Mohon tunggu...
Ni Ketut Anggriani
Ni Ketut Anggriani Mohon Tunggu... Lainnya - Pempimpi yang tidak tertidur

Mahasiswa Pendidikan Sejarah

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Bali: Menggenggam atau Digenggam Globalisasi?

31 Desember 2021   05:07 Diperbarui: 31 Desember 2021   05:13 425
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Kedua, pada zaman yang semakin modern ini, tentu lebih mengutamakan praktis dan keefisienan dari penggunaan barang, dalam membuat banten/sajen berupa bayuan yang tinggi, sekarang sudah jarang ditemukan yang masih menggunakan batang pisang sebagai media tempat menyusun buah dan jajan, melainkan sudah ada tempat khusus yang sudah banyak dijual untuk membuat banten tersebut yang terdiri dari wadah yang bertingkat sehingga sudah tidak lagi memerlukan batang pohon pisang untuk menyusun buah dan kue dan tanpa perlu menusukkannya pada lidi, serta penggunaan bahan dan alat-alat plastik sebagai ganti untuk perabot sarana persembahyangan. 

Dan yang ketiga, munculnya istilah kremasi yang mungkin sejak dahulu sudah ada, namun karena masyarakat hindu di Bali memiliki tradisi yang disebut ngaben, sehingga sebagian besar lebih memilih tetap melakukan pengabenan dengan serangkaian acara yang cukup kompleks hingga benar-benar bersih dan tuntas upacara kematian yang dilaksanakan tersebut atau bisa dikatakan sesuai dengan adat di daerah masing-masing. 

Untuk melakukan upacara kematian atau Pitra Yadnya dengan kremasi atau ngaben adalah tergantung pilihan dari pihak yang bersangkutan. 

Kremasi atau ngaben di krematorium merupakan pengaruh dari kecanggihan teknologi saat ini, dengan hanya memasukkan jenazah ke dalam ruangan yang sudah didesain sedemikian rupa dan suhu yang sangat panas dapat membakar jenazah dalam hitungan jam saja.

Jika diamati perubahan-perubahan yang terjadi akibat sedikit banyaknya pengaruh globalisasi pada adat dan budaya di Bali, sebenarnya tidak selalu berdampak negatif dan begitu juga sebaliknya tidak selalu akan berdampak positif. 

Perbahan dari model busana adat ke pura, memberikan kenyamanan tersendiri terhadap orang yang memakainya sehingga tidak mengganggu kekhusukannya pada saat melakukan sembah sujud kepada yang di atas. 

Namun jika dinilai dari segi negatifnya, pakaian adat ke pura sudah seharusnya sopan, dan tetap menjaga tata krama pada saat di tempat suci. 

Selanjutnya, penggunaan beberapa alat atau media untuk membuat banten/sesajen dengan alat-alat yang sudah dirancang sesuai dengan kebutuhan, akan mempermudah proses pembuatan dan tentu saja lebih praktis dan tidak perlu waktu lama dalam pengerjaannya. 

Contohnya seperti kasus yang telah dikelaskan sebelumnya, jika kita menggunakan batang pisang untuk menata buah dan kue, kita perlu menusuknya terlebih dagulu dengan lidi lalu menyusunnya. 

Tetapi dengan alat yang sudah dirancang dan dibuat bertingkat, kita hanya perlu menyusun buah tanpa perlu repot mencari dahan pohon pisang juga lidi. Selain itu, penggunaan-penggunaan janur sebagai media tempat sajen juga dialih fungsikan ke plastic-plastik yang bisa digunakan berkali-kali. 

Beberapa hal yang mungkin terlihat biasa tersebut, tanpa kita sadari ternyata dapat sedikit mengurangi makna dalam banten, dikutip dari Kesrasetda, banten terdiri dari tiga unsur, yakni Mataya. Maharya, dan Mantiga. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun