Mohon tunggu...
Kevinalegion
Kevinalegion Mohon Tunggu... Wiraswasta - Full Time Family Man

Get along between Family and Food!

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Mau Bersaing dengan Siapa Kamu, Nettter?

2 Mei 2017   15:18 Diperbarui: 2 Mei 2017   16:10 648
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat Anda membaca artikel saya, yang sudah saya publish di nettter ini, apa yang terlintas di benak Anda soal tampilannya?

Notes di Facebook? Tampilan clean a la Kompasiana? Atau lebih tepatnya Medium? kalimat yang paling spontan dilontarkan rekan-rekan di Kompasiana, sesaat Nettter ini diperkenalkan mas Fahmi Ardi ini yang masih dalam versi beta adalah "tampilannya Medium banget".

Jangan tanya mengapa Nettter ditulis dengan huruf T sebanyak tiga kali, karena jika hanya dicantumkan dua kali, saru rasanya. Atau mungkin ikut-ikutan Arief Muhammad yang selalu membubuhkan kata G di kata poconggg sebanyak tiga kali?

Walaupun Medium sendiri sepertinya tidak terlalu tenar di Indonesia, writing platform ini menjadi acuan yang cukup besar bagi para pengembang dan pengelola UGC di Indonesia. Tampilannya yang clean, ramah mata, dan lebih elegan menjadi salah satu faktor mengapa Medium menarik untuk diikuti, Kompasiana (selanjutnya ditulis dengan K) sendiri pun "tergoda" untuk membawa suasana a la Medium di tampilannya versi terbaru. Apakah Nettter juga terinspirasi dari Medium? Bisa jadi.

Yang pasti saya sedikit tahu seperti apa selera mas Fahmi yang berada di balik kemunculan Nettter ini. Dia pula yang membangun Kompasiana di tampilan terbarunya saat ini, jadi secara selera mungkin mirip-mirip. Perbedaannya adalah apa yang dahulu mungkin tidak bisa dikembangkan di K, dicoba kembali oleh Nettter.

Soal tampilan tak apalah terinspirasi, atau malah mungkin juga bisa mengalahkan kesuksesan dari sosok inspiratif itu sendiri. Seperti Gusti Hendy yang dahulu hanya penggemar yang terinspirasi justru bisa mengisi posisi penggebuk drum di Band Gigi, atau mungkin juga Eno NTRL yang secara improvisasi jauh lebih menarik dibandingkan permainan dari Travis Barker. Nettter mungkin juga bisa mengalahkan Medium, siapa yang tahu?

Pertanyaannya kembali lagi. Mau bersaing dengan siapa kamu, Nettter?

Berkesempatan untuk mencoba platform yang baru saja lahir ini cukup menarik bagi saya sendiri. Karena, Nettter ini lahir dari tangan orang Indonesia, namun soal target pengguna belum bisa diketahui apakah platform ini hanya ingin bersaing di Indonesia, atau beyond dari itu.

Secara singkat, saya melihat satu penjelasannya di artikel yang di-published oleh mas Fahmi Ardi sendiri (Nettter: Merajut Budaya Menulis, Membaca, Berdiskusi dan Berbagi).

MENULIS
Meluapkan curahan hati, jiwa, dan pikiran sudah menjadi kebiasaan. Kebiasaan yang dikelola secara konsisten akan melahirkan karya berupa ide, gagasan, dan pemikiran. Kemudahan menulis menjadi salah satu fokus yang Nettter tawarkan ke penulis dalam memproduksi karya-karyanya.

Jika target pertama adalah mengajak netizen untuk menulis, mau tidak mau Nettter harus head to head langsung dengan pendahulunya. Platform blogging produknya sudah bertebaran di Indonesia, mulai yang dianggap kredibel sampai yang "abal-abal" berada di arena yang sama.

Pilihannya hanya ada dua, menghadirkan inovasi yang berbeda atau hadirkan kontroversi, demi mendulang perhatian pengguna. Jika tidak memiliki diferensiasi dari pendahulunya, bukan tidak mungkin sebuah platform akan menemui ajalnya lebih cepat sebelum dia berkembang lebih jauh.

Kumparan menjadi salah satu penantang paling memiliki "bunyi" di dunia platform menulis. Disokong oleh para pakar di dunia digital, diisi oleh editor yang juga sudah punya cukup nama. Deretan line-up dari kehadiran Kumparan ini cukup menarik atensi lebih untuk memperdalaminya secara khusus, tak luput pula bagi saya sebagai salah satu pengelola Kompasiana yang bisa dibilang secara tidak langsung akan head to head dengan penantang terbaru ini.

Mempelajari diferensiasi yang dihadirkan cukup menarik, Budiono Darsono selaku Presiden Komisaris mengklaim Kumparan adalah kombinasi dari situs berita digital dan juga beberapa fitur media sosial. Setelah mencoba telusuri secara singkat, diferensiasinya yang cukup menarik adalah tersedianya timeline layaknya media sosial, dan konten yang bersatu padu antara produksi dari tim redaksi Kumparan langsung, dan juga konten yang di-published oleh pengguna itu sendiri. Mmmmhhh, menarik. Apalagi deretan nama-nama terkenal yang tersaji di sisi kanan, turut menggoda siapapun untuk ikutan nimbrung. Ibaratnya "gw nulis bareng sejajar dengan penulis ini loh".

Tapi, apakah hal itu mampu menarik loyalitas dari pengguna yang telah lebih dahulu menggunakan produk-produk pendahulunya? Saya belum tahu, karena perlu data dan riset untuk membuktikannya. Yang pasti, secara kasat mata timeline Kumparan saat ini justru malah didominasi dari artikel-artikel yang diproduksi oleh tim redaksinya, bukan dari pengguna.

Saya tahu bagaimana sulitnya menarik loyalitas pengguna, selain dunia digital yang sekarang semakin membosankan. Karena dahulu, Internet dianggap sebagai pelepas dahaga akan wawasan dan informasi yang sulit diketahui karena terpisah jarak. Setelah wawasan dan informasi telah penuh, siapapun pasti akan merasa bosan, karena sulit lagi menemukan hal baru yang disajikan oleh Internet. Apalagi ditambah dengan keriuhan digital yang semakin semerawut dengan ocehan negatif, karena tak semua orang mampu menyaring informasi yang benar di dunia digital. Anda mungkin salah satu orang yang sudah bosan dengan Internet? Bisa jadi.

Satu hal yang paling signifikan menarik loyalitas penulis adalah adanya keuntungan soal "materi", buktinya adalah kesuksesan WeMedia yang datang jauh dari Tiongkok beserta brankas Paman Gobernya. Ratusan penulis mendadak berlomba-lomba mengeruk brankas dengan cara apapun, mau cara positif atau mendulang dengan cara kontroversial, semua cara sah-sah saja. Tapi apakah cara itu baik?

Saya pun turut setuju dengan ucapan dari Budiono Darsono saat meluncurkan Kumparan. "yang memenangkan media adalah konten yang bagus dan akurat serta revenue yang berjalan seiring".

Cara undangan dengan artikel-artikel belum jelas kualitas serta keakuratannya adalah cara yang turut ikut membodohi pembaca Indonesia itu sendiri. Proses filtrasi adalah langkah yang paling bijak daripada membiarkan artikel kontroversial hadir memenuhi riuhnya digital. Di era saat ini sudah zamannya kualitas adalah prioritas utama dibandingkan harus mengejar kuantitas.

Nah, Nettter mau berada di posisi mana?

Apakah mau tetap membuka jalan siapapun orang untuk mengisi platform ini atau memilih untuk fokus untuk melakukan filtrasi demi kualitas walaupun pasti jalannya seperti mobil city car yang dipaksa untuk menanjak di arena terjal digital.

Atau, saya punya pemikiran lain. Nettter harus bisa sedikit sombong, sekaligus harus bisa menghadirkan "keuntungan" bagi kontributornya. Selektif memilih kontributor yang sudah terjamin kualitas dan kredibilitasnya, yang boleh mempublikasikan karyanya di Nettter. Sekaligus tawarkan sharing revenue dari iklan yang masuk seperti halnya yang dilakukan Youtube saat ini. Kualitas terjaga, pesan tersampaikan, kontributor juga happy, secara bisnis juga akan sustainable karena konten dan bisnis akan berjalan secara beriringan. Walaupun bukan ide baru, tapi minimal ada diferensiasi yang cukup win-win solution bukan?

Rasanya belum ada platform menulis yang menjalankan model seperti itu, mungkin Nettter yang tergoda untuk menerapkan. Atau malah keduluan sama Kompasiana nanti yang akan terinspirasi melakukan hal ini?

Walaupun ada kesan "kok matre banget", tapi ini realitasnya, konten di Youtube semakin menarik dan kreatif karena ada unsur tersebut di setiap Content Creator mempublikasikan karyanya. Bahkan mereka berani klaim jika konten mereka jauh lebih menarik, dibandingkan konten yang disajikan TV yang terkesan jauh lebih konvensional dan kurang variatif. Saya pun mengiyakan.

Selebihnya rasanya soal membaca, berdiskusi, dan berbagi ya semuanya begitu-begitu saja. Yang terpenting waktu akses yang lebih ringan dan enggak kebanyakan loading, menjadi poin utama.

Saya rasa, Nettter secara rasa punya "modal" untuk berkembang jadi besar. Terbukti nyamannya halaman tulis yang saya coba saat ini --enggak tau sih kalo udah rame. Dan yang terpenting harus sudah bisa struggling dengan bantuan tim konten dan bisnis yang yahud punya, sesuai insting manusia. Seidealis apapun pikiran manusia, pasti tetap butuh makan, begitu pula sebuah produk, perlu dipikirkan pula cara bagaimana produk tersebut tetap hidup dengan jalan yang stabil bukan terseok-terseok a la media konvensional yang terlalu kaku soal bisnis.

Intinya, jangan ngekor kalo mau ngebantai pendahulu-pendahulunya. Sukses Nettter!
Tulisan ini adalah salam kenal dari kami.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun