Bukankah Cuma aku yang tak tahu malu menanyakanmu di setiap senja hari. Hanya menanyakan sesuatu hal yang tabu menggulir tak pasti. Kutebak teka-teki lekuk kakimu sampai pikirku terbalik sendirinya. Bukan juga tentang dimana hari ku harus menunggu agar siapa saja ataukah kau saja yang tau. Mungkin juga kau tak harus tau tentang resah dan risauku ini, pun juga hanya geram dan dendamku saja yang harus kau tahu. Mimpi yang tak berselimut hati mulai saja menampakkan kelembutan ketika senja dan sendumu datang lagi kepadaku. Hanya menghampiri tanpa meluapkan sebutir kata apapun.
Kududuki kursi yang telah kupesan tadi. Kududuki kursiku seperti aku menduduki apa saja yang kududuki, lah untuk membuatku seperti lainnya. Kudekap lengan kursiku yang tak seperti tanganmu lalu.
Kurebahkan punggungku di perut kursiku yang senantiasa mempersilahkan tubuhku. Sambil menatap lelah kuanggukkan kepalaku keatas ujung kursi yang semakin membuatku terasa melegakan. Entah apa yang akan kulakukan aku juga tidak tau. Hanya terdiam bisu yang menatapi suasana klasik kedai kecil ini.
Keramaian dalam pandanganku mengusik apasaja yang seperti kulihatkan. Untuk ku nikmati sendiri atau tanpa bersamamu. Hilir mudik orang-orang hanya menjadikan tontonanku yang layu menyuapi setiap saat. Menyapa orang dan juga memalingkan muka untuk seseorang. Aku hanya memaku bisu pada kesendirian diruang keramaian yang memamerkan bunga edelweisnya.
Sebuah bangunan sederhana yang mempunyai corak kayu warna coklat dengan dihiasi pernak-pernik lampu natal dengan khas lampu kuningnya. Sebuah bangunan kedai yang dapat menjadi daya tarik untuk remaja-remaja yang sedang menyapa cinta dengan kekasihnya. Pandanganku mulai melirik sebagian bangunan kedai ini dengan asa bertolak acuh. Semuanya tampak istemewa untuk kulihat dengan kepala mataku.
Iya kedua mata sayu yang mempunyai kelopak peluh dan juga bulu mata yang cukup anggun buatku, tapi bukankah itu kamu yang terus hadir dalam pikirku tanpa aku melihatmu.
Aku terus menerus gusar menikmati senja ini. Keketuk-ketuk tangan kursiku dengan beberapa jariku yang cukup kuat, sambil kukerutkan keningku dan alisku dengan kedua mataku. hanya untuk menenangkan pikiran saja, lah yang membuat kasihku menjadi teduh. Tempatku melempar senja tak utuh seperti biasanya seolah matahari tak mau menggelapkan diri untukku lempar bersamamu atau sendiri.
Taman-taman tempat kita bersinggah tak mampu menahan jingganya senja kali ini. Pekat sekali kulihat, tapi aku terlalu senang menikmatinya. Orang-orang yang berseragam itu, tak henti-hentinya menebarkan senyum dan keramahan pada semua orang. Mereka yang tetap ramah meski bercucuran keringat lelah yang tak bisa mereka sembunyikan.
Mengadu kepada sendu sambil lalu kulambaikan tanganku kepada mereka yang hendak menghampiriku. “Cappuccino saja mbak.” Kataku sambil mengangguk. “itu saja mas?” tanyanya. “oh iya itu aja mbak.” Jawabku. Mereka berlalu sambil mengangguk menebarkan senyuman manisnya. Jelas bukan maksutku kepadanya, mungkin hanya saja kebetulan menemani kita. Meringkas apa saja yang sulit dan menyapa apa saja yang menyulitkan. Tepat benar akan jadinya jika kita seperti ini. Menghiasi yang sudah indah dan mengobati yang belum indah.
Segelas minuman datang ke mejaku. Dengan menuai keseruan hati membawa sebatang rasa yang menjelma menjadi sukma. Secangkir minuman dengan busa tebal diujungnya ditemani seoonggok selang plastik yang tak seperti kusuka.
Gelas yang cukup cantik menurutku di dalam kedai ini, dihiasi dengan ukiran yang rumit memusingkan kepala, mengharumkanku mengenang senja waktu ini. Kepulan asap dingin dari gelasku menambahkan variasi suasana mataku. Memanggil siapa saja yang tak mampu dipanggilnya.
aku selalu membuang selang plastik pada setiap minumanku. Hanya menikmatinya dengan bebas saja tanpa apapun yang menggangguku. Kuseduh minumanku dengan rasaku sendiri tanpa rasamu yang tak pernah kerap bersama. Rasa yang sudah biasa kurasakan berkali-kali tanpa aku mengingatmu begitu saja. Kuseduh rasaku dengan berhati-hati mengikis apapun yang tak pasti buatku lagi. Sambil kulirikkan mataku kesegala arah agar memastikan kau tak ada disini, yang tak membiarkanku sendiri.
Senja yang terlalu sendirilah membuatku seperti ini. Yang entah terlalu sering memikirkan serumu berajut sendu pada malam itu. Malam menumpuk angin yang ramai waktu itu, merasaku kedinginan tanpa aku memeluk jaketku sendiri. Kedinginan memaksa lagi untuk terus mengingat wajah serimu dengan kerut keningmu membuatku tak rasa melawan kedinginan.
Senja yang begitu naif menghanyutkan ekspresi-ekspresi sendu pada hari ini. Memiliki ribuan bola mata yang terpasang pada sudut-sudut pojok kota. Tidak begitu menghiasi orang-orang yang sedang dalam pelukanNya.
Bagaimana aku bisa mengingat menunggunmu, sedangkan disini aku hanya berteman sepi beraroma kopi manis memaksa deretan darahku mengalir deras menyukai tubuhku. Setelah sebal menggulatiku seperti rayap menggrogoti makanannya tanpa ampun. Memaki-maki rindu yang tak mau menyalahkan kebenarannya membuatku menikmati gusar meski merasakan dusta.
Hanya aku, senja dan secangkir cappuccino membuatku betah disini. Mengingat rindumu yang tak kunjung datang menemaniku atas dasarnya. Mengais rintihan asa dan mengaduk semua rasa bertumpuk menjadikan sebuah tumpukan penantian. Hari itu ataupun hari ini sama saja. sama-sama menunggu tapi tak saling tau.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H