Terhitung lebih kurang dua bulan setelah di proklamirkannya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) oleh Soekarno dan Hatta, Kerajaan Siak Sri Indrapura yang dipimpin oleh Sultan Sultan Assyaidis Syarif Kasim Sani Abdul Jalil Syaifuddin al Baalawiy, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Sultan Syarif Kasim (SSK) II (yang kini dijadikan sebagai nama Bandara Internasional di kota Pekanbaru) menyatakan bergabung dengan NKRI dibawah komando Presiden Soekarno pada waktu itu.
Dengan bangganya SSK II menyatakan kepada rakyatnya bahwa Kerajaan Siak telah menjadi bagian dari Republik ini. Bukan itu saja, Sultan juga menyumbangkan 13.000.000 [tigabelas juta] Gulden (Rp. 77.076.434.930.43 jika di Rupiahkan pada saat itu) untuk menyokong Republik ini seperti kesaksian Buya HAMKA dalam bukunya "Perbendaharaan Lama". Sejatinya, uang sebanyak itu digunakan untuk menopang perekonomian negeri yang baru saja merdeka.
Namun apa yang terjadi? Kerajaan tersebut diperlakukan sangat tidak adil oleh penguasa, sangat jauh berbeda dengan kesultanan yang sama-sama berperan dalam membantu dan memperjuangkan kemerdekaan negeri ini. Tidak hanya itu, kekayaan negeri ini di jarah sedemikian rupa oleh antek-antek penguasa tanpa ada pembagian hasil yang adil. Minyak, Hasil Hutan, Perikanan, dan lain sebagainya yang seharusnya menjadi penopang kehidupan rakyat di pelintir sedemikian rupa dalam bentuk aturan yang sangat tidak berpihak pada rakyat bumi lancang kuning.
Ketidak adilan itu membuat masyarakat berniat memisahkan diri dari NKRI dengan menjadi negeri sendiri sebagaimana tertuang dalam Kongres Rakyat Riau II (KRR II) yang terjadi pada awal milenium silam. Namun apa daya, semangat anak negeri terkulai dengan hadangan oleh pemerintah pusat, sedaya upaya pula pemerintah pusat untuk menghalangi terbentuknya negara baru di bumi melayu tersebut. Pusat merasa Riau adalah ladang uang yang tentu saja kalau dilepaskan akan mengurangi pundi-pundi yang mereka dapatkan, hasil minyak Riau yang notabene penyuplai minyak terbesar republik ini adalah sumber pendapatan yang memberikan kontribusi terhadap devisa negara atau mungkin devisa pribadi. Seharusnya dengan hasil bumi yang sedemikian rupa itu, bisa membuat penduduk propinsi ini sejahtera. Namun, kata sejahtera hanyalah mimpi yang mungkin sulit untuk dicapai bahkan oleh anak cucu cicit penduduk negeri ini.
Ketidak adilan ini bukan hanya terjadi di Riau, lihat saja Papua. Dengan sumber daya alam berupa Tambang Emas yang sedemikian melimpahnya, tidak membuat rakyat papua serta merta menjadi sejahtera, bahkan sangat jauh dari kata sejahtera. Hal ini membuat rakyat papua juga menuntut hal yang sama yakni kemerdekaan dari republik ini. Kesenjangan yang terjadi sangat membuat kita miris, daerah penghasil sumber daya alam sangat jauh tertinggal dari ibukota republik ini.
Apa yang sesungguhnya terjadi? Apakah tidak tampak di mata para petinggi republik ini kondisi yang sangat miris terjadi di daerah penghasil? Atau memang ada kesengajaan yang di desain sedemikian rupa oleh penguasa agar negeri penghasil tidak mendapatkan hak mereka? Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan diatas seiring waktu terkuak, bahwa ada semacam konspirasi yang terjadi untuk mengeruk hasil bumi sebesar-besarnya tanpa menghiraukan daerah penghasilnya. Kenyataan itu terlihat dalam beberapa tulisan dan buku yang mengatakan bahwa pemimpin negeri ini sudah terikat kontrak yang sedemikian rupa dengan para cukong negeri luar sana untuk mengeruk hasil bumi. Parahnya, kondisi ini akan terus terjadi dan akan terus terjadi hingga puluhan bahkan ratusan tahun kedepan hingga anak cucu cicit bangsa ini yang akan menanggung akibatnya.
Sumber :
- https://www.facebook.com/notes/syaukani-al-karim/terkenang-dorodjatun-max-dan-kasim/476325931767
- http://serbasejarah.wordpress.com/2012/11/23/jfk-indonesia-cia-freeport-sulphur/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H