Beberapa waktu lalu, ibunya anak-anak tak sengaja mengecek grup whatsapp anak kami yang diikuti oleh teman-teman seusianya. Mereka semua masih SD. Ia sangat terkejut ketika melihat banyak stiker yang isinya adalah gambar-gambar porno. bergerak pula Karena berformat gif. Menampilkan seorang wanita pekerja seks yang melakukan adegan ranjang. Sangat vulgar dan benar-benar bukan tontonan yang layak untuk anak-anak lihat.
Seketika itu pula, masing-masing orang tua diberi tahu tentang apa yang kami ditemui. Kami menyarankan kepada orang tua mereka untuk melakukan pengecekan yang sama terhadap handphone-handphone anak mereka. Anak kami memang sudah keluar dari grup setelah gambar-gambar itu ada dan saya menghapus grup itu untuk selamanya.
Hal ini tentu patut menjadi perhatian kita semua sebagai orang tua. Mereka masih Sekolah Dasar tetapi konsumsi dan dialog mereka sudah seputar hal-hal yang berbau seksual.
Sebelumnya, saya dan Istri juga pernah menonton sebuah reality show yang menampilkan para remaja pria. Mereka ditanya oleh pembawa acaranya, “Coba ngaku, apakah kalian para pria di sini masih ada yang perjaka?“, lantas salah seorang bintang tamu berkata dengan santainya, “Maaf, siapa sih di zaman begini dan usia udah kepala dua belum pernah melakukan itu coba?”
Mendengar itu, saya dan istri saling menatap dan bertanya, “Apakah pergaulan anak sekarang sudah sedemikian memprihatinkan seperti itu? sampai-sampai mengatakan seakan-akan tidak ada pemuda yang benar-benar bersih dari zina?”
Ini tentu menjadi PR bagi setiap orang tua.
Pada era teknologi yang sangat modern ini, setiap informasi negatif akan dengan mudah diakses oleh anak-anak kita. Kita tidak bisa menjauhkan mereka dari semua itu dengan tidak memberikan haknya untuk menggunakan handphone yang tentunya memiliki ragam manfaat. Kita hanya bisa menyiapkan imun bagi mereka untuk dapat menahan diri dari berbuat buruk, menahan diri dari tidak sembarang mengenekan tombol, dan yang lebih penting adalah, memiliki rasa malu jika ternyata ia ketahuan melihat sesuatu yang dilarang oleh agama dan norma masyarakat kita.
Seorang tokoh Pendidikan Karakter, Thomas Lickona mengatakan bahwa ketika anak kita diberikan hak untuk menggunakan hanphone, maka handphone tersebut bukanlah hak asasi. Beliau (2016: 58) mengatakan, “...Aturan dasar: Anak harus meminta izin untuk setiap acara televisi tertentu, video game, item yang akan diunduh dari internet, dll. Anak menggunakan media tersebut merupakan hak istimewa, bukan hak asasi.”
Bagi kami (saya dan istri), mengecek handphone anak adalah sebuah kewajiban. Sejak awal ketika mereka diberikan hak istimewa untuk memiliki alat itu, kami sudah ingatkan kepada mereka bahwa kami berhak mengecek apa yang mereka tonton di youtube dan apa yang mereka simak di sosial media seperti whatsapp, dan apa yang mereka simpan di galeri. Semua password menjadi hak anak dan orang tua. Beberapa channel youtube yang mengandung unsur kata-kata kasar, kami larang dan anak harus patuh. kami juga percaya bahwa kita masih menjadi orang yang paling bertanggung jawab terhadap perkembangan moral anak.
Pernah di sekolah, ketika saya menangani masalah siswa berkaitan dengan penggunaan Handphone. Kasus itu menunjukkan bahwa penggunaan handphone yang salah telah memunculkan efek negatif. Penggunaan gadget yang tidak bijak itu telah memunculkan perilaku anak yang sulit diatur, enggan mengerjakan tugas, dan kedisiplinan dan tanggung jawabnya sangatlah kurang. Waktu itu saya melakukan kunjungan ke rumahnya untuk melakukan konseling terhadap keluarga.
Saya amati dalam keluarga itu, anak nampak memiliki hak privasi atas handphone pemberian orang tua dan orang tua tidak punya hak untuk memeriksa isi dari handphonenya. Terus terang saya dan pihak sekolah menganggap itu sebagai suatu masalah. Kami bersikap tegas untuk dapat memeriksa handphonenya.