Seenak-enaknya makanan restoran, buat rakyat jelata bakalan jauh lebih nikmat makanan yang dijajakan di pinggiran jalan. Makanan jalanan adalah penggerak kehidupan bagi rakyat yang sedang berada di ekonomi bawah tanah. Jika Anda berada di atas puncak ekonomi, saya yakin Anda akan sulit merasakan bagaimana ajaibnya rasa nasi goreng gila Pejompongan, pecel lele Lamongan yang telah sukses menginvasi kota, nasi uduk betawi dengan aroma jengkol yang khas, atau mungkin juga Anda tidak akan tahu bagaimana asiknya menyilakan, menangkringkan sebelah kaki di Angkringan Yogyakarta yang juga sudah berhasil mewarnai trotoar kota.
Saya pernah merasa sangat-sangat berdosa, ketika pada saat itu menghadiri undangan di salah satu restoran yang bernuansa elitis, dan harus menghabiskan makanan sederhana, lauk pauk yang paling sering ditemui rakyat jelata, tapi harga satu menunya mampu memberikan jatah makan untuk 8 orang miskin yang ada di negara ini. Ada dana yang terbuang sia-sia hanya untuk satu menu ini, dan juga dengan rasa yang sebenarnya tidak asing jika Anda pergi ke warung khas Tegal yang sangat mudah ditemui di manapun. Bayangkan dengan satu lembar merah bergambarkan Soekarno-Hatta ini dan hanya cukup untuk satu menu ini hanya masuk ke pengusaha restoran tersebut, harusnya jika Anda membeli 8 kali di Warteg yang berbeda, walaupun sedikit Anda telah membantu menggerakan ekonomi kelas bawah tanah ini.
Jika melihat data pelaku UMKM yang ada di Indonesia saja telah menunjukkan UMKM sebenarnya adalah tulang punggung ekonomi negara. Jumlahnya telah mencapai sekitar 56 juta. Dan para pedagang makanan yang ada di jalan-jalan ini adalah bagian besar dari tulang punggung ekonomi Indonesia. Inilah yang seharusnya menjadi alasan mengapa makanan jalanan adalah kontributor ekonomi yang juga harus dihargai, diberikan kesempatan dan juga berhak mendapatkan tempat yang istimewa.
Beberapa hal inilah yang mengapa hingga saat ini, bagi saya kuliner jalanan adalah yang terbaik. Dan akhirnya menggerakan saya untuk ikut menyemarakan gelaran Jakarta Street Food Festival 2016 yang diadakan di Mall Kelapa Gading, La Piazza ini. Saya sendiri tidak yakin, seberapa besar program promosi makanan jalanan ini akan berjalan dengan sukses, tapi setidaknya penyelenggara telah memiliki niat yang sangat baik dengan memberikan tempat yang istimewa bagi para pedagang jalanan ini.
Di festival ini perlu digarisbawahi tidak semua pedagang sukses yang berpartisipasi, tapi ada beberapa pedagang yang masih mencoba peruntungannya, masih merangkak dari bawah soal harga dan rasa. Tapi inilah pestanya rakyat jelata, makanan apapun secara ajaib akan tetap terasa nikmat. Berbagai makanan jalanan khas daerah hingga makanan jalanan yang telah dimodifikasi menjadi warna yang menarik di Jakarta Street Food Festival tahun ini.
Black Burger Combo
Menu pertama yang paling menarik saya ketika mencoba mengelilingi kedai adalah Black Burger Combo yang disajikan oleh Skater Black Burger & Hot Dog. Sesuai dengan namanya burger jalanan yang satu ini memang terlihat sedikit berbeda dari biasa, warnanya rotinya hitam, bukan karena dimasak gosong, bukan karena diberikan tinta cumi karena akan berbau amis, bukan juga karena dimasak oleh Spongebob yang mampu mengubah Krabby Patty menjadi warna-warni, sekali lagi bukan. Tapi karena pada saat roti dibuat diberi campuran sari dari arang jepang yang membuat roti burger ini menjadi mirip ayam cemani.
Kombinasi Indonesia dan Thailand
Sebagai pelepas dahaga, saya coba mengombinasikan antara minuman khas Indonesia dan Thailand, walaupun minuman Thailand yang satu ini saya boleh minta cicip dari Kompasianer yang juga ikut Gerebek KPK kali ini, hehe. Minuman yang pertama saya cicipi adalah minuman paling universal yang ada di Indonesia dan memiliki nama yang bermacam-macam. Jika di daerah Sunda Anda bisa menyebutnya dengan cendol, di daerah Jawa Tengah Anda akan terbiasa menyebutnya dengan dawet ayu. Sampai sekarang ini pun saya belum tahu sebenarnya ini minuman khas daerah mana, silakan masing-masing daerah diperebutkan hak kepemilikannya.
Tapi, yang satu ini bukan berasal dari Jawa tapi saya menemukannya dengan nama Cendol Minang. Terbukti sudah tak semua orang Minang itu suka makan makanan yang serba pedas, tapi soal minuman ada juga yang suka dengan rasa yang manis.
Minuman yang selanjutnya adalah Katisod --bener ga ya tulisannya-- dari Thai Gogo, kedai yang satu ini sama ekslusifnya dengan Black Burger hanya tersedia di Jakarta Street Food Festival, tidak memiliki toko di tempat lain. Saya hanya mencicipinya sedikit, takut diamuk massa kalau saya habiskan, hehe. Kombinasi tiga scoop ice cream, menjadi penyegar tenggorakan yang paling juara dengan topping kolang-kaling, kelapa muda, kacang merah dan jagung, rasanya nano-nano. Lagi-lagi sebagai penambah wawasan soal rasa kuliner, dessert yang satu layak untuk dicoba, apalagi hanya tersedia di JSFF.
Masih kurang puas? Cek juga video keseruan Gerebek bareng KPK yang satu ini melalui video di bawah ini, Ciao!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H