Pertama, gambar di atas hanya ilustrasi. Kaum jelata seperti saya, rasanya sulit untuk mengakuisisi mobil dan motor macem ini. Sebagai penganut hidup serba irit menjadi alasan kuat mengapa saya menuliskan artikel ini. Melalui tiga moda transportasi saya akan memberikan hasil eksplorasi saya ketika harus mengarungi lautan kehidupan demi sesuap nasi di Ibu Kota.
Dalam waktu 6 hari, tiga moda transportasi yang saya gunakan adalah sepeda motor, mobil, dan Commuter Line. Kenapa saya tidak mencantumkan kendaraan umum seperti angkot atau bis? Karena saya memang kurang suka karena ribet, jadi artikel ini akan dikerucutkan bagi penjelajah Jakarta yang enggak suka ribet seperti saya. Kenapa taksi tidak masuk? Karena menurut saya taksi adalah kendaraan umum paling cocok buat kelas menengah ngehek yang tidak akan menyelesaikan solusi kemacetan Jabodetabek, jadi saya coret.
Titik start saya mulai dari perumahan Alam Sutera Tangerang Selatan, karena kebetulan saya harus jadi ojek pagi buat maminya berangkat ke kantor. Titik finish berakhir di kantor Palmerah. Pada rute ini memang paling cocok hanya tiga moda transportasi ini, jarak yang ditempuh sekitar 25 km lumayan males jika harus naik-turun kendaraan umum yang belum bisa sekali jalan, ribet breh.
Kendaraan saya yang saya gunakan untuk menguji efisiensi tiga transportasi adalah Bajaj Pulsar NS 200, Commuter Line (Green Line), dan mobil pribadi. Berhubung mobilnya pinjeman ke Babeh, kadang menggunakan Kijang LGX, Splash, dan Xenia. Saya mengambil uji dari mobil yang paling irit, Xenia.
Enjoy...
Sepeda Motor: Bajaj Pulsar NS 200
Itu baru perhitungan bahan bakar, selanjutnya kita bahas mengenai rute perjalanan. Start dari Alam Sutera saya harus melalui jalur Tangerang dari KH. Hasyim Ashari - Joglo - Pos Pengumben dan Palmerah yang menempuh sepanjang kurang lebih 19 km. Ada beberapa titik kemacetan yang harus saya temui setiap harinya jika berangkat saat jam sibuk.
Di Joglo akan ada hambatan karena jalur yang dilalui masih satu jalur, dan ini satu-satunya akses gerak urban dari pinggiran Tangerang menuju Jakarta yang paling mudah diakses. Semua pengendara tumpah ruah di jalur yang sempit ini, walaupun sekarang lagi diberlakukan pelebaran jalan yang memakan waktu bertahun-tahun. Hahaha, mungkin ngirit APBD apa mau korup dana tahunan, skip.
Jika Anda tidak berangkat dari pukul 5.00 WIB, Anda akan terjebak di titik ini. Jika jalur yang sudah sempit ini semakin dipaksakan menjadi kontra flow dadakan, Metro Mini pun ikutan melawan arah. Kelar!
Dalam posisi traffic yang lengang, Anda harus menempuh jalur ini sekitar 45-50 menit. Jika macet parah di jam sibuk, siap-siap menempuh jarak yang sebetulnya tidak terlalu jauh ini menjadi kurang lebih 2 jam perjalanan. Jadi, jalur menggunakan sepeda motor ini bisa berubah-ubah tergantung jam berapa Anda melalui jalur ini, sesuaikan dengan jadwal kerja Anda. Jika memang mengharuskan Anda menggunakan sepeda motor, sebaiknya berangkat lebih awal daripada terjebak kemacetan.
Mobil Penumpang: Daihatsu Xenia
Pilihannya hanya, Anda mau macet-macetan di tol karena antrean bayar tiket atau macet di jalur Joglo dan Pos Pengumben. Jalur yang lebih variatif, tetapi waktu yang harus ditempuh jauh lebih banyak. Anda bisa bayangkan jika sepeda motor saja bisa memakan waktu yang cukup banyak saat macet, bagaimana dengan mobil? Jadi pilihan terbaiknya adalah melalui tol. Beruntungnya Alam Sutera sudah memiliki akses langsung menuju tol di dalam perumahannya, mulai dari start saya bisa langsung melaju di tol, ada dua titik kemacetan ketika saat antre di pintu Karang Tengah dan Tomang, selebihnya lancar. Biaya yang saya keluarkan untuk setiap gerbangnya Rp 30 ribu untuk pergi-pulang dalam satu hari. Untuk satu bulan, hanya untuk biaya tol saya harus mengeluarkan kocek sebesar Rp 720.000,-
Itu baru tol, untuk bahan bakar dalam perkiraan kasar Rp 150 ribu untuk 6 hari, jadi satu bulan saya harus mengeluarkan dana kurang lebih sebesar Rp 600.000,- untuk penggunaan bahan bakar. Total pengeluaran sebanyak Rp 1.220.000,- untuk satu bulan ketika saya menggunakan mobil penumpang.
Waktu yang ditempuh saat melaju di tol sekitar 1,5 - 2 jam.
Keuntungannya, menggunakan mobil itu nyaman parah. Tidak kepanasan, duduk nyaman, melalui uji satu bulan ini juga saya jadi mengetahui alasan mayoritas orang yang memiliki mobil itu sulit bahkan enggan beralih ke transportasi umum. Walaupun macet, ya saya tidak merasakan kelelahan yang berlebih jika dibandingkan menggunakan sepeda motor. Maka dari itu juga alasan mengapa mobil LCGC itu laku di pasaran, selain irit juga kenyamanan saat menggunakan transportasi ini yang membuat pengguna mobil enggan beralih.
Satu alasan pengguna mobil beralih ke transportasi umum hanya waktu, menunggu bosan dengan kemacetan dan telat ke kantor setiap hari.
Commuter Line: Jalur Serpong (Kombinasi Transportasi)
Bagi saya yang rutin menggunakan moda transportasi ini, saya paling tidak setuju dengan rencana petisi mundurnya Pakde Jonan. Commuter Line adalah wujud pasti majunya negara Indonesia di sektor transportasi. Peradaban Indonesia menjadi lebih maju dengan kehadiran Commuter Line. Melalui transportasi inilah bukti konkret edukasi moral berjalan. Masyarakat Indonesia diajak untuk lebih tertib, lebih peduli kepada orang lain, diajak untuk mengenal teknologi ticketing tanpa kertas.
Dari transportasi ini pula, developer perumahan elite mau menjajaki pelosok Jabodetabek, memberikan program rumah murah subsidi MBR di era pemerintahan Pakde Joko. Jika tidak percaya Anda bisa telusuri stasiun ujung Commuter Line ini seperti deretan Parung Panjang hingga Maja, Citayam, Bojong atau sebentar lagi Rangkasbitung yang sebelumnya orang enggan untuk menjamahnya dari Jakarta.
Oke lanjut.
Start dari Alam Sutera saya harus menuju stasiun terdekat yang ada. Ada dua stasiun terdekat, Stasiun Rawa Buntu dan Tangerang. Menghindari agar tidak transit terlebih dahulu di stasiun Tanah Abang, saya memutuskan mendekat ke Stasiun Rawa Buntu di Jalur Serpong. Lagi pula jalur menuju stasiun ini lebih mudah menghindari jika seandainya terjadi kemacetan kecil. Karena saya tidak mau ribet, perjalanan menuju stasiun bisa lebih variatif, bisa menggunakan sepeda motor atau mobil.
Dalam hitungan perkiraan, saya hanya menghabiskan bahan bakar sebanyak Rp 200.000,- untuk satu bulan. Biaya parkir sepeda motor memakan dana 5 ribu untuk satu hari, jadi sebulan menghabiskan Rp 120.000,- untuk satu bulan. Tarif yang dikenakan dalam perjalanan pergi-pulang menggunakan Commuter Line hanya Rp 4 ribu, jadi per bulan kocek yang dikeluarkan untuk satu bulan Rp 96.000,-. Total untuk satu bulan biaya yang saya habiskan untuk Commuter Line dikombinasikan dengan sepeda motor menghabiskan kurang lebih Rp 416.000,-Â untuk satu bulan.
Lebih mahal sedikit dibandingkan dengan sepeda motor murni. Keuntungan terbesarnya, saya bebas dari kemacetan, kereta AC, dan saya bisa memangkas waktu sedikit lebih cepat dibandingkan menggunakan sepeda motor.
Uji kedua saya menggunakan mobil untuk menuju stasiun, perbedaannya hanya di bahan bakar dan parkir. Untuk parkir resmi mobil, per hari dikenakan Rp 15 ribu, untuk satu bulan Rp 360.000,- dan untuk bahan bakar perkiraan kasar saya hanya membutuhkan Rp 300.000,- untuk satu bulan, lumayan kan jika dibandingkan lewat tol. Total dana yang dibutuhkan hanya menghabiskan Rp 756.000,- untuk satu bulan.
Keuntungannya, biaya jauh lebih murah, saya masih bisa menikmati dinginnya AC mobil dan Commuter Line, dan waktu tempuh juga dipangkas habis.
***
Kesimpulannya, jika saya lebih memilih untuk betah di kemacetan, saya akan memilih menggunakan jalur konvensional transportasi biasa. Tapi keputusan subjektif saya untuk saat ini adalah saya lebih memilih untuk mengombinasikan motor atau mobil yang dilanjutkan menggunakan Commuter Line, karena jauh lebih efisien soal waktu dan tenaga, harga yang dikeluarkan hanya beda tipis.
Jadi kayak artikel ekonomi, duh.
Oke selanjutnya, apa pilihan moda transportasi Anda?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H