Tak sedikitpun saya meragukan seperti anggapan netizen soal pejabat Kemenhub yang tidak pernah naik transportasi umum, tapi berada di barisan tengah Toyota Innova Reborn dengan supir pribadi memang jauh lebih nyaman, demi otak yang lebih jernih sebelum mengeluarkan kebijakan-kebijakan seperti subsidi KRL ini.
Riuh Indonesia seakan tidak akan pernah habisnya di beberapa bulan terakhir, di tengah hiruk pikuk Kementerian Perhubungan melalui juru bicara menyatakan perubahan skema subsidi KRL berbasis NIK yang sedang digodok ini bertujuan untuk memberikan subsidi yang tepat sasaran.
Entah apa yang ada di notulensi rapat para pemangku kebijakan ini soal para pengguna KRL, karena sebenarnya usulan ini sudah ada di tahun lalu dan mendapatkan penolakan luar biasa. Tapi mengapa harus kembali naik usulan seperti ini?
Rasanya Kemenhub seperti melihat cuan luar biasa ketika melihat padatnya pengguna KRL yang setiap hari harus berjibaku dengan segala macam dinamikanya. Bukan berarti kalau kalian sering lihat konten Adrian Maulana, lalu berpikir semua pengguna KRL ini punya kemampuan finansial luar biasa macam dia. Ya, sekali lagi enggak. Justru seharusnya bagaimana mendorong orang yang memiliki kemampuan semacam Adrian Maulana, mau ikut pindah ke transportasi umum.
Jika membahas soal subsidi yang lebih tepat sasaran, hal apa yang mendasari keputusan pemerintah untuk memberikan subsidi mobil listrik? Saya rasa dan yakin, tidak akan mungkin rakyat menengah ke bawah sanggup membeli mobil listrik, mungkin persentasenya kecil. Hanya yang kemampuan menengah ke atas yang sanggup membeli Hyundai Ioniq yang dibanderol lebih dari 800 juta.
Jika melihat dari perbandingan antara subsidi pembelian motor & mobil listrik di tahun 2024 saja, subsidi PSO KRL di tahun depan masih lebih sedikit jumlahnya. Data sederhana ini sedikit menggambarkan kurangnya prioritas pemerintah untuk mendorong penggunaan transportasi umum yang jauh lebih masif.
Di saat desakan pengguna untuk mendapatkan jumlah kereta yang lebih banyak, agar intensitas waktu lebih rapat tiap jadwalnya. Mengapa yang muncul justru rencana subsidi yang akan dibedakan berdasarkan NIK. Apa tidak tambah mendidih?
Penyaluran dana subsidinya memang dari kementerian yang berbeda, jika subsidi pembelian kendaraan listrik dari Kemenperin dan Subsidi PSO KRL dari Kemenhub, tapi apakah tidak bisa berkoordinasi terlebih dahulu terkait keputusan orang banyak ini. Sama-sama mau mengurangi ruwetnya kemacetan dan terbuangnya subsidi energi BBM, kan?
Saya pun tak mau klaim jika saya lebih paham terkait tata kota dan segala macam elemennya, kalian lah yang lebih memiliki integritas untuk menentukan kebijakan yang lebih pas.
Diskriminasi Tarif
Tapi dengan membedakan tarif berdasarkan NIK, akan menjadi diskriminasi untuk pelayanan yang sama. Alih-alih mendorong insetif pengguna untuk berpindah menggunakan transportasi umum, justru Indonesia malah ingin melakukan sebaliknya. Dan, apakah penentu kebijakan ini sadar jika waktu transportasi umum ini tidak lebih efisien jika kita menggunakan motor.
Jika harga tarif transportasi umum tidak lebih murah dari kendaraan pribadi, bukan tidak mungkin orang akan kembali beralih menggunakan sepeda motor. Subsidi BBM yang juga akan kembali naik, subsidi pembelian kendaraan listrik akan menjadi naik.
Apa ini memang maksud tujuannya ya?
Jika memang pemerintah benar-benar ingin mengurangi dampak kemacetan dan perlambatan ekonomi akibat banyak orang yang justru menghabiskan waktu hidupnya di tengah jalan. Kan prinsip pemerataan ekonomi adalah mengambil dari yang kaya untuk disalurkan ke yang miskin. Damnn, Robin Hood was right...
Satu-satunya cara yang mendorong semaksimal mungkin pengguna kendaaran pribadi buat pindah ke umum. Bisa berupa:
- Kurangi subsidi energi BBM untuk orang mampu, mobil-mobil udah ga boleh pakai subsidi
- Tarif parkir yang tinggi
- Insentif untuk pengguna sepeda, jangan lajur sepeda malah dihilangkan, katanya mau lebih green
- Subsidi untuk seluruh transportasi umum, kalau bisa gratis
Iyah, gratis. Transportasi umum yang gratis itu harusnya bisa jadi bentuk hadirnya pemerintah terhadap rakyatnya. Persis apa yang dilakukan pemerintah terkait BPJS, dan kita sangat apresiasi itu. Masa kalah sama bapaknya Bruce Wayne yang bisa memberikan transportasi umum yang gratis di tengah carut marutnya Gotham City.
Buat penentu kebijakan sebelum kalian bertemu dengan pewarta, apakah kalian tahu betapa absurdnya para pejabat yang selalu memberikan statement kerugian perusahaan, atau beban subsidi yang tinggi, sementara kekayaan pejabat kalian justru malah bertambah. Beneran bingung tuh kita.
Akurasi Data NIK
Kita pun tahu dan setuju penyeragaman NIK ini yang akan memudahkan database lebih tepat sasaran jika ingin melaksanakan kebijakan. Tapi di tengah santainya pemerintah saat Pusat Data Nasional bocor, masa rakyat harus langsung percaya terkait penggunaan NIK untuk melakukan diskriminasi tarif.
Kebijakan subsidi BBM Pertalite untuk mobil mewah aja masih tidak jelas, dan masih banyak akurasi data yang masih diragukan apakah semakin membuat ruwet tarif KRL jika diberlakukan.
Dan, bagaimana nasib para pencari rezeki pengguna KRL yang berada di miles terjauh, para pekerja dari Rangkasbitung, Cikarang, Bogor yang harus membayar tarif lebih tinggi karena extra miles? Jika tarif semakin tinggi apakah tidak membuat para pekerja ini semakin memupus harapan pemerataan ekonomi ke daerahnya?
Non Operational Revenue
Alih-alih menarik subsidi untuk tarif, sebaiknya Kemenhub bisa berkolaborasi dengan KAI untuk meningkatkan business revenue dari sisi non operational, seperti:
- Membuat stasiun sebagai hub para pekerja, mulai membangun cafe atau apapun yang bisa digunakan pengguna sebagai ruang bertemu. Harusnya bisa mengambil contoh Blok M Plaza yang hidup kembali dari mati suri setelah terhubung dengan MRT.
- Naming rights iklan seperti MRT, walaupun namanya jadi aneh, tapi bisa menjadi subsidi silang revenue bukan?
Sekali lagi, tulisan saya ini memang hanya sebagian remeh kecil keluhan para pengguna transportasi umum untuk para penentu kebijakan. Tapi harusnya pemerintah bahagia jika warganya pindah haluan ke transportasi umum, jangan melihat padatnya penumpang kereta ini justru jadi sumber pajak, jadi sumber cuan.
Pikir-pikir dulu deh sebelum ngomong, jangan kalau udah ramai keluhannya, langsung berubah ngeles jadi cuma wacana, terus dibatalkan, capek tahu ngeluh mulu...
Jangan-jangan, jargon pemerintah selama ini yang mau Indonesia emas, Indonesia yang lebih green, Indonesia yang lebih rendah emisi, faktor economical loss karena terjebak kemacetan selama berjam-jam ini hanyalah jargon seremonial aja?
We're on the same path, right?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H