Ceritanya mungkin tidak akan seindah kisah hidup Kevin yang berperan di Home Alone yang selalu berakhir dengan indah di malam Natal. Sama halnya seperti anak-anak yang selalu ceria ketika menyambut malam natal dengan tumpukan kado, bagi siapapun anak-anak muslim pasti rasa senangnya akan mirip-mirip ketika memasuki bulan Ramadan, tapi buat anak-anak muslim senangnya jauh berlipat ganda, karena kita akan bersenang-senang satu bulan. Bercanda saat tarawih, lalu perang sarung, hingga menginap di Masjid ramai-ramai karena hanya di momen ini kita bisa mendapatkan izin orang tua, untuk bersenang-senang dengan kerabat sepanjang malam. Saya yakin jika Anda yang juga pasti mengalami masa kecil, sebagian besar pasti pernah merasakan hal ini. Ketika Ramadan berakhir saya selalu bertanya kembali ke orang tua saya "Kapan kita puasa lagi, mah?", dan selalu berulang di tiap tahunnya.
Tahu apa hal yang paling menyenangkan bagi anak-anak ketika berada di bulan Ramadan?
Tentu saja, hari Lebaran. Hari di mana anak-anak dimanjakan luar biasa, hari di mana anak-anak mendapatkan rewardsnya karena telah berhasil berpuasa satu bulan penuh. Beberapa orang tua biasanya sudah menjanjikan sesuatu hal kepada anak, agar mau ikut berpuasa di bulan Ramadan. Beberapa hari yang lalu saya sempat menonton satu tayangan Najeela Shihab, kakak dari Najwa Shihab di situs web berbagi video, kebetulan salah satu Narasumbernya, Prof. Dr. H. Muhammad Quraish Shihab yang juga ayah dari kedua wanita inspiratif ini. (Silakan browsing dengan keyword "semua murid semua guru").
Dalam video tersebut diberi tajuk "Apakah Boleh Menyogok untuk Mengajarkan Anak Berpuasa?". Video ini menjelaskan jika orang tua tidak perlu menjanjikan apa-apa agar anak mau berpuasa. Bukan berarti saya tidak setuju dengan hal tersebut dan ingin membantahnya, bukan. Tapi sedikit berbagi dengan perspektif lain, ada alasan bagi kami dahulu yang pernah jadi anak-anak mengapa sangat mengharapkan adanya rewards di hari Lebaran, setelah berhasil berpuasa penuh selama satu bulan. Alasannya tentu bukan terkait dengan keagamaan, jika bicara hal itu sudah pasti mutlak, semua umat muslim wajib untuk berpuasa di bulan Ramadan.
Saya terlahir di keluarga yang biasa-biasa saja, bukan bermaksud tidak bersyukur, tapi memang bisa dibilang saya dibesarkan dengan kebutuhan hidup keluarga yang serba "pas", tidak bisa lebih. Bahkan sampai saya kuliah pun, memang saya termasuk anak muda kere yang masuk dalam tahap ultimate, saya tidak mungkin bisa mengimbangi cara hidup rekan sekampus, maka dari itu saya lebih memilih untuk menjadi kupu-kupu (kuliah pulang), untuk makan dan tidur dibandingkan harus nongkrong ke cafe, karena dana yang disiapkan orang tua saya memang hanya cukup untuk mengisi bensin motor bebek kesayangan saya, kadang sesekali saya sambilan ikut mencuci motor di tempat pencucian, supaya punya "bahan bakar" lebih untuk hidup sedikit lebih enak. Satu hal yang selalu terngiang-ngiang pada saat itu, ya saya harus segera lulus secepat mungkin agar meringankan tanggungan budget orang tua untuk saya kuliah.
Nah ini pula, yang menjadi alasan bagi saya yang dulu ketika anak-anak sangat mengharapkan adanya rewards tersebut. Mengapa? Karena hanya di momen ini saya memiliki kesempatan dalam setahun untuk bisa menikmati sedikit "hasil" dari kerja keras orang tua saya. Tidak semua orang tua memiliki rezeki lebih, mbak Najeela Shihab pasti tahu hal ini. Hanya di momen Lebaran, orang tua kita memiliki rezeki lebih yang berasal dari THR yang dikirim oleh perusahaan, itu pun jumlahnya pasti tidak banyak. Dan juga, hanya di momen ini pula, orang tua saya memiliki kesempatan untuk sedikit membahagiakan anaknya ini. Karena sudah pasti tidak mungkin bisa memberikan dengan gaji bulanan yang sudah pasti habis untuk kebutuhan sehari-hari.
Satu momen yang saya ingat ketika orang tua saya berjanji pada waktu saya kecil "Kalau kamu puasanya full, bukan setengah hari selama satu bulan. InsyaALLAH Mamah sama Papah beliin yang kamu mau ya, pas Lebaran pakai uang dari kantor Papah?"
Tahu respon seperti apa buat anak kecil seperti saya pada saat itu? Sumringah tak bisa berkata-kata, tapi dengan tekad yang menggebu-gebu, saya harus berhasil puasa penuh.
Di sudut ruang tamu, tertata sebuah meja kecil dengan rapih yang disampul dengan kain bercorak batik, terlihat sangat manis di bulan Ramadan. Iya, karena hanya di bulan Ramadan meja ini bisa terisi dengan aneka jamuan. Kotak biskuit bertahun-tahun lamanya bertahan sebagai wadah untuk rengginang, aneka kue rumahan yang diproduksi ibu saya sendiri, menjadi tambahan pemanis. Selama Ramadan kami hanya bisa menatap manisnya sudut ini, karena harus menunggu pada saat Lebaran karena semua snack ini hanya akan disajikan untuk tetangga yang berkunjung, itu pun menunggu sisa, kalau habis ya tinggal gigit jari. Lagi-lagi berulang setiap tahunnya.
Karena hal ini pula, akhirnya saya hanya berharap rewards yang sudah dijanjikan orang tua saya ditukar saja lah dengan kue-kue biskuit yang dipisah untuk keluarga. Walaupun ya saya tahu pasti juga jumlahnya tidak bisa banyak-banyak. Harapan saya sih sederhana hanya kotak biskuit yang sudah bertahun-tahun lamanya itu bisa berganti yang baru beserta isinya, dan satu biskuit asal negeri Matahari terbit berbentuk stik. Iya, biskuit ini mungkin menjadi biskuit impian yang pernah ada di masa kecil saya, karena di masa itu saya hanya bisa menjadi pengagum tanpa rasa memiliki. Menikmati rasanya hanya dengan melihat gigitan dari seorang anak yang baru saja keluar dari pusat perbelanjaan modern. Tapi dengan hanya melihat, rasanya saya sudah bisa mengetahui seperti apa nikmatnya krim stroberi dan coklat tanpa remah dicelup pada batang biskuit stik. Perlu diketahui biskuit ini dahulu masuk ke Indonesia berstatus impor langsung dari negeri asalnya, jadi ya enggak bakalan ada di pusat perbelanjaan biasa. Masuk di Indonesia baru di tahun 2014 dan di tahun 2017 ini juga sudah menambahkan logo halal di semua produknya. Woohoo, Pocky Halal!
Bagi keluarga kecil kami, biskuit stik no crumbs ini memang menjadi barang yang cukup dianggap mewah. Jangankan sebulan sekali, untuk satu tahun pun saya juga tak yakin keluarga kami sanggup untuk membelinya. Maka dari itu, mengapa saya lebih memilih untuk mengganti rewards berupa mainan keinginan saya dengan biskuit ini yang bisa dinikmati bersama-sama dengan keluarga di Lebaran. Tahu apa yang terjadi di hari-hari menuju Lebaran? Pada akhirnya ya orang tua saya tidak jadi membelikan biskuit ini, karena uang THR yang didapat sudah habis untuk kebutuhan keluarga. Sebagai anak kecil yang sudah mupeng berat dengan rewards saya, jelas ya kecewa berat. Mau nangis ya tapi anak cowok, ga macho gitu, ngambek dengan diam jadi pilihan lah waktu itu.