Hari raya Galungan dirayakan oleh Umat Hindu setiap 6 bulan Bali (210 hari) yaitu pada hari Budha Kliwon Dungulan (Rabu Kliwon Wuku Dungulan) sebagai hari kemenangan Dharma (kebenaran) melawan Adharma (kejahatan). Perayaan ini memiliki perhitungan berdasarkan wuku. Perayaan hari raya galungan identik dengan penjor yang dipasang di tepi jalan atau di samping gerbang rumah menghiasi jalan yang bernuansa alami. Di jaman modern ini, apalagi sebagai tujuan pariwisata, pulau Bali kerap disorot sebagai pulau yan g indah sekaligus religious. (Penjor adalah bambu yang dihias sedemikian rupa sesuai tradisi masyarakat Bali setempat) .
Kata Galungan berasal dari Bahasa Jawa Kuno yang berarti bertarung dan menang, Galungan juga berasal dari Dungulan yang berarti menang. Di kalender Bali wuku kesebelas bernama Dugulan sedangkan di Jawa bernama wuku Galungan, namanya memang berbeda, tetapi memiliki arti sama yaitu Kemenangan. Hari Raya Galungan ialah hari dimana umat Hindu memperingati terciptanya alam semesta jagad raya beserta seluruh isinya serta merayakan kemenangan kebaikan (Dharma) melawan kejahatan (Adharma). Sebagai ucapan syukur, umat Hindu emberi dan melakukan persembahan pada Sang Hyang Widhi dan Dewa Bhatara (dengan segala manifestasinya). Penjor yang terpasang di tepi jalan.
* Rangkaian sebelum Hari Raya Galungan
Tumpek Wariga
Saniscara (Sabtu)Kliwon wuku Wariga disebut Tumpek Wariga atau kalau dibuleleng disebut dengan Tumpek pengatag. Tumpek pengatag jatuh 25 hari sebelum galungan, Pada hari Tumpek Wariga ista Dewata yang dipuja adalah Sang Hyang Sangkara sebagai Dewa Kemakmuran dan keselamatan Tumbuh-tumbuhan. Adapun tradisi masyarakat (sangsit) untuk merayakannya adalah dengan menghaturkan banten yang berupa bubuh yang berwarna dan tipat
- Bubuh putih untuk umbi-umbian
- Bubuh bang untuk padang-padangan
- Bubuh gadang untuk bangsa pohon yang berkembangbiak secara generataif
- Bubuh kuning untuk bangsa pohon yang berkembangbiak secara vegetative
Kalau di Desa Sangsit, pada hari tumpek wariga ini semua pepohonan akan di pasangi tipat taluh(telor) dan akan disirati tirta Wangsupada/Air suci yang ditunas di pura/merajan dan dihaturkan dengan banten (sesaji) . setelah itu kemudian pemilik pohon akan menggetok batang pohon dengan pisau sambil berucap sendiri (Monolog) :
' Dadong-dadong I pekak anak kija
I Pekak ye gelem
I Pekak gelem apa dong ?
I Pekak gelem nged
Nged, nged, nged "