Mohon tunggu...
Kevinalegion
Kevinalegion Mohon Tunggu... Wiraswasta - Full Time Family Man

Get along between Family and Food!

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

Menebar Virus di Tambang Emas Gorontalo

9 Agustus 2016   16:10 Diperbarui: 10 Agustus 2016   07:15 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tahun 2008, menjadi tahun di mana saya diputuskan untuk menjadi apa selanjutnya di dunia ini. Di saat rekan sebaya sibuk dengan agenda ujian penyaringan masuk universitas, kaki ini seolah tidak ingin melanjutkan langkah kembali, kerja otak sepertinya sudah harus rehat setelah mengetahui hasil ujian Sekolah Akuntansi Negara memutuskan otak saya tidak memenuhi kriteria untuk menjadi ekonom. Ilmu yang sudah ditanamkan sejak kecil di bangku sekolah menjadikan pemikiran saya terlalu konservatif, jika ingin sukses dengan dalam hal materi cobalah untuk intim dengan salah satu elemennya. Jika ingin sukses membangunkan Indonesia agar tidak selalu ditulis sebagai negara berkembang di buku-buku pelajaran, tapi akan ditulis sebagai negara maju. Cobalah menggauli kumpulan besar lembaran merah Soekarno-Hatta yang biasanya hanya hinggap di tanggal muda.

Urusan membangun Indonesia, Si Doel mungkin yang akan lebih paham, apa artinya menjadi sarjana dengan segudang ilmu yang didapat tapi hanya diterapkan di Opletnya Babeh. Mandra tanpa sekolah pun mampu dengan mahir mengoperasikannya. Apa artinya jika menjadi sarjana tapi selanjutnya hanya digunakan untuk diri sendiri. Apa artinya menjadi sarjana jika membedakan penggunaan "di" saja bingung harus dipisah atau disambung, atau apa artinya menjadi sarjana jika hanya semata-mata demi mendapatkan jabatan yang lebih tinggi di sebuah korporasi. Cobalah untuk memahami fungsi mengapa sebaiknya satu orang sarjana itu memberikan kontribusi ilmunya kepada negara. Niscaya ratusan ribu lulusan sarjana tiap tahunnya akan membuat Indonesia yang sebenarnya kaya ini menjadi ultra digdaya.

Pemikiran yang sudah tertanam terlalu dalam, mewajibkan saya harus sukses di dunia ekonomi. Menguasai dunia finansial. Menjadi pengusaha mandiri dan mencetak ribuan lowongan kerja. Itu yang selalu digadang-gadangkan di program pemerintah. Tapi kenyataannya tak semua orang bisa menguasai dengan baik dunia finansial, untuk mengerti apa arti ekonomi makro ataupun mikro pun harus bolak-balik buku terlebih dahulu, saya salah satunya. Takdir bagi saya seakan menghentikan langkah untuk memberikan kontribusi nyata untuk negara. Berhenti.

Otak menemui titik buntu untuk berpikir apa lagi yang bisa dilakukan sebelumnya akhirnya saya memutuskan untuk menggemakan Indonesia melalui dunia penyiaran. Dan sampai akhirnya juga menyadari ternyata pemikiran saya terlalu kolot, polos, dunia penyiaran yang sudah dijalani ternyata tidak semuanya berjalan lurus, terlalu banyak obstacles, intrik, dibumbui dengan politik yang menguasai media. Hingga dunia yang terlalu keras dengan persaingan rekan kerja dengan cara yang menjijikkan. Rasanya semua moral baik yang ditanamkan di buku PPKN sejak sekolah dasar itu hanya omong kosong belaka, kumpulan ucapan manis sebelum menemui realitas.

Sampai akhirnya waktu di dua minggu lalu, menjelang menutupnya Bulan Juli di tahun Monyet, saya mendapatkan kesempatan yang tidak semua orang memilikinya. Menebarkan virus yang sudah saya pelajari dan arungi selama waktu tiga tahun di salah satu divisi milik grup media Papa Jakob Oetama. Bukan di Jakarta atau kota-kota besar lainnya, buat apa? Setiap jengkal Jakarta sudah tersedia ratusan ribu sarjana yang siap menuai virusnya.

Akhirnya kaki dijejakkan di  wilayah yang hanya memiliki dua waktu penerbangan dari Jakarta ini. Gorontalo menjadi provinsi yang akhirnya memberikan kesempatan jika ilmu yang saya miliki sebagai sarjana sebetulnya akan jauh lebih berguna jika dibagikan di beberapa penjuru Indonesia.

Provinsi ke-32 Indonesia ini memiliki ratusan kekayaan wisata yang tak terbatas keindahannya. Ironis, dari sejak tiba hingga saat saya memaparkan di ruang kelas sekitar 10 anak muda yang saya temui dari driver, hingga mahasiswa justru tidak mengetahui potensi kekayaan sumber daya yang mereka miliki. Atau mungkin lebih tepatnya mereka kurang memahami dan menyadari kekayaan alam yang sudah mereka miliki. Untuk mengetahui wisata yang ada di sana saja, sekitar 10 anak muda itu tidak bisa memberikan jawaban yang memuaskan pertanyaan saya, dengan jawaban yang cukup membuat siapapun wisatawan bimbang jika ke sana. Atau ada juga bahkan dari 10 anak muda ini yang belum pernah ke lokasi wisata yang ada di Gorontalo. Duuhh. 

Hal serupa juga terjadi ketika saya ingin mencicipi makanan khas Gorontalo, makanan yang benar-benar khas tidak ada di kota lain, tidak ada di Jakarta lebih tepatnya. Tahu saya dibawa ke mana? Destinasi kuliner pertama saya di Gorontalo terpaksa harus singgah di rumah makan yang memiliki nama yang cukup unik dan juga asing di telinga saya, dan apesnya restoran ini ternyata hanya menyediakan menu paket ayam bakar. Ayam bakar di Jakarta berserakan, Bung. Pertama saya berpikir jika mungkin saja, driver yang ikut mengantarkan kami itu memang kurang wawasan terkait makanan khas di sini, atau mungkin juga dia pendatang. Tapi ketika saya tanyakan ke beberapa mahasiswa dan penduduk di sana, rupanya sama saja. Saya malah direkomendasikan untuk makan di mal satu-satunya yang ada di Gorontalo, dan juga pergi ke cafe-cafe, duh.

Sambil menggarukkan kepala dengan sangat serius, akhirnya saya memutuskan untuk menggunakan keilmuan saya selama belajar di Google University. Hasil pencarian tak kalah mengecewakannya seperti jawaban anak muda sebelumnya, hanya sedikit artikel yang membahas wisata maupun makanan khas Gorontalo, sekalipun ada penjelasannya lumayan menambah kebimbangan. Silakan googling untuk membuktikannya. Harapan terakhir kami ada di pundak crew KompasTV yang ada di Gorontalo --lebay-- walaupun pada pertamanya saya kembali diajak ke cafe, Hahaha. Tapi beruntungnya ada menu khas di cafe ini, Pisang Goroho namanya, kripik pisang yang diberi cocolan sambal. Akhirnya berjam-jam sudah waktu berlalu, dan saya sibuk mengorek habis-habisan hal keunikan apapun yang ada di Gorontalo.

"Jangan sekali-kali menerima air putih dari wanita tidak terlalu dekat di sini, bisa-bisa betah di sini dan enggak balik ke Jakarta," seloroh salah satu crew KompasTV.

Saya menimpali dengan jawaban tebakan jika salah satu crew KompasTV ini berarti telah meminum air putih dari wanita Gorontalo, pasalnya dia sendiri berasal dari Cianjur dan baru setelah 13 tahun akhirnya dia memutuskan untuk pulang kampung, itupun sebentar. Habis sudah materi candaan, akhirnya saya mendapatkan jawaban dari semua teka-teki semenjak saya menginjakkan kaki di kampungnya Norman Kamaru ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun