Apakah Anda termasuk orang baik dan merasa hidup ini penuh dengan penderitaan?
Saya pernah menemukan dalam sebuah buku, seorang Psikolog, Sigmund Freud pernah berkata, “Manusia hidup hanya diliputi penderitaan dan di akhiri dengan ketidakpuasan.” Sejalan dengan itu, dalam riwayat orang-orang Persia pernah dikisahkan seorang raja bernama Zahire yang memanggil para sejarahwan dan memerintahkan mereka menulis sejarah manusia.
Ketika selesai ditulis, ditemukan begitu banyak tumpukan buku yang dibawa dengan kereta-kereta besar. Raja Zahire merasa dirinya tidak akan sempat membacanya. Ia meminta sejarah manusia itu disingkat lagi. Akhirnya dibuat menjadi 3 gerobak. Karena dianggap masih terlalu banyak, maka ditulislah dalam 3 buku. Itu pun Raja sudah sakit dan akan segera meninggal dunia.
Ia sedih karena di penghujung usianya, ia masih tidak bisa mengetahui sejarah kehidupan manusia. Namun seorang sejarahwan senior berkata, “Saya bisa menceritakan kepada Anda dalam tiga kalimat,” Raja pun nampak berbinar-binar. Ia meminta sang Sejarahwan senior menyebutkan tiga kalimat itu, “Bahwa tiga kalimat itu adalah: Manusia itu lahir. Kemudian menderita. Lalu mati.”
Tak puas dengan itu, saya membuka kitab-kitab hadits dan menemukan sebuah hadits yang kurang lebih berbunyi: “Sesungguhnya, orang yang paling menderita di dunia ini adalah para nabi. Dan di antara para nabi, yang paling menderita adalah aku (Nabi Muhammad).” Bagaimana tidak, sejak lahir sudah yatim. Tidak lama kemudian menjadi piatu. Ia harus hidup dengan kakeknya. Saat sedang sayang-sayangnya dengan sang kakek, lalu Tuhan memanggil Kakeknya itu. Maka hiduplah ia dengan pamannya Yang hidupnya sangat sederhana.
Kemudian beliau bekerja sejak usia 12 tahun. Setelah dewasa, ia merasakan tekanan batin terhadap permasalahan masyarakat yang membuatnya harus pergi ke gua Hira untuk merenungi kekacauan masyarakat dan kezaliman di dalamnya. Setelah itu, ia diperintahkan berdakwah, melawan tradisi yang sudah ada. Harus rela dijadikan musuh oleh paman-pamannya yang menolak.
Ia juga harus menerima kehilangan Istrinya tercinta yang meninggal ketika mendampingi beliau. Ia juga melihat orang-orang yang ia sayangi lainnya meninggal dunia. Dia dikenal jujur, semua orang mengakuinya, tetapi ketika ia bicara soal Agama, maka seketika itu dituduh Gila. Belum lagi peristiwa-peristiwa saat beliau hendak wafat. Beliau harus merasa sedih dan terus mengingati umatnya, “Umati, umati...”
Dalam Kitab Najh Al Balaghah disebutkan oleh Khalifah keempat Islam, Ali bin Abuthalib kw., “Bahwa mereka (orang-orang saleh) memiliki penderitaan yang ‘khas’. Tak cukup, saya pun membuka Quran dan menemukan dalam surah An Naziat yang berarti: “orang-orang yang takut pada Tuhan dan menahan diri dari hawa nafsunya, surgalah tempat tinggalnya.” Bahwa orang-orang baik, cirinya ’takut’, selalu dalam kondisi waspada, tidak boleh tenang (entah tekanan kecil maupun besar), dan ’menahan diri’ Atau sabar yang menurut banyak orang disebut sebagai sesuatu yang sulit karena tidak banyak orang yang benar-benar bisa tahan untuk bersabar. Bahkan saya pernah mendengar kurang lebih pernyataan seperti ini, “Bahwa dunia ini surga bagi orang jahat dan neraka bagi orang baik.” Wallahualam bishawab.
Dalam agama lain, contoh saja Sidartha Gautama, tokoh suci Agama Budha ini juga memiliki kisah penderitaan yang tidak jauh berbeda. Dikisahkan bawah Sidartha Gautama ini merupakan keturunan raja yang telah memiliki kekayaan dan kedudukan. Namun beliau lebih memilih keluar dari istana dan hidup dengan ketakutan dan kerja keras. Ia hidup dalam penderitaan hingga akhirnya memperoleh ‘pencerahan’.
Dalam agama Kristen, Yesus atau Nabi Isa, Beliau menjalani hidupnya dengan diawali oleh fitnah (dituduh anak zina), dilanjutkan dengan penolakan, dan diakhiri dengan pengorbanan. Nyaris hidupnya berisi penuh dengan penderitaan.
Dalam ilmu bisnis, disampaikan oleh Stephen Covey dalam Buku 7 Kebiasaan Efektif kurang lebih seperti ini: Bahwa orang-orang sukses adalah orang-orang yang melakukan banyak hal yang tidak disukainya. Mereka tidak suka bangun pagi, namun harus Memaksakan diri bangun pagi. Saat orang seusianya bersantai, ia harus bekerja keras. Saat orang menyerah dan mencari zona nyaman, ia bersikeras untuk keluar dari zona nyaman demi meraih hal yang lebih besar.
Itu artinya, jika kita merasa telah berusaha berbuat baik dan tidak kunjung mendapatkan kebahagiaan, maka kita tidak perlu berkecil hati. Bukan hanya kita, melainkan orang-orang mulia di masa lalu dan masa kini juga merasakan hal yang sama. Sudah menjadi konsekuensi bagi kita sebagai manusia. Bahkan lebih dari itu, banyak juga orang baik yang sampai penghujung hidupnya tetap dalam kondisi dizalimi atau menderita Menurut penglihatan kita.
Anda dapat mengamati hidup ini, dengan melihat betapa perbuatan dosa sangat enak. Sedangkan untuk perbuatan baik sangat sulit dan berat. Kita bisa merasakan bahwa makanan sehat cenderung kurang sedap, sedangkan makanan yang menimbulkan penyakit terasa sangat nikmat. Memang sudah garisnya Kalau kita harus melakukan diet yang kadang menyakitkan untuk bisa tampil menarik. Namun perlu kita pahami bersama, bahwa bedanya orang baik dengan orang buruk adalah, Orang buruk hanya di awal bahagianya.
Bayarannya adalah penderitaan di akhir yang panjang sekali sampai ia menyesal dan dunia mengampuninya. Itupun harus menderita yang khas setelah menjadi orang baik. Sedangkan orang baik, mungkin awalnya menderita panjang, namun akhirnya bisa mencapai kebahagiaan. Yang terpenting adalah konsisten dalam berbuat baik dan menikmati proses dengan memiliki mimpi untuk kehidupan yang lebih baik nantinya. Kalau orang baik masih saja belum merasakan kebahagiaan, maka bisa jadi dunia ini memang sudah bobrok. Namun tetaplah konsisten. Sebab kita masih punya masa depan selayaknya Akhir kisah Nabi Yusuf dalam Surah Yusuf. Sekalipun tetap tidak dapat di dunia, maka di kehidupan kedua kita, yaitu di akherat kelak. Insya Allaah kita akan dikaruniai Surga yang indah.
Mungkin ada satu keyakinan yang bisa bermanfaat, bahwa bahagia itu hanya didapat dari penderitaan. Layaknya Busur dengan anak panah. Semakin kita menarik keras anak panah pada busurnya, maka akan semakin jauh anak panah itu meluncur. Begitupun jika kita menariknya sedikit, maka anak panah hanya meluncur dengan sedikit. Jadi semakin besar penderitaan seseorang di awal, maka ketika kesabarannya itu membuahkan hasil, kebahagiaan yang besar pun akan muncul. Demikian sebagliknya. Tanpa masalah dan penderitaan di awal, maka tidak akan ada kebahagiaan yang bermakna yang bisa kita tangisi dengan haru. Dengan kata kain, jika kita diberikan masalah yang sangat besar, maka janganlah bersedih, karena itu artinya Tuhan sedang menyiapkan kebahagiaan yang juga besar untuk kita. Bahkan lebih.
Yang kita butuhkan adalah meluaskan hati kita. Melapangkan dada kita untuk menerima beragam derita. Masalah janganlah dihindari, tapi hendaknya kita simpan dan dicarikan solusi. Ketika sudah waktunya, segera kita selesaikan. Semakin luas hati kita, maka sebesar apapun masalah akan terasa ringan. Dengan demikianlah, kemudian tercipta hati-hati yang tenang. Yaitu hati yang sanggup memikul beban derita yang besar sekalipun. Jadi orang-orang baik itu memang menderita, tapi hatinya sangat lapang sehingga derita-derita itu menjadi ringan bagi mereka.
Yakinlah bahwa kita semua bisa menghadapi takdir kita untuk menderita di dunia ini. Kita hanya perlu menyiapkan kapasitas dengan tidak lari dari masalah melainkan menghadapinya untuk dapat menyelesaikannya. Semakin banyak kita menyelesaikan masalah, maka hati kita akan semakin luas seluas samudera.
Saya percaya bahwa dunia ini adalah tempat melatih hati, tempat melatih jiwa. Ketika di dunia ini kita telah dinilai lulus oleh Tuhan, maka setelah mati nanti, Tuhan akan menghadiahi kita berupa surga.
Andaikan masih ragu dengan surga, maka cukuplah sebuah pepatah cina mengatakan, “Mereka yang bersabar akan menguasai dunia.”
Salam optimis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H