Apa sih yang paling terbayang dengan hidup para pekerja di ibukota Jakarta, manusia super sibuk?, manusia yang paling stress dengan kerjaan?, manusia robot pekerja?, atau manusia yang paling super sabar sama kemacetan jakarta?. Buat saya semua hal itu adalah bumbu-bumbu yang akan mewarnai hidup kamu ketika hidup di Jakarta, beruntung jika pekerjaanmu sesuai dengan passion kamu, atau setidaknya pekerjaanmu itu tidak terlalu banyak tekanan dan target-target ambisius perusahaan. Sebagai warga pinggiran antara Tangerang dan Jakarta, beruntung kadar stress saya yang bekerja di ibukota tidak perlu ditanggapi secara serius. Pekerjaan sudah sesuai passion, tiap hari kerjaannya hanya ber-internet ria, dan yang terpenting tidak pernah sering-sering bertemu dengan klien yang menggangap mereka telah memiliki "dunia" dengan uangnya.
Tapi tidak dengan si eneng yang setiap hari harus berkutat dengan dunia tung-itung duit, setiap hari harus menganalisa apakah nasabah tersebut sesuai dengan kriteria yang sudah ditetapkan perusahaan, setiap hari harus mengejar target yang perusahaan minta, di dalam otak selalu terngiang-ngiang target yang harus ditempuh bersama tim setiap harinya, plus ditambah nasabah Ndablek yang sudah ditolak permohonannya, tapi tetap memaksa bahkan marah-marah enggak jelas karena merasa punya duit banyak. Kadar stressnya tentu sangat kontras dengan pekerjaan sehari-sehari yang biasa saya jalani. Bahkan, gara-gara nasabah Ndablek ini kadang saya juga malah ikutan turun tangan. Kebayang berapa kadar "kurang piknik" yang terkumpul setiap harinya, padahal kerjanya juga bukan di Jakarta. Jadi, tidak ada alasan korelasi antara lokasi kerja mempengaruhi beban kerja yang ditanggung.
Nah, setiap hari lagi-lagi saya ikutan turun tangan, setiap hari diajak liburan, setiap hari dikodein blog yang cerita tentang lokasi-lokasi trip. Seandainya saya turunan ketujuh dari pengusaha kaya raya yang memiliki uang seperti game playstation dengan gameshark-nya, kode-kode semacem ini mungkin bakalan langsung di-iyakan semudah klik tombol confirm. Sayangnya saya cuma turunan dari pejuang tentara pelajar Indonesia, yang uang pensiunnya pun enggak bakal sampe dua turunan.
Jadilah searching-searching lokasi yang sekira-kira murah tapi lumayan lah buat refresh otak, yang penting enggak keluar duit banyak, Hahaha. Pilih deh Bandung yang akrab dengan julukan kota Kreatif, pas kan orang kere-atif pergi ke kota kreatif.
Kang Emil beberapa tahun belakangan pernah menjelaskan, tak kurang dari 22.000 kendaraan asal Jakarta masuk ke Kota Bandung untuk berwisata dan berbisnis. Jumlah tersebut dikatakannya sudah terlalu berlebihan dan menimbulkan keluhan warga karena jalan-jalan di Kota Bandung dipastikan macet setiap akhir pekan. Seolah manut-manut, dan lagipula Kang Emil juga sudah mengajak Ahok untuk membantu mengatasi kemacetan Bandung pada akhir pekan, Kereta menuju Bandung menjadi pilihan utama demi mendukung rencana dua pemimpin masa depan Indonesia ini, Padahal karena belum punya mobil *uhuk.
Oh ya, di usia dewasa sekarang ini saya pertama kalinya lagi menggunakan jasa transportasi kereta selain Commuter Line, jadilah agak-agak sedikit norak dengan pelayanan tiket kereta api yang sekarang mudah banget untuk reservasi, pembayaran hingga pengambilan tiket sekarang tidak perlu antre. Tips pesan tiket kereta Jakarta-Bandung sudah saya pernah ceritakan di SINI.
Setelah dipikir-pikir, tiba di stasiun habis itu lah naik apa buat kelilingnya, Hahaha. Baru kepikiran, bermodalkan referensi dari paman gugel dan beberapa Kompasianer yang berdomisili di Bandung, akhirnya dipilih rental motor. Beberapa referensi rental motor yang ada di Bandung, salah satunya dari kang Fajr Muchtar, tapi sayang rental motornya agak ribet dan kurang fast respond, mungkin juga karena sudah terlalu banyak pelanggan. Akhirnya, sebagai anak yang tumbuh kembang di era digital, kembali bermodal internet gocapan sebulan, dunia marketing online jadi pilihan utama. Vector Rent bisa jadi referensi kamu saat menjelajahi Bandung menggunakan motor, bukan ngiklan loh ya. Malah awalnya ragu karena baru pertama kalinya nge-rental motor, resikonya banyak, motor yang dipinjam bisa saja hilang, ditipu, rusak atau yang lebih parah terlibat kecelakaan karena motor tidak layak pakai.
Pertimbangan-pertimbangan itu yang sedikit membuat ragu, apalagi beberapa rental mewajibkan penyewa deposit uang satu juta sebagai jaminan. Tapi tidak dengan rental Vector Rent yang saya gunakan ini, penyewa cukup memberikan dua identitas diri sebagai jaminan, buat Kompasianer yang mau coba silakan tengok langsung di SINI. Mas-masnya orang Purworejo, Hahaha kirain asli Bandung.
Perjalanan menggunakan kereta memakan waktu kurang lebih tiga jam, jadi kalo kalian mau coba OneDayTrip ala saya ini, pastikan memilih jadwal kereta pagi diusahakan kereta setelah subuh, yang memiliki perkiraan sampai di Bandung sekitar Jam 9'an, namanya juga ODT jadi kamu harus bisa manfaatkan semaksimal mungkin waktu 24 jam.
Tiba di Bandung pukul 10.00, lumayan ngaret karena keberangkatan kereta juga delay tertahan di stasiun Kota. Beruntung juga mas-mas rentalnya sabar banget nungguin kita yang masih di kereta. Oh ya, keberangkatan yang kita gunakan dari stasiun Gambir, jadi buat yang mau coba juga tapi domisili di Bekasi, kereta juga akan berhenti di Stasiun Bekasi, cek website KAI untuk info lengkapnya. Mbalik lagi, setelah sampai di Stasiun Bandung kita langsung cuss ketemu mas-mas rental motor di depan stasiun, verifikasi ulang identitas, diserahkan STNK, Helm, dan pengaman gembok langsung ngaciiiiir...
Tips buat menghindari Helm yang mungkin agak berbau karena namanya juga motor rental, tips dari saya bawa apparel motor seperti sarung tangan, masker balaclava sendiri agar tetap nyaman.Â
***
Jujur, kita berdua buta banget yang namanya jalan di kota Bandung, yang saya tahu hanya jalan di Buah Batu karena ada keluarga yang kebetulan tinggal disana. Jadi, sebagai bocah masa kini yang getol dengan internet lagi-lagi memanggil bantuan paman gugel, bermodalkan apps Google Maps jadilah kita keliling diarahkan aplikasi punya om gugel tersebut. Destinasi awal tentunya daerah Dago Atas karena yang saya tahu cuma ini lokasi wisata yang paling trend di Bandung, meluncurlah langsung. Berhenti di gerai minimarket karena pada saat itu Bandung lagi panas-panasnya sekaligus tanya-tanya ke abang-abang parkir lokasi mana yang asik buat dikunjungi, dijawablah ke Tebing Keraton aja a'... Wahahaha, seketika rada males-malesan ketika dikasih pilihan ke lokasi itu, karena buat Kompasianer aja lokasi ini, lokasi paling mainstream yang ada di rubrik travel Kompasiana. Gara-gara boncenger yang kadar kurang pikniknya sedang memuncak langsung jawab dengan semangat "Mau... Mau... Mau..." tanpa pikir-pikir lagi.
Lokasi ini sebenarnya lumayan terpencil dan apps om gugel sepertinya juga cenat-cenut nyari sinyal akhirnya terpaksa juga menggunakan teknologi Tatang (Tanya-tanya Akang) yang ada di sekitar Dago Atas, dan ternyata mudah karena ada beberapa tanda jalan yang mengarahkan wisatawan mengunjungi lokasi ini. Tapi jangan berharap jalur yang dilalui mulus bagaikan kulitnya kristi jusung, tapi jalannya mirip dijahyellow rata di badan gradakan di akhir, Hahaha...
Menuju Tebing Keraton sebenarnya tidak terlalu jauh, menurut penduduk sekitar hanya berjarak sekitar 5KM dari pinggir kota, tapi ya namanya jalan-jalan, banyak-banyak berhenti lalu selfie menjadi ritual paling wajib anak muda masa kini. Oh ya, sebelum menuju Tebing Keraton, tak ada salahnya mampir terlebih dahulu di cafe D'Pakar, cafe ini berada di satu jalur menuju lokasi, mungkin juga karena semakin banyaknya pengunjung yang melewati jalur ini, maka muncul lah, cafe ini di tengah-tengah bukit dago. Tapi jangan harap akan menemui makanan khas ataupun makanan spesial ala Bandung, walaupun lokasi ini enjoy-able dan selfie-able, makanan disini sangaaaat biaasyaaa. Setidaknya mampir sejenak mengisi perut, menikmati pemandangan bukit sambil menikmati segelas es teh manis menjadi tombol refresh paling mujarab buat si eneng.
Beruntung makanan disini tidak dihargai dengan mahal, harga standar amanlah kantong, setelah nyemil-nyemil cantik kita lanjutkan perjalanan lagi, menurut informasi dari bapak penjaga parkir di cafe, lokasi sudah tidak terlalu jauh hanya berkisar 3KM lagi, si bapak cuma berpesan untuk berhati-hati karena jalurnya lumayan hancur. Sebenarnya saya agak malas untuk datang ke Tebing Keraton, kenapa? Sekali lagi deh, karena lokasi ini lokasi wisata yang paling mainstream yang ada di dunia digital, apalagi di Kompasiana mungkin sudah puluhan tulisan yang terpublish di blog keroyokan ini.
Kira-kira 15 menit perjalanan, kita sudah tiba di gerbang yang mengarahkan lokasi wisata ini. Di gerbang ini semua pengunjung akan disambut dengan tawaran hangat dari akang ojek yang siap mengantarkan wisatawan menuju tebing. Bagi yang membawa mobil, ini pemberhentian terakhir anda, silakan pilih mau menggunakan jasa akang ojek atau berjalan kaki yang kira-kira akan menghabiskan 2KM perjalanan, saran saya pilih ojek karena perjalanan menuju lokasi akan cukup melelahkan dengan mendaki tanjakan dan batu-batu ditambah dengan jauhnya lokasi, tapi jangan harap Go-Jek dengan paket ceban ramadhan jika disini, karena tarif akan dipatok cukup lumayan bisa mencapai 50 ribu rupiah untuk sekali jalan. Maka dari itu, beruntunglah saya yang lebih memilih untuk sewa motor dari stasiun, Hehehe. Ada tapinya, menuju lokasi ini didominasi oleh tanjakan lengkap dengan batu-batuan, buat yang masih belum mahir mendaki dengan menggunakan motor saya sarankan jangan nekad, Sooombooongg!
Hahaha, Tapi ini serius saya tergolong yang cukup nekad mendaki tanjakan batu-batu hanya dengan menggunakan motor automatic disaat pengojek disini merubah ban mereka dengan ban garuk tanah, jalan yang cukup terjal malah saya baru sadari setelah perjalanan turun.
Tiba di lokasi, sebaiknya parkir kendaraan kamu di warung atas karena terlihat lebih aman, hanya terlihat ya. Masuk ke gerbang silakan siapkan uang 11 ribu rupiah untuk biaya masuk, tenang sudah berikut asuransi, jadi ketika kamu jatuh dari tebing atapun kamu kesandung sehingga tebing longsor biaya asuransi sudah dicover, Haha, Horrroor.
Karena lokasi ini sudah sangat mainstream, menurut saya sangat tidak worth it ketika kamu harus berjalan kaki mendaki untuk ke lokasi ini. Lokasi ini hanya memiliki satu spot yang sangat bagus untuk befoto ria, sisanya bisa dikatakan anda sedang berwisata ke kebonnya kong haji yang lagi ngangon sapi. Jadi, sebaiknya anda mempersiapkan terlebih dahulu untuk menyewa sepeda motor untuk ke lokasi ini, selanjutnya terserah anda silakan mengeksplorasi.
Mengapa saya katakan tidak worth it, karena lokasi ini paling asik hanya untuk foto-foto, selebihnya mungkin bisa kamu isi dengan nongkrong-nongkrong sejenak dibawah pohon yang rindang, tapi sekali lagi mirip nongkrong di kebonnya kong haji.
Jam sudah menunjukan pukul 14.00 WIB, masih ada waktu 4 jam lagi buat keliling Bandung sebelum balik ke ibukota. Solat sebentar di musola yang sudah disiapkan pengelola di pintu gerbang, langsung cuuuss turun lagi ke kota. Karena saya sama sekali buta jalan di Bandung, Toko kue Prima Rasa dan Cihampelas jadi lokasi checkpoint terakhir di gugel maps. Karena tak lengkap rasanya jika tidak membawa brownies Bandung dan Peuyeum kembali ke Jakarta. Kapan-kapan kita ketemu lagi ya, Bandung!!
***
Berapa total biaya yang dikeluarkan kita berdua buat ngider-ngider di Bandung selama satu hari? Mungkin ini bisa menjadi guide buat kalian yang mau jalan-jalan ke Bandung hanya sehari tanpa menginap. Rinciannya berikut ini:
- Tiket Argo Parahyangan (PP) x 2 Orang: Rp 480.000
- Sewa Motor + Asuransi : Rp 105.000Â
- Bensin : Rp 20.000
- Makan di D'Pakar : Rp 80.000
- Tiket Tebing Keraton : Rp 22.000
Angka ini masih bisa ditekan jika kalian menggunakan kereta yang lebih murah, karena yang saya gunakan yang paling mahal. :p
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H