Mohon tunggu...
Tri Widiyanto
Tri Widiyanto Mohon Tunggu... -

belajar kearifan dari setiap keadaan :D

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Supernya Sebelas Maret

11 Maret 2011   05:32 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:53 370
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah banyak bahasan tentang Supersemar, namun selalu berujung gelap. Bagi sebagian orang supersemar juga bukan hal penting untuk diungkap, namun sebenarnya mengungkap kebenaran supersemar secara utuh adalah salah satu upaya untuk membangun solidaritas sesama anak bangsa.

Menurut arsip nasional, ada tiga naskah versi supersemar yang sekarang ini bisa disimpan. Versi pertama, isinya secara umum persis seperti yang kita kenal, namun tanpa kop presiden diatasnya. Awalnya ini yang disadari sebagai naskah asli. Meski tanpa kop surat kepresidenan. Versi kedua adalah telah muncul lengkap dengan kop kepresidenan, namun meski ditulis dengan ejaan lama, nama Sukarno dan Suharto tertulis dengan ejaan baru. Kedua naskah ini juga ada ketidakkonsistenan lain yaitu penggunaan kata pemimpin besar revolusi pada bagian tanda tangan, sementara pada bagian isinya, dalam point mengingat, tertulis menggunakan kata panglima besar revolusi. Untuk versi ketiga, adalah ketikan salinan yang didapat dari Angkatan darat.

Muncul tafsiran-tafsiran sejarah yang kemudian menjadi “gosip” karena tidak adanya kejujuran pelaku sejarah dalam konteks supersemar. Semua pelaku sejarah seakan membuat versi sendiri untuk menyelamakan dirinya sendiri. Bagimana 3 jendral datang ke istana bogor meminta surat perintah? Atas dasar apa? Toh bukan bawahan langsung Presiden. Bagaimna naskah itu disiapkan, apakah istana bogor juga dilengkapi sekretariatan lengkap sehingga naskah bisa dibuat saat itu juga? Mengkinkan Presiden mengetik sendiri,? Atau ada yang menyiapkan? Mengapa hanya Angkatan Darat yang mengijinkan penyiaran naskah ini, dan mengapa pasca supersemar RRI dan TVRI dibawah kendali Puspen AD?

Presiden Sukarno dalam pidato “Jas Merah” pada tanggal 17 Agustus 1966 juga telah membantah bahwa supersemar bukanlah pemindahan kekusaan, namun perintah pengamanan presiden. Sejarah mengalir ditentukan pelaku waktu itu dengan kepentingan masing-masing. Sulit dibantah bahwa supersemar adalah senjata utama rezim orde baru untuk melakukantindakan lebih hebat daripada tragedi 30 September 1965. pembataian ribuan warga negara atas dasar perbedaan ideologi, entah itu PKI, di PKIkan, atau sekedar lawan politik meski gak ada hubunganya dengan PKI, bahkan dalam beberapa kasus karena persolan pribadi, perebutan harta, semua diberi ruang untuk dibantai, dipenjara tanpa pengadilan, diasingkan dll, demgam label LEGAL demi HUKUM dan Halal!

Bahkan saking takutnya dengan lawan politik dalam rangka deSukarnoisasi, buku sejarah jaman Nugroho Noto Susanto menjadi Menteri pendidikan, proklamasi kemerdekaan RI dibacakan oleh putra terbaik bangsa, seolah-olah aib untuk menuliskan nama Sukarno – Hatta. Nugroho juga membuat buku sejarah lain yang “rasional” meski kadang tidak benar demi kampanye rezim. Untunglah, pasca reformasi, sedikit demi sedikit dibetulkan.

Sulit untuk tidak mengatakan bahwa ada kudeta militer dengan cara yang “legal” pada jaman itu. Namun bukan itu masalahnya. Efek dari supersemar adalah menghilangnya banyak, orang-orang yang mungkin punya potensi hebat untuk bangsanya. Pramoedya Ananta Tour (sastrawan besar kita) misalnya, salah satu korban yang diasingkan, mungkin sebenarnya kita punya banyak Pramoedya yang terbantai. Efek lain yang menyedhkan adalah, pelabelan tanpa ada fakta sejarah yang jelas. Bisa jadi, yang salah pihak lain.

Efek berikutnya adalah, pola ini kemudian ditiru pada jaman sekarang. Perbedaan ideologi dan keyakinan diselesaikan dengan cara boleh membantai, dan jika hukum negara belum mengakomodir, maka dikeluarkan semacam Perda, SKB atau apa, yang multi tafsir (persis naskah “supersemar” yang beredar, multitafsir) sehingga bisa menjadi pegangan kelompok tertentu untuk menghabisi kelompok lain yang tidak sepaham, sehingga apa yang dilakukan seolah-olah legal demi hukum. Polanya juga sama, penggunaan label-label agama sebagai senjata.

Saya tidak dalam rangka membela PKI, karena saya sendiri anti ideologi komunis. Saya lelah jika setiap dialog tentang sejarah 65-66 selalu dianggap untuk membela PKI dan pro PKI. Saya hanya membela kemanusaian, tragedi kemanusiaan dimana warga negara tidak mendapat haknya, malah dibantai oleh tentra sendiri, dan diback up oleh ormas-ormas tertentu. Jika ini tak pernah selesai, pola serupa akan ditiru oleh generasi berikutnya, karena yang diuntungkan sejarah akan selalu jumawa, dan tak tersentuh hukum.

Saya selalu bermimpi bahwa bangsa ini benar-benar bangsa besar, dan dihuni orang-orang berjiwa besar. Bagaimana kalau semua saling bukaan-bukaan sejarah, TNI AD mengakui Kudeta dan terlibat pembantaian, PKI mengakui keblinger, supersemar diperjelas. Kemudian dari buka-bukaan itu tidak ada yang saling tuding lagi, kita menatap masa depan, dengan rekonsiliasi. Yang dimenangkan oleh sejarah biarlah seperti sekarang, yang kalah oleh sejarah biarlah juga berjuang dengan caranya sendiri, sepanjang tak ada lagi beban sejarah yang hanya ditanggungkan kepada seklompok orang saja. Sudah 45 tahun Supersemar, saatnya kita saling meluruskan, bermaaf-maafan, dan menatap masa depan. Saatnya setiap putra bangsa memberikan pengabdian yang terbaik untuk bangsanya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun