Mohon tunggu...
Ketut Suasti
Ketut Suasti Mohon Tunggu... -

Karyawan Swasta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menipiskan Perbedaan Gender Melalui Pendidikan Di Dalam Rumah

1 Juli 2015   15:49 Diperbarui: 1 Juli 2015   15:49 357
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gender selalu menjadi isu dalam setiap budaya, khususnya budaya patriarki yang masih kental dianut sebagian besar masyarakat Indonesia. Budaya patriarki ini akhirnya melahirkan budaya-budaya yang kurang memberi tempat bagi perempuan untuk memiliki kesetaraan hak serta kewajiban yang sama dengan kaum pria. Tentu saja hal ini terjadi karena segala sesuatunya dilihat dari kaca mata kaum pria yang tentu saja tidak mau dirugikan. Meskipun seiring perkembangan zaman, jurang (gap) antar gender ini kian terkikis, namun dalam kenyataan sehari-hari, kesetaraan gender ini masih dirasa kurang berimbang.

Contohnya, dalam kasus-kasus pelecehan seksual di Indonesia, malah korban pelecehan (perempuan) yang lebih di ekspos beritanya daripada si pelaku (pria), dibahas cara berpakaiannya, moral, pulang malam sendirian dll. Malah yang jelas jelas korban lebih sering bolak balik untuk menjalani pemeriksaan. Akhirnya hukuman buat si pelaku semakin tidak jelas. Bisa-bisa jadi terbalik. Si korban jadi pelaku karena memancing pria berbuat cabul. Bahkan, di sebuah propinsi di Indonesia korban pelecehan seksual bisa-bisa dicambuk. Berbeda dengan di Singapura, misalnya, seorang mahasiswa Indonesia dihukum 6 bulan penjara karena terbukti melecehkan perempuan di MRT.

Namun seiring dengan kemajuan peradaban, dengan ditunjang kemutakhiran teknologi yang memudahkan masyarakat Indonesia mengakses informasi dari luar, maka kekentalan pola pikir patriarkal nantinya pasti berubah. Perubahan pola pikir yang nantinya akan mengubah perilaku serta sistem budaya itu sendiri, tidak mesti harus menunggu itikad dari kaum pria semata, namun justru kaum perempuanlah yang mesti melakukannya! Seberapa cepatkah perubahan itu, tergantung daripada kesiapan serta usaha kaum perempuan itu sendiri.

Perjuangan menuju perubahan itu tidak mesti dilakukan secara frontal dengan demontrasi atau berteriak-teriak di jalan. Kaum perempuan memiliki andil besar dalam mengubah pola pikir satu generasi dengan menanamkan pendidikan kesetaraan gender di rumah. Tanpa disadari, kaum perempuan melakukan “kloning” atau imitasi cara pendidikan dari orang tua. Dengan kemajuan pendidikan rata-rata perempuan Indonesia, pola asuh dari orang tua mesti diadaptasi disesuaikan dengan zaman serta jika ingin memperbaiki generasi dalam kesetaraan gender, mulailah menanamkannya sejak anak-anak usia dini.  

Bagaimana perempuan memperlakukan anak laki-laki, apakah sama dengan anak perempuannya, dari sisi perhatian dan pendidikannya? Pendidikan kesetaraan gender di rumah bisa dilakukan dari hal-hal kecil, dari bagaimana cara anak laki-lakinya memperlakukan saudara perempuan atau teman perempuannya. Anak laki-laki diajarkan untuk menghargai perempuan, seperti contoh : tidak menggunakan adik perempuannya sebagai “pesuruh”…disuruh ini atau itu dengan pemaksaan. Jika ingin diambilkan sesuatu, mesti menggunakan kata “tolong”. Anak laki-laki pun mesti diajarkan suka rela juga membantu saudara perempuannya. Pendidikan dini melakukan pekerjaan rumah tangga juga diajarkan tanpa mengenal gender, contoh : anak laki-laki juga diajarkan menyapu, mencuci baju, menyetrika dan memasak, bukan hanya anak perempuan saja mesti melakukan pekerjaan rumah tangga tersebut.

Pola asuh juga ditentukan dari “modeling” atau menjadi tokoh panutan bagi si anak. Dimulai dari bagaimana ayah memperlakukan ibunya. Apakah ayah menghargai ibu. Jika ayah sering membentak atau melecehkan ibu di depan anak laki-lakinya bisa jadi anak tersebut tidak akan menghargai perempuan. Di beberapa kelompok masyarakat kita ada yg lebih men"dewa"kan anak laki ketimbang anak perempuan ini juga bisa memicu si anak laki-laki tidak menghargai lawan jenisnya. Namun di rumah tetap mesti ditanamkan pendidikan kesataraan gender dengan memperlihatkan contoh langsung bagaimana sikap yang semestinya dilakukan si anak. Si anak juga diberi pengertian, jika sikap yang ditanamkan berbeda dari yang ditemuinya di dalam masyarakat, sehingga si anak tidak bingung. Arahkan si anak agar bisa memiliki sikap yang tegas dan jelas dalam masalah kesetaraan gender.

Dalam kehidupan sehari-hari tanpa kita sadari dan berulang-ulang melecehkan anak perempuan seperti kalimat kalimat ini : "Ah, anak perempuan bisa apa?"  atau "Sana bantu Ibu masak!" atau yang seperti ini"Ngapain sekolah sampai sarjana entar juga setelah nikah urus anak suami dan rumah tangga!"

Jangan pula anak laki-laki kita sampai memerintah saudara perempuannya untuk melalukan hal-hal yang mereka bisa kerjakan sendiri. Berlaku adil tanpa melihat gender anak kita. 

Penting juga untuk anak perempuan, kita bisa memberi pengertian bahwa tidak semua laki-laki yang seusia atau lebih tua atau lebih muda dari ayahnya sebaik ayahnya begitu pula dengan teman-teman prianya. Jika si laki-laki sudah berbicara berbau porno segera tinggalkan dan beritahu orang tua, jika sudah ke fisik langsung lawan segera jangan didiamkan. Mungkin ini bisa jadi masukan untuk mengurangi tindakan-tindakan pelecehan seksual.

Intinya dalam masalah kesetaraan gender, perempuan Indonesialah yang mesti memerjuangkannya. Kesetaraan itu semestinya bukan “hadiah” dari kaum pria, tetapi sesuatu yang diraih oleh kaum perempuan. Perjuangan tidak harus dilakukan dengan cara yang frontal, melawan tatanan atau budaya patriarki yang telah mengakar kuat selama berabad-abad, namun dengan mengikisnya secara perlahan melalui pendidikan di rumah untuk generasi berikutnya. Dan sudah semestinya kaum perempuan membantu kaum perempuan yang lain untuk perjuangan ini, bukan malah justru menekan atau meremehkan perempuan lain yang telah memulainya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun