Teringat saat memuncaknya pidato Anies Baswedan pascadilantik sebagai gubernur DKI Jakarta menuai kontra dikalangan masyarakat. Kata 'Pribumi' dalam isi pidato tersebut dianggap sebagian orang telah melukai warga Jakarta dari golongan yang bukan asli keturunan orang Indonesia. Hal ini dinilai bahwa pidato tersebut bermotif untuk mengesampingkan warga nonpribumi. Reaksi ini tentunya ramai dibicarakan di media sosial sampai pidato tersebut dipolisikan. Â Â
Dasar hukum dari pelaporan itu, yakni dianggapnya melanggar Instruksi Presiden Nomor 26 Tahun 1998 tentang Penghentian Penggunaan Istilah Pribumi dan Non Pribumi dalam Semua Perumusan dan Penyelenggaraan Kebijakan, Perencanaan Program, Ataupun Pelaksanaan Kegiatan Penyelenggaraan Pemerintahan.
Masyarakat telah digiring oleh berita yang digoreng renyah dan matang sehingga menimbulkan sikap berlebih. Meminjam istilah Dale (1971:233) bahwa hiperbola suatu cara yang berlebih-lebihan mencapai efek; suatu gaya bahasa yang di dalamnya berisi kebenaran yang direntangpanjangkan. Reaksi sebagian masyarakat tampak hiperbola dalam menanggapi peristiwa ini.Â
Maksud kata 'pribumi' dari ujaran Anies Baswedan itu dalam konteks memberi semangat para pendengar dan mempersuasi publik bahwa semangat persatuan dan kebangsaan harus mulai dirajut kembali setelah sempat pudar ketika kampanye lalu. Seperti halnya yang dikatakan oleh Kenneth Burke dalam studi retorika mengatakan bahwa kegiatan retorika dilakukan karena ada yang mendorong, yang mendorong adalah motif ingin menguasai dan mempersuasi pendengar (Marta, 2014:19).
Dalam konteks di atas, Sang Gubernur sudah menguasai Jakarta dan selanjutnya ingin mengajak masyarakat secara bersama-sama terikat dalam persatuan untuk membangun Jakarata kemudian membandingkan zaman dahulu saat pribumi di masa penjajah. Ujaran "Dulu kita semua pribumi ditindas dan dikalahkan" ditinjau dari segi struktur bahasa terdapat keterang waktu 'Dulu'. Keterangan ini menandakan bahwa konteks yang dibangun dalam pidato tersebut merupakan konteks masa lalu.
Sekarang, sudah menjadi candu ujaran pidato, khotbah keagamaan, dan orasai kampanye menjadi alat politik untuk menebarkan kebencian. Berbagai cara dan strategi dihalalkan untuk menjatuhkan nama baik rival politiknya.Â
Hal ini, memberikan efek negatif kepada masyarakat. akibatnya, masyarakat terlibat aktif di dalam menanggapi berita tersebut. Saat berita itu muncul di sosial media pun tentu ada pro dan kontra, efek kelanjutannya masyarakat yang saling bersebrangan pun akan berdebat dan mencaci maki satu dengan yang lainnya.
Reaksi berlebih yang ditimbulkan oleh segelintir orang yang gagal move on telah berkecanduan untuk menyelancarkan serangan politik. Dampaknya, kebencian yang dimunculkan tidak kunjung selesai. Jika melihat orasi politik beberapa saat lalu, kata 'pribumi' juga sempat diucapkan oleh beberapa politisi akan tetapi tidak seramai ketika Anies mengatakannya seusai pelantikan.
Melihat kondisi seperti itu, Â sudah saatnya perbedaan ideologi politik dikesampingkan. Jakarta sudah muak dengan keributan yang muncul beberapa saat lalu. Masalah kecil yang dibesar-besarkan membuat ketidakstabilan dibanyak sektor. Pandangan terhadap orang pribumi mau nonpribumi akan menjadi RASIS yang tak kunjung usai bila dibahas hingga selesai.Â
China, Arab, Jawa, dan lain sebagainya merupakan satu kesatuan dalam kebhinekaan. Mengedepankan kepentingan bersama lebih utama dibandingkan kepentingan golongan. Selain itu, menjadi kewajiban bersama dalam mengawal dan merawat jakarta. Warna-warni yang muncul dari suku, agama, dan ras merupakan kekayaan multikultural yang tidak ternilai harganya.
Anies Baswedan sudah menjadi gubernur dan pantas untuk dihormati dan dinasihati. Tinggal melihat janji-jani dan semoga terrealisasi. Belajar dari kampanye masa lalu agar dapat mewujudkan Indonesia Emas di seratus tahun ulang tahun Indonesia.