dalam situasi pengejaran kapal-kapal asing, penegak hukum diperbolehkan mempergunakan fasilitas yang diperlukan hanya untuk melumpuhkan kapal-kapal asing tersebut, berlandaskan UNCLOS serta HAM, khususnya “Right to Life” Article 3 UDHR;
  • Penegak hukum diperbolehkan menggunakan senjata hanya dalam situasi self-defense, serta mempertimbangkan keselamatan para pengawas jika terlibat dalam situasi yang membahayakan nyawa mereka dalam mengawasi dan menegakkan hukum laut di ZEE terhadap kapal-kapal asing maupun negara asing yang melakukan abuse of rights;
  • Harus dicantumkan klausul pembongkaran instalasi negara asing pada fitur-fitur maritim negara-negara pihak jika tidak memiliki izin kerja sama dengan negara pantai yang bersangkutan;

G. PENINDAKAN TERHADAP KAPAL CCG

Bagaimana penindakan terhadap kapal-kapal CCG yang melintas sambil melakukan pengawasan klaim Nine-Dash Line oleh RRT, hingga mengganggu hak berdaulat dan hak ekslusif negara pantai yang bersangkutan? Kapal-kapal CCG sebenarnya tidak dapat ditahan oleh kapal-kapal pengawas atau penegak hukum negara pantai, ditegaskan oleh Article 96 UNCLOS (berlaku mutatis mutandis sesuai Article 58 Paragraph 2 UNCLOS), dan hanya dapat diusir atau diminta untuk keluar dari wilayah perairan/zona negara pantai yang bersangkutan. Namun, kekebalan kapal-kapal CCG dari peraturan nasional negara pantai bergantung kepada sikap penghormatan terhadap hukum internasional dari negara pantai yang bersangkutan, seperti kasus penahanan kapal selam Amerika Serikat oleh Korea Utara yang diduga melakukan kegiatan mata-mata, dikenal dengan “Pueblo Incident 1968”. Disamping itu, dalam hukum internasional adanya prinsip resiprositas yang menjamin hubungan baik antar negara.

Artinya, melihat kapal-kapal CCG melintas sambil mengawasi klaim Nine-Dash Line pada wilayah ZEE serta LK negara-negara pantai di LCS dan mengganggu hak berdaulat dan hak eksklusif, negara-negara pihak dapat melakukan penahanan terhadap kapal-kapal CCG sebagai bentuk pembalasan (reprisal) dengan alasan RRT melalui kapal-kapal CCG telah melakukan perbuatan abuse of rights karena telah mengklaim serta mengawasi wilayah perairan melampaui yang ditentukan oleh UNCLOS berdasarkan Award of PCA Case No. 19-2013, dan telah membatasi bahkan menghalangi yurisdiksi dan hak eksklusif negara-negara pantai pada ZEE serta LK yang diklaim oleh Nine-Dash Line. Konsep di atas memang menampakkan potensi konfrontasi, tetapi sekaligus menunjukkan ketegasan terhadap yurisdiksi dan hak eksklusif atas ZEE serta LK negara-negara pantai pada wilayah yang diklaim oleh RRT, disamping pemanfaatan ZEE dan LK oleh negara-negara pantai dan tidak menyerang keutuhan wilayah RRT sebagaimana dilarang oleh Article 301 UNCLOS dan Article 2 Paragraph 4 UN Charter, karena berada di wilayah ZEE dan LK negara pantai dan mempertahankan serta mempertahankan wilayah yang dimaksud.

Referensi

  • Zou Keyuan, China’s Exclusive Economic Zone and Continental Shelf: Developments, Problems, and Prospects, Marine Policy, Vol. 25, 2001.
  • PRC’s Law on the Territorial Sea and the Contiguous Zone of 25 February 1992. https://www.un.org/depts/los/LEGISLATIONANDTREATIES/PDFFILES/CHN_1992_Law.pdf.
  • PCA Case No. 19-2013 IN THE MATTER OF THE SOUTH CHINA SEA ARBITRATION
  • U.S.-China Economic and Security Review Commission, https://www.uscc.gov/sites/default/files/Research/Issue%20Brief_South%20China%20Sea%20Arbitration%20Ruling%20What%20Happened%20and%20What's%20Next071216.pdf.

  • 2018: Year of China military deployments in South China Sea – U.S. think tank, https://www.rappler.com/nation/219458-gregory-poling-2018-chinese-military-deployments-south-china-sea/.

  • Kegiatan reklamasi China di LCS ubah status quo, https://www.antaranews.com/berita/2251758/kegiatan-reklamasi-china-di-lcs-ubah-status-quo.

  • US says 3 Chinese bases in South China Sea fully militarized, https://www.benarnews.org/english/news/philippine/sea-islands-03212022140351.html.

  • HALAMAN :
    1. 1
    2. 2
    3. 3
    4. 4
    Mohon tunggu...

    Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
    Lihat Kebijakan Selengkapnya
    Beri Komentar
    Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

    Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun