Mohon tunggu...
Tri Widiyanto
Tri Widiyanto Mohon Tunggu... -

belajar kearifan dari setiap keadaan :D

Selanjutnya

Tutup

Olahraga

(Revolusi) PSSI Sudah Usai!

2 Desember 2011   05:47 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:56 509
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Olahraga paling popular, tak menjamin induk yang mengelolanya menjadi paling baik. Jika olahraga ada hubungan dengan kesehatan dan kesehatan fisik akan mempengaruhi kesehatan jiwa (men Sana In corvore sano), maka dalam kasus PSSI (induk organisasi sepakbola nasional) hal ini perlu dikritisi lagi, mengingat sepertinya pengurus PSSI mengalami penyakit jiwa akut dari satu rezim ke rezim lainnya.

Begitu banyak keanehan, kengawuran dan keegoisan pada kepengurusan Nurdin Halid, telah menyatukan pecinta bola tanah air, dengan mengususng semangat Revolusi PSSI. Sayangnya, tak jauh dengan kekuasaan politik, masyarakat hanya terjebak pada pergantian rezim yang tak lagi disukai, dan tak lagi memikitkan bagaimana cara-cara yang benar.

Ada beberapa tuduhan yang dialamatkan kepada PSSI era Nurdin. Misalnya penggunaan PSSI sebagai alat politik partai tertentu, dalam hal ini golkar, (dan orang lupa bahwa kepala daerah dan manajer klub2 tak hanya dari golkar, banyak juga yang dari partai lain padahal mereka yg paling tanggungjawab atas kucuran dana APBD ke klub), Kemudian masalah penggunaan dana APBD untuk klub, yang memang sangat menggangu, transparansi keuangan, serta diperkirakan ada tuduhan tidak fairplay dalam kompetisi.

Tak bisa dibantah, intervensi pemerintah melalu kemenpora, bahkan dengan sedikit sentuhan militer mengingat salah satu Jendral berkenhandak mengambil alih kekuasaan PSSI meski harus diakui tak punya pengalaman. Semua diperlukan untuk menggulingkan PSSI era nurdin Halid, dengan berbagai cara, ada yang baik, banyak yang gak fair juga. Artinya, tak ada lagi semangat fair play dalam rangka pengelolaan PSSI lebih baik meski judulnya untuk mereformasi atau memperbaiki. Semua jalur ditempuh.

Contohnya intervensi politik pemerintak melalui kemenpora. Dan ketika Nurdin halid memaksa untuk tetap bertahta, kandidat lain pun memaksa dengan caranya sendiri meski dengan gak fair pula. Seorang pejabat militer aktif yang dekat dnegan kepentingan politik dibolehkan, orang lupa akan alasan menolak Nurdin karena kepentingan politik. Bahkan Arifin panigoro, membuat liga tandingan bernama LPI (liga Premier Indonesia) dengan semangat anti APBD biar diterima masyarakat, dana APBD. Dengan dana talangan, Klub2 antah berantah yang berusia hanya hitungan bulan dibuat. Orang pun membela langkah ini, persetan aturan, intinya bagaimana rezim Nurdin turun. Ketika para kandidat ini ditolak FIFA semua membela, intinya harus ganti, fair play gak penting lagi.

Semangat ini menghasilkan Kongres yang gagal, dengan bintang kelompok 78. Mereka kemudian sukses menghasilkan kepengurusan baru pada kongres luar biasa di Solo, dibawah nahkoda Djohar Arifin. Orang pun lupa bahwa kelompok 78 yang mengklaim diri reformis ini adalah anak buah manis era Nurdin halid. Artinya mereka kelompok pragmatis yang tahu betul kemana angin berhembus. Mereka bukanlah reformis dalam artian memperbaiki, mengartikan reformasi hanya masalah orang, bukan masalah sikap dan mental. Artinya, PSSI baru sama saja disi orang baru namun berjiwa status quo.

Meski berhasil membentuk pengurus baru, waktu itu saya sudah memprediksi, bahwa PSSI akan mengalami masalah besar, jika mereka hanya bersemangat menggantikan rezim, dan melupakan semangat fairplay dan memperbaiki kondisi PSSI yang carut marut. Awalnya sangat menjanjikan. Langkah-langkah yang diajukan sangat menjanjikan. Namun, lagi-lagi karena kepengurusan ini dibentukatas dasar semangat balas dendam ketimbang mengedepankan fair play, maka etika dan aturan main pun banyak dilanggar. Tindakan mengejutkan public pertama adalah memecat pelatih timnas dengan cara-cara yang sangat gak etis,dan menggantikannya dengan pelatih bawaan bos baru PSSI, Arifin panigoro sejak jaman LPI. Publik pun terkejut.

Langkah berikutnya sangat menjanjikan, adalah mengelola kompetisi,dengan bebas dana APBD. Audit keuangan pun dilakukan ke klub-klub, dengan standar katanya dari AFC, induk sepakbola Asia. Klub pun mulai berbenah. Namun, langkah itu tak konsisten, karena lagi-lagi semangat dendam lebih dipilih daripada menegakkan fairplay yang bengkong sejak jaman Nurdin. Liga yang sudah berhasil dirapikan pada jaman sebelumnya, diacak-acak. PSSI membuat PT Liga Prima, sebagai pengelola liga yang baru menggantikan PT Liga Indonesia. Rumornya, saham PT liga Prima dimiliki sebagian besar oleh ketum PSSI Djohar arifin. Kemudian menamakan liga baru dengan nama Liga Prima atau IPL, menganggtikan ISL (Indonesian Super League) yang sudah berjalan. Sepertinya, PSSI era baru ini malu untuk membubarkan LPI buatan Bos Arifin Panigoro, sehingga memaksakan berbagai cara. Akhirnya, karena niatnya gak begitu bagus, PSSI kelabakan. Terbukti saja ngawur dalam relist pertama IPL, ada tim harus tanding berurutan dalam 2 hari, di Papua dan di Jawa, sesuatu yang sangat tidak memungkinkan. Lebih parah lagi, PSSI memaksakan menambahkan klub baru dalam liga tertinggi. Buat saya alasannya jelas, balas budi kepada klub-klub yang ikut mendukung PSSI era baru, lewat era LPI Arifin Panigoro. Alasan pun dipaksakan, ada alasan tim Degradasi terbaik, karena sejarahnya dan permintaan sponsor juga dimasukkan sebagai alasan, sebuah alasan yang jelas-jelas mencederai fair play dalam dunia kompetisi olahraga.PSSI tak lagi mengharagi jerih payah klub-klub dalam berkompetisi dan merangkak dari divisi bawah.Klub lain pun bisa mengklaim memiliki alasan sejarah bagus dan dukungan maksimal. Alasan ini bahkan dipaksakan, melupakan audit keuangan yang tadinya dilakukan PSSI.

Klub pun bergejolak. Akhirnya ISL tetap digelar. Klub yang ikut ISL pun klub2 yang mentereng dan “menjual” untuk sponsor. Bahkan, dalam hal persiapan, pengelolaan media, dan penjdawalannya lebih rapi ketimbang kompetisi resmi PSSI IPL. Semua bermuara dari cara-cara PSSI yang tidak mengedepankan fairplay, namun balas dendam . Akibatnya PSSI malah kehilangan control terhadap organisasi dan anggotanya sendiri, dan kehilangan wibawa. Sudah begitu, pengurus baru ini nampak kurang cakap dalam kinerja, terbukti sering membuat penyataan yang gampang dibantah pihak lain. Contohnya adalah ketika mencoret klub lain di IPL dengan alasan tak mendaftar, padahal klub lain yang gak dicoret juga gak mendaftar. (kasus penctutan nama klub Sriwijaya FC yang kemudian dibantah Sriwijaya FC, dan PSSI tak bisa mengelak telah bohong).

PSSI baru, bukannya berkonsentrasi memperbaiki, namun malah meneruskan pola arogan jaman Nurdin halid. Publik pun lupa bahwa tujuan utama adalah revolusi PSSI bukan pergantian rezim. Seandainya PSSI lebih sabar dan Arif (sesuai nama bossnya Arifin Panigoro, dan ketumnya Djohar arifin) keadaan mungkin akan lain. Jika PSSI waktu itu langsung mengaudit PT Liga Indonesia, dan membiarkan mengelola kompetisi, sambil pelan-pelan dibenahi, tokh kepunyaan PSSI juga, dibanding membuat PT baru dengan semangat balas dendam dan “investasi”. Seandaianya PSSI dengan berbesar hati mengatakan LPI Arifin Panigoro salah dan jangan ditiru. Jika waktu itu tak perlu buru-buru mengganti nama liga, tetap dengan ISL, dengan klub yang sudah seharusnya berlaga di ISL sesuai kompetisi (bukan karena alasan diluar kompetisi) ditambah aturan baru, yaitu audit keuangan dan bagi yang memakai APBD dikenakan sanksi degradasi, maka akan lebih diterima. Jika saja PSSI baru ini tak alergi terhadap pencapaian sebelumnya dan bersemangat untuk memperbaiki, dengan cara-cara yang penuh semangat Fair play bukan balas dendam.

Semua sudah terlanjur. Kompetisi kembali ada dua. Jika LPI arifin dulu dibela, tak ada alasan menolak ISL. BOPI (badan olahraha Profesional Indonesia), kemenpora, dulu membela LPI Arifin Panigoro, kalau sekarang menolak ISL, maka keliatan sekali kebijakan mencla-menclenya,demi kepentingan sesaat saja. Apalagi, peserta ISL adalah klub anggota PSSI, dibanding LPI Arifin yang berasal dari klub buatan antah berantah. (Ini juga bukan hal baru dalam dunia Bola, Tim-tim elit eropa sudah lama merencanakan kompetisi sendiri. Jika kepentingan klub tak terwadai oleh UEFA dan FIFA, induk sepakbola eropa dan dunia). Sayangnya terlanjur gengsi mengatakan LPI Arifin Panigoro dulu gak bener :p Jika dulu public menghujat pengaruh Aburizal bakrie, harusnya sekarang supporter dan public melakukan yang sama ketika tim seagames memilih berkunjung ke rumah Arifin panigoro dan meminta maaf kepada beliau karena gagal, dibanding meminta maaf kepada supporter :p

Pelajaran berharga, bahwa dalam memperbaiki sesuatu, apapaun itu, harus dengan cara-cara yang benar. Apalagi dalam induk organisasi olahraga yang harusnya semangat FairPlay menjadi nafasnya, bukan ambisi pribadi atas nama olahraga. Perbaikan, reformasi, revolusi, apapun namanya, bukan sekedar pergenatain rezim, tapi juga tergantian tingkah laku, semangat dan tata cara. Jika tidak, yang terjadi adalah melenggengkan statusquo dengan orang yang berbeda. Yang terjadi, akan ada saling balas dendam. Jika disimak baik2, pernyataan-pernyataan Sihar sitorus, pengurus PSSi sekarang bagian kompetisi yang Nampak kebakan dengan adanya ISL, persis dengan pengurus jaman Nurdin, ini malah lebih parah karena klub yang dihadapi adalah klub anggota, bukan klub sulap asal ada.

Bagi saya, yang hanya suka nonton bola, mau ISL mau IPL, saya tonton semua. Tokh gratis di TV :p. yang penting masih bisa nonton gratis, plus siaran liga-liga eropa yang keren. Saya juga penggemar olahraga lain selain bola, Olahraga gak hanya bola, apalagi bagi Indonesia, akui saja saja kalau Volley kita raja Asia tenggara, dan terkelola dengan lebih baik, meski kalah popular, dibanding bola. Kegagalan volley meraih emas adalah kejutan, dibanding gagal meraih emas sepakbola diseagames. Belum dayung, karate, wushu, yang sering menghasilkan juara dunia, meski atletnya banyak latihan sendiri dan tak berlimpah fasilitas kayak pemain bola. China, Rusia, dan Amerika serikat tetap disegani sebagai negara olahraga dan bergensi sebagai juara umum Olimpiade, meski tak pernah meraih emas sepakbola olimpiade. Sudah seharusnya perhatian kita tentang olahraga gak hanya ke Bola. PSSI sendiri, revolusinya sudah usai, bukan karena masalahnya selesai, namun karena dikelola dengan mengedepankan ambisi pribadi, tak beda dengan era sebelumnya. Semoga saja bukan PSSInya yang usai.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun