Mohon tunggu...
Kevin Fernando
Kevin Fernando Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

Mahasiswa jurusan bahasa dan sastra Inggris dari Universitas Pendidikan Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Newcastle vs Indonesia: Surga vs Mimpi Buruk Pejalan Kaki

7 Januari 2024   10:30 Diperbarui: 7 Januari 2024   10:32 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagai komponen penting dalam kehidupan perkotaan, budaya pejalan kaki mencerminkan cara masyarakat bergerak dan berinteraksi dengan lingkungan mereka. Kesempatan untuk merasakan langsung budaya pejalan kaki antara Indonesia dan Inggris, khususnya Newcastle, menyadarkan saya bahwa pengalaman berjalan kaki bisa sangat berbeda antar negara berdasarkan infrastruktur, gaya hidup, dan standar budaya.

Inggris: Negara yang Didedikasikan untuk Pejalan Kaki

Di Inggris, khususnya di Newcastle, kehidupan kota sangat dipengaruhi oleh budaya pejalan kaki. Tata letak kota ini mencakup banyak zona pejalan kaki, jalan setapak yang terawat baik, dan trotoar. Terdapat banyak taman dan bangunan tua di sepanjang jalan yang menjadikan tempat ini menyenangkan untuk berjalan kaki. Banyak warga dan penumpang memilih untuk berjalan kaki di sini, karena kota ini sendiri mempromosikan budaya ramah pejalan kaki.

Rambu lalu lintas untuk pejalan kaki dan penyeberangan sering kali diperhatikan, dan mobil biasanya mengikuti jalur kanan pejalan kaki. Karena transportasi umum, seperti bus dan trem, terhubung dengan infrastruktur untuk berjalan kaki, maka para pejalan kaki akan nyaman. Inggris juga mendorong kegiatan berjalan kaki sebagai kegiatan rekreasi karena terdapat begitu banyak taman, kebun, dan kawasan lain di sana.

Indonesia: Perpaduan Kesulitan dan Penyesuaian

Budaya pejalan kaki di Indonesia dipenuhi oleh kesulitan tersendiri. Berjalan kaki bisa menjadi aktifitas yang lebih sulit di kota-kota besar seperti kota asal saya, Bandung. Hal ini disebabkan oleh tingginya kepadatan penduduk dan kemacetan di sana. Belum lagi, para pejalan kaki harus melewati berbagai rintangan seperti pedagang kaki lima, sepeda motor yang parkir sembarangan, dan kios makanan jika menggunakan trotoar.

Menyeberang jalan di banyak kota di Indonesia merupakan suatu tindakan yang berani karena, tidak seperti di Inggris, peraturan lalu lintas dan hak pejalan kaki kurang ketat. Meskipun demikian, berjalan kaki masih memiliki komponen budaya yang penting. Ini menyebabkan orang-orang untuk belajar menavigasi lingkungannya dengan sabar dan gesit. Berjalan kaki dan menggunakan angkutan umum, termasuk bus dan angkot, sering kali digabungkan, terutama saat melakukan perjalanan sehari-hari.

Perbedaan antara keduanya

Budaya pejalan kaki di Inggris dicirikan oleh infrastruktur yang terencana, kebijakan ramah pejalan kaki, dan pemikiran kalau berjalan kaki adalah aktivitas rekreasi. Sebaliknya, budaya pejalan kaki di Indonesia mengharuskan adaptasi  dengan tantangan lingkungan perkotaan yang padat, seringkali menuntut ketangkasan dan kesabaran dari para pejalan kaki.

Dua tempat ini memiliki budaya berjalan kaki yang sangat berbeda. Newcastle sangat didesain untuk para pejalan kaki, sementara Bandung masih memiliki beberapa hal yang bisa ditingkatkan. Walaupun begitu, kadang saya masih merindukan pedagang cilok dan pop ice yang gemar berjualan di trotoar jalan Bandung. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun