Itu baru soal sinyal, buat saya yang lebih banyak bergelut di dunia digital ini persoalan besar.
Oke, setelah santap sore di restoran yang juga saya mendapatkan pengalaman pertama kalinya merasakan daging payau yang setelah saya makan saya tanyakan kepada penjual tersebut ternyata daging rusa. Saya ambil alih kemudi mulai dari Longikis, setelah bunda Agatha puas merasakan jalur Kalimantan yang memiliki karakter berbukit-bukit.
Mulai dari daerah inilah karakter jalan yang sebenarnya dari pulau Kalimantan. Sepanjang jalan anda hanya disajikan dengan deretan pohon sawit dan berbagai pohon lainnya, serba hijau pemandangan di sisi jalan hanya beberapa kali anda bisa menemukan lokasi yang terdapat pemukiman warga.
Menjelang tengah malam ada momen yang cukup unik bagi saya, di tengah perjalanan dengan pemandangan serba hutan yang lebat, tersempil PUSKESMAS. Hebat bukan, di tengah hutan bisa ada tempat seperti ini. Tapi, tempat yang satu ini memilih kriteria khusus bagi para pasiennya, tempat ini hanya dikhususkan bagi para supir truk yang melintasi jalur ini. Yap, di tengah perjalanan malam hari, road captain menghibur seluruh rombongan dengan candaan yang ternyata akronim dari Puskesmas ini adalah Pusat Kesehatan Mas-mas.
Bayangkan di jalanan seperti ini tersebar rumah prostitusi, tanpa perlu khawatir soal razia. Silakan saja POL PP razia ke tempat ini, jaraknya jauh men. Habis di ongkos, apalagi mereka akan menghadapi puluhan supir "babon" yang sudah pasti akan protes jika kebutuhan syahwat mereka dibabat.Â
Prediksi perjalanan yang diperkirakan memakan waktu selama 5 jam dari titik peristirahatan, molor lebih lambat menjadi 7 jam. Hal ini dikarenakan jalan yang dilalui bisa dibilang mustahil dilewati mobil city car sekelas Datsun GO+ Panca. Terlalu banyak jalan yang berlubang, saya yang dipercayakan untuk pegang kemudi harus sangat berhati-hati sambil mendengarkan arahan road captain terkait rintangan yang akan dihadapi di depan perjalanan.
Oh ya, kami berinteraksi dengan rombongan menggunakan RIG (semacam HT dengan jangkauan yang lebih luas) yang terpasang di seluruh mobil rombongan. Maklum, bagi kami yang belum mengetahui medannya sama sekali jelas was-was dengan kondisi jalan yang sangat gelap. Beruntung road captain di depan menggunakan All New Navara dan X-Trail yang dikemudikan penduduk asli Kalimantan, jika menghadapi rute yang hancur dan terpaksa menghajar lubang pun kedua mobil ini akan lebih siap.Â
Belum selesai, ini yang paling membuat saya deg-degan luar biasa. Menurut informasi tim advance yang sudah lebih dulu melewati jalur, mereka menginformasikan jika baru saja terjadi sedikit longsoran di beberapa titik jalan. Dipadukan dengan cuaca hujan, lengkap sudah beberapa titik boleh dinobatkan sebagai jalur semi offroad. Ingat, peserta hanya menggunakan Datsun GO+ Panca yang notabene memang city car.
Yang terparah kami harus melewati beberapa titik tanjakan curam yang berlumpur, berlubang dan hanya bisa dilalui dua mobil, jika bertemu dengan truk terlalu riskan. Kalau menurut rekan saya Indra Furwita yang kerja di dunia penerbangan, mobil saat ini ketika melalui melalui tanjakan ini seperti dalam keadaan stall di pesawat. Dan cilokonya, Risers 1 yang diisi oleh tiga perempuan tangguh asal Bandung mati mesin karena kurang menginjak pedal gas. Empat mobil di belakangnya terpaksa harus berhenti di tengah tanjakan. Hasilnya? Seluruh peserta kesulitan untuk melanjutkan tanjakan di tengah kondisi jalan yang cukup berlumpur dan berlubang.
Beberapa kali saya harus menahan gas dan berkali-kali menarik rem tangan karena ban hanya berputar di aspal yang basah bercampur lumpur. Tenaga yang dimiliki Datsun GO+ Panca terlalu liar dengan ukuran ban yang kecil dan harus menghadapi medan ini. Seluruh peserta disarankan untuk zig-zag agar mendapatkan momentum, padahal truk besar juga terpaksa untuk berhenti di tengah tanjakan karena seluruh peserta terlalu asik buat "ngesot-ngesot" di tanjakan. Saya enggak kebayang seandainya itu truk juga ikutan slip dan nyeruntul turun.