Mohon tunggu...
Kevinalegion
Kevinalegion Mohon Tunggu... Wiraswasta - Full Time Family Man

Get along between Family and Food!

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Budaya Tanpa Kamera di Konser Jepang yang Wajib Ditiru di Indonesia

12 Oktober 2016   12:14 Diperbarui: 12 Oktober 2016   14:37 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jika bicara budaya, Jepang mirip-mirip dengan Indonesia yang memiliki ciri kebudayaan yang cukup unik dan beragam. Anda bisa dengan mudah mengetahui bagaimana beragamnya budaya yang terjadi di Jepang, mulai dari gaya hidup yang baik hingga kelakuan-kelakuan aneh seperti menanamkan tanduk di kepala semua ada di Jepang, atau mudahnya Anda bisa baca tulisan salah satu Kompasianer yang berada di Jepang, akan selalu ada cerita menarik yang bisa dibahas.

Sebagai digital boy, akhir-akhir ini saya lagi senang-senangnya muterin musik dari Youtube karena playlist-nya yang sangat beragam, saya bisa mendapatkan update lagu terbaru dari artis-artis yang juga mulai menginvasi Youtube. Lagu terbaru mereka bukan lagi muncul paling pertama dalam bentuk CD, tapi di era saat ini lagu akan tayang perdana melalui channel yucub artis tersebut. Pergeseran model marketing di dunia musik saat ini. Tak hanya itu, selain mendapatkan musik yang fresh, Youtube seakan mampu berubah menjadi mesin nostalgia.

Ditambah lagi, melalui situs ini Anda akan dibuat merasa seperti mengikuti konser musisi tersebut, walaupun hanya dari layar. Anda akan dibuat merasa seperti hadir di acara. Dan saya selalu senang mendengarkan musik yang berasal dari video konser musisi tersebut, karena live perform bagi saya akan menentukan seberapa baik kualitas band tersebut karena tanpa melalui unsur 'editing' terlebih dahulu lewat studio. Anda akan tahu apakah band tersebut benar-benar mampu bermain sama baiknya ketika berada di studio ataupun tidak, paling mudah Anda bisa tahu apakah suara vokalisnya benar-benar sesuai dengan hasil rekaman di studio.

Berkali-kali penelusuran selama berjam-jam, otak saya terasa tersentil dengan aksi panggung dari band One OK Rock yang berasal dari Jepang. Ketika mendengarkan versi aslinya, jujur saya tidak terlalu tertarik dengan lagunya karena musik yang diusung sedikit mirip dengan Incubus, 30 Second to Mars atau saya bisa bilang ada sedikit nuansa ala Killing Me Inside, band asal Indonesia. Tapi saya sedikit tercengang ketika melihat aksi panggungnya yang digelar di stadion Jepang. Perform yang ditampilkan memang luar biasa, dari Taka sang vokalis yang memiliki stamina suara luar biasa walaupun pecicilan, enggak kalah lah sama Armand Maulana. Tapi rekan lainnya yang total hanya berempat untuk satu band, juga mampu menciptakan atmosfer yang luar biasa, dengan musik yang tanpa celah sedikitpun untuk tetap berisik.

Tapi setelah berulang kali saya putar, ada yang berbeda dan benar-benar berbeda dari penampilan mereka saat live. Ah, saya menemukan. Penonton dengan sangat antusiasnya ikut bernyanyi sepanjang konser, bersorak, membuat circle of death, headbanging. Anda bisa cek sendiri penampilan mereka saat live di Jepang, seluruh penonton mengangkat tangannya bukan untuk menegakkan kamera, bukan berusaha untuk merekam hingga menghasilkan gambar yang stabil, bukan itu. Mereka menikmati setiap gerakannya yang beriringan dengan musik yang selalu menghentak. Mereka sibuk meneriakan huruf "O" dengan irama yang sama dengan musik.

Aaah, sudah terlalu lama rasanya saya bisa menikmati suasana ini ketika Stevie Item dan Andra melengkingkan senar gitarnya, dipadu dengan suara serak Dedy yang menyanyikan lagu Alibi pada konser tunggalnya di Ancol. Atau suara melengking Kang Arul Efansyah saat melantunkan lagi Timur Tragedi saat pesta rock yang digelar di Jakarta pada saat itu. Perkembangan teknologi tanpa batasan ini salah satu yang mengikis atmosfer konser yang ada saat ini di Indonesia, bahkan saya pernah mengalami kejadian yang cukup menggelikan pada saat penugasan liputan Armin van Buuren di Ancol, harapan saya seluruh audiens mengikuti alunan trance yang dibawa Armin jauh-jauh dari Belanda, audiens justru sibuk dengan kamera henponnya. Ketika saya wawancara salah satu pengunjung bahkan mereka tidak mengetahui Armin van Buuren dan beberapa DJ lain yang dibawanya ke Jakarta, duh. Rasanya ada yang harus diubah soal budaya konser di Indonesia.

Ini yang membuat saya benar-benar ingin menelusuri, hal seperti apa yang mampu membuat audiens di Jepang itu benar-benar kompak, benar-benar menghabiskan uangnya untuk bersenang-senang di sebuah konser. Jika Anda belum percaya karena One OK Rock band dari Jepang yang membuat audiens mau berjingkrak saat konser, Anda bisa cek kembali konser Mr. BIG tahun 2009 di Budokan. Walaupun saya yakin tak semua orang Jepang bisa mengikuti lirik yang dilantunkan Eric Martin, tapi mereka benar-benar sangat menikmati lengkingan gitar Paul Gilbert, betotan Billy Shehaan, dan tabuhan Pat Torpey. Semua berjingkrak, bersorak, benar-benar melupakan dahulu rutinitas sehari-hari demi menikmati musik berkelas.

Setelah membaca beberapa referensi. Ada hal-hal yang benar-benar terlarang saat menghadiri konser di Jepang.

Ilustrasi: rocketnews24.com
Ilustrasi: rocketnews24.com
Yap. No Photos dan No Videos akan menjadi tanda manis yang akan mewarnai beberapa spot di tempat konser di Jepang. Mau artis Jepang atau artis luar lainnya, setiap konser yang digelar di Jepang akan selalu ada larangan ini. Lumayan tegas bukan? Setiap promotor musik di Jepang akan memberlakukan larangan ini, bukan tanpa sebab karena dengan adanya larangan ini penonton diajak untuk lebih aktif dengan suasana konser. Saya ingat betul ketika Corey Taylor, vokalis Slipknot turun ke bawah stage dan membuang handphone penonton yang terlalu sibuk memijit layar dibandingkan menikmati suaranya. Ibaratnya ketika Anda presentasi di depan rapat, tapi peserta rapat justru sibuk memainkan gadget-nya dibandingkan mendengarkan Anda, rasanya saya mau ajak untuk berduel saja di tengah gurun pasir dengan revolver tersemat di kaki --lah, koboi.

Ini yang harus ditiru, tapi jika menunggu audiens sadar saya kira tidak akan ada titik temunya. Tapi harus dari promotor musik Indonesia yang harus melarang penggunaan smartphone bahkan saat di pintu masuk. Dan harusnya promotor merasa rugi ketika event yang diselenggarakan justru disebarluaskan dan digunakan untuk komersial.

cel-fi.com
cel-fi.com
Bagi saya, pemandangan ini adalah pemandangan yang cukup mengerikan untuk dunia musik. Penonton layaknya zombie yang dibius untuk tenang, dan dipaksa untuk menikmati acara, sesekali menjadi fotografer dadakan. Bukan hal yang mengejutkan jika budaya buruk ini salah satu yang membuat kualitas musik dan performa musisi di Indonesia benar-benar menurunkan kualitasnya, atau dampak terbaiknya musik Indonesia yang stagnan dan begitu-gitu saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun