Mohon tunggu...
Kevin
Kevin Mohon Tunggu... Jurnalis - Journalism Never Die

Seseorang yang sedang mencoba berkarya

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Mutu Sosial dalam Ranah Pendidikan dan Beragama

14 Februari 2022   12:14 Diperbarui: 14 Februari 2022   12:30 1018
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(mediasindoraya.com)

Bagaimana ranah pendidikan dan beragama akan dapat memengaruhi nilai mutu sosial dalam masyarakat? Dapatkah pendidikan dan beragama menjadikan nilai mutu sosial sebagai alasan untuk tetap hidup? Yang menjadikan ranah pendidikan dan beragama bergerak dalam "ilmu sosial" adalah karena ragam nilai, budaya, dan relasi yang terkandung di dalamnya. Dalam ranah pendidikan, hidup beragama, atau bahkan nilai sosial itu sendiri, semuanya bergantung pada "konsep" toleransi yang terjadi, yang dapat menyebabkan suatu akhir yang adalah bagaimana (bonum commune atau bonum privatum).

Mutu Sosial dalam Beragama

Banyak peristiwa, seperti ada 32 tindakan pelaporan penodaan agama, 17 tindakan penolakan mendirikan tempat ibadah, dan delapan tindakan pelarangan aktivitas ibadah yang dilakukan "aktor" non-negara. Ada juga, pada perayaan Natal 2021  diwarnai dengan adanya tindakan persekusi, di mana ketika sejumlah orang mengganggu jalannya ibadah Natal di Gereja Pentakosta Indonesia (GPI) Desa Banjar Agung, Kecamatan Banjar Agung, Kabupaten Tulang Bawang, Lampung. Aksi persekusi terjadi pada Sabtu, 25 Desember lalu. 

Persekusi yang terjadi di GPI Tulang Bawang merupakan salah satu dari sejumlah peristiwa pelanggaran hak beribadah yang terjadi di Indonesia. Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) menggarisbawahi peristiwa-peristiwa semacam itu sebagai krisis yang perlu ditanggulangi. Hal yang menjadi krisis utama adalah bagaimana melihat sebuah negara yang multikulturalisme, pluralisme menjadi negara yang memiliki potensi "kehancuran" karena tidak adanya rasa toleransi, yang padahal pada mulanya keragaman di Republik Indonesia inilah yang menjadi dasar kesatuan dan persatuan.

Mutu sosial tak pernah lepas dari kelekatannya dengan "konsep" toleransi, dan nilai toleransi itu sendiri adalah satu nilai dari berbagai perbedaan agama, di mana dapat diketahui bahwa agama merupakan landasan dari berbagai kegiatan yang manusia jalani apabila ia menganutnya. Agama menjadi nilai utama sebuah ajaran, baik itu dalam hal berpolitik, membuat keputusan hukum, maupun dalam merealisasikan wujud toleransi di berbagai bidang kehidupannya. Namun, apa yang menyebabkan "beragama" dapat menurunkan mutu sosial itu sendiri?

             Pada dasarmya, semua agama itu baik, karena semua agama mengajarkan nilai-nilai kesetaraan dan toleransi sesama umat manusia lainnya, yang juga mengajarkan kebaikan, persaudaraan, dan lain sebagainya. Namun, yang menjadi kendala di sini adalah, apakah seseorang dapat mengelola "doktrin internal" atau keyakinannya ketika berhadapan dengan orang lain? Apakah seseorang itu tidak tahu ajaran yang diimaninya? Hal inilah yang perlu diupayakan dalam pembentukan mutu nilai sosial dalam segala aspeknya, terutama menilik dari landasannya, yaitu agama. Mutu sosial dalam beragama akan tampak dari sikap-sikap yang tidak menolak "apa pun", yang secara relasi beragama itu benar dan baik.

            Toleransi dalam arti yang benar justru baru terjadi kalau ada ketidaksamaan atau ada perbedaan yang benar-benar unik antara agama yang satu dengan yang lain. Toleransi disalahpahami kalau dianggap sebagai penyamaan. Sebab, toleransi pun ada dan terjadi karena adanya keragaman, dan keragaman pun diyakini sebagai kehendak Tuhan.

Mutu Sosial dalam Ranah Pendidikan

            Bila dilihat lebih jelas, isu mengenai kasus intoleransi menginisiasi adanya kepedulian dari masyarakat terhadap kemajuan bangsa ini, terutama dalam ranah pendidikan.  Kasus intoleransi dalam dunia pendidikan, baik itu di sekolah maupun perguruan tinggi, harus tetap menjadi keprihatinan dan "eksekusi" bersama dalam menindaklanjutinya.

            Kesiapan seseorang untuk hidup dalam masyarakat yang sangat beragam, seharusnya diinisiasi oleh sekolah yang membentuknya. Berkaitan dengan "konsep" beragama, ruang dalam ranah pendidikan seharusnya dipacu oleh ajaran yang mengontrol gerak toleransi tersebut. Sebab, lewat ranah pendidikan, mutu sosial akan lebih tampak bagaimana strukturnya.

            Melihat kasus intoleransi dalam ranah pendidikan, seperti sekolah yang gurunya memaksakan para muridnya untuk memilih ketua OSIS seiman, ada pula sekolah yang mewajibkan seluruh siswi untuk memakai jilbab merupakan bentuk intoleransi yang perlu diarahkan dan dikontrol supaya menjadi toleran. Sebab sejatinya, sekolah negeri maupun swasta (pengecualian terhadap swasta Katolik dan sekolah khusus untuk orang-orang yang beragama Islam) adalah sekolah umum bagi semua kalangan dari berbagai suku dan agama.

            Pemerintah pusat perlu proaktif. Kasus intoleransi dapat merusak kemajemukan dan keragaman, harus diselesaikan lewat musyawarah dan mufakat. Solidaritas dalam negara kemajemukan adalah dengan menghormati ibadah dan hak kebebasan beragama, juga dalam berkeyakinan, baik dalam ranah politik, hukum, maupun pendidikan yang dilihat paling esensial terhadap pengaruhnya bagi seseorang untuk kedepannya.

Pintu Baru Menuju Hidup-Toleran

Semua upaya menegakkan sikap toleran ini, didasari oleh pengaruh ranah beragama dan ranah pendidikan yang menuntut rasa keprihatinan terhadap nilai mutu sosial di dalamnya. Ketika satu orang berhasil "menyebarkan" sikap toleransi pada orang yang lainnya, lalu yang lainnya kepada yang lainnya lagi, niscaya perlahan sikap toleransi ini menjadi sikap yang mudah diwujudkan dalam "eksekusi"-nya, meskipun sikap intoleransi merupakan sikap yang tidak bisa dihindari keberadaannua karena kenyataan yang mengatakan tentang anugerah keragaman ini. Akan tetapi, orang yang memiliki kesadaran akan nilai toleransi harus menjadi mediator untuk mengenalkan "konsep" toleransi pada mereka yang masih "tertutup matanya" terhadap nilai toleransi.

Siapa pun memiliki hak untuk dapat berapandangan berbeda tentang sebuah nilai kebajikan. Seseorang yang memahami apa yang diimaninya dan memahami struktur kehidupan berbangsanya, yaitu Bangsa Indonesia, ia secara sadar tidak boleh memaksakan kehendak atas kepercayaan yang dianut, dan  kewajiban untuk meng-"eksekusi" tindakannya berlandaskan pada indikator mutu sosial atas nilai beragama dan "konsep" multikulturalisme.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun