Sebagai guru, lebih banyaknya di era Pandemi, saya kerap menemui keluhan dari orangtua siswa yang menurut pengakuan, mereka tidak dapat membuat anaknya mengikuti arahan yang baik.Â
Diceritakan bahwa mereka melihat putra-putrinya terus menerus menggunakan gadget ketika di rumah. Kemudian makan, minum, dan buang air. Hidupnya sebatas itu. Mereka mengaku mengalami kesulitan untuk mengarahkan anak-anaknya mengerjakan tugas, belajar dan bersikap baik selayaknya diinginkan oleh para orangtua.Â
Mungkin banyak orangtua di luar sana mengalami permasalahan yang serupa. Anak tidak taat, susah diminta bekerja sama dan mengikuti arahan. Maka pada kesempatan kali ini, izinkan penulis berbagi pengalaman, berbagi pemikiran yang mungkin dapat bermanfaat, memberikan inspirasi, dan dapat dipraktikan kemudian harinya untuk menjadikan anak-anak kita taat kepada apa yang kita inginkan.
MILIKI NILAI
Tidak dapat dipungkiri bahwa setiap anak akan selalu mencontoh apa dan siapa yang dilihatnya. Kita sebagai orangtua adalah orang pertama yang paling banyak diamati oleh anak-anak kita.Â
Anak melihat apa yang kita perbuat dan apa yang kita ucapkan. Apabila kita sering berucap kasar, maka anak akan memiliki banyak kosa kata yang biasanya ikut kasar. Jika orangtua tidak beribadah, maka anak pun akan enggan pula untuk ibadah. artinya anak akan mencontoh orangtuanya.
Banyak orangtua sebenarnya menyadari hal ini. namun mereka terkadang menyerah atau mungkin tidak percaya diri dan lebih memilih menyerahkan urusan keteladanan ini kepada orang lain.Â
Orangtua berlomba-lomba mengirimkan anaknya ke sekolah-sekolah favorit agar nilai-nilai agama dan nilai-nilai positif yang diharapkan tumbuh dalam diri anak. Ini bukanlah sesuatu yang salah. Namun menurut apa yang saya amati selama menjadi guru, pada umumnya anak-anak yang dididik dengan cara ini akan lebih patuh kepada gurunya daripada orangtuanya.
Bisa saja, guru yang baik akan mengajarkan anak agar menghormati orangtua, tapi kita semua tentu menyadari, bahwa efeknya akan sangat berbeda antara orangtua memiliki nilai dengan orangtua yang hanya mengandalkan guru.
Anak yang orangtuanya memiliki nilai bukan hanya taat, melainkan bangga memiliki orangtua. Secara otomatis, anak akan taat pada kita yang dihormati dan dibanggakannya.
Sebagai orangtua, kita memang harus memiliki nilai. jika kita ingin anak kita jujur, maka kita sebagai orangtua sudah sepatutnya lebih dahulu jujur. jika kita ingin anak kita menepati janji, maka kita pun sepatutnya menepati janji..
Mungkin penulis akan berbagi sedikit tentang pengalaman penulis dengan anak-anak penulis sendiri. Anak ini memang salat seperti kedua orangtuanya. Namun hanya salat wajib saja, sebab orangtuanya juga hanya salat wajib.
Tapi suatu ketika, penulis sebagai orangtua mereka merasa harus bersyukur lebih banyak. penulis harus lebih banyak mendekat pada Tuhan sehingga penulis mulai melaksanakan salat-salat sunnah.Â
Penulis pun mengajak keduanya untuk melakukan salat sunah rawatib sebelum atau sesudah salat fardhu. ketika penulis salat, anak penulis ikut salat, dan ketika penulis lelah kemudian meninggalkan salat sunnah, anak saya pergi begitu saja ke kamarnya setelah salat fardhu.
Kemudian saat penulis bangkit dan mengajak anak penulis salat sunah, mereka pun dengan mudah ikut salat. Hingga akhirnya penulis sadar, bahwa kita sebagai orangtua adalah orang-orang yang paling kuat pengaruhnya bagi anak-anak kita.Â
Jika kita ingin anak-anak kita memiliki nilai, maka kita sebagai orangtua wajib memiliki nilai itu terlebih dahulu. kita adalah Teladan, guru, dan pahlawan bagi mereka yang utama. dengan kita menjadi teladan, maka anak-anak dengan kerelaan atau terpaksa akan mencontohi kita.
TETAPKAN PERINTAH ATAU ATURAN, NAMUN JANGAN LUPA ALASANNYA
Jika kita sebagai orangtua menyuruh anak-anak kita hanya untuk memudahkan hidup kita, membuat kita tidak perlu bangun dari kasur empuk atau sofa yang nyaman, maka mungkin kita perlu mengubah cara berpikir. Sebab itu artinya kita telah menjadikan anak kita benar-benar sebagai kacung sesuai penilaian anak.Â
Yang pasti, anak kita bukan robot atau bukan budak yang dicipta untuk memudahkan hidup kita semata. melainkan untuk menjadi penerus kita, dan untuk dapat bertahan hidup di masa yang akan datang ketika kita tiada nantinya. Kita harus memastikan mereka bukan sampah masyarakat, memastikan mereka menjadi orang yang berguna. Minimal mereka bisa mandiri.
Kita perlu mengganti mindset bahwa memerintahkan anak itu dalam rangka melatih anak bekerja. melatih anak mendapatkan kepercayaan, melatih anak menjalankan tanggung jawab dan kewajiban, melatih untuk melayani dan memberikan kemudahan bagi orang lain. Anak harus diajak bicara dan dijelaskan kenapa dalam keluarga, kita perlu bagi-bagi tugas. kenapa anak perlu bertugas menggembok pintu tiap malam, memasukkan kendaraan setiap sore, menutup pintu atau menyapu lantai.
Anak harus paham bahwa semua itu dalam rangka melatih mereka menjadi manusia yang peduli, mandiri, dan bertanggung jawab. kita harus jelaskan itu sehingga Anak memahami bahwa semua perbuatannya itu bermakna bagi dirinya dan bagi orang lain. Apalagi jika kita mau ajari mereka tentang bisnis, maka kita akan mendapati bahwa kunci bisnis sukses adalah pelayanan. Jika Anak tidak terbiasa melayani, maka kelak ia tumbuh sebagai orang yang manja yang lebih banyak menuntut daripada melaksanakan tanggung jawabnya dan tentunya dalam bisnis akan merasakan banyak kendala dengan konsumen atau klien-kliennya.
Contoh lain, ketika kita menerapkan aturan pulang sebelum jam 10 malam, kita juga harus menjelaskan ke anak bahwa itu dalam rangka menghindari hal-hal yang tidak diinginkan dan melatih kedisiplinan, bahwa jika tidur larut malam tidak akan baik untuk kesehatan. Semua itu perlu dijelaskan untuk menghindari adanya penolakan atau ketidaksetujuan anak terhadap peraturan yang kita buat. Dan pastinya semua itu untuk tujuan yang terbaik untuk anak-anak kita.Â
Perintah atau aturan memang harus ada. Tanpa peraturan, maka tidak akan ada nilai, tidak ada bukti bahwa orangtua peduli terhadap masa depan si anak. Namun keduanya itu harus dipahami oleh anak. Anak perlu diajak bicara untuk mengerti betapa peraturan dan perintah-perintah itu sangat baik untuk mereka ke depannya.
KONSISTEN DALAM PERATURAN
Lalu bagaimana kalau ternyata situasi tidak memungkinkan untuk menepati janji?
Penulis pernah berjanji pada anak penulis untuk membelikan playstation 4 jika ia mendapatkan peringkat pertama di sekolah. Dan ketika pembagian rapor, penulis sangat terkejut. Anak penulis benar-benar mendapat peringkat kelas tersebut. Saat itu penulis tidak punya uang untuk membeli itu. kemudian penulis berbicara dan bernegosiasi dengan anak penulis.
Penulis meminta keringanan sampai mampu membelinya. Kemudian dia menerimanya. Ketika uang itu sudah ada, penulis kembali bertanya kepadanya, "Apakah kamu masih ingin playstation 4?" katanya, "Gak usah, Pah. uangnya disimpan saja."dan tak lama, penulis menawarkannya untuk diubah hadiahnya menjadi handphone. anak Penulis nampak sangat senang dan mau.
Meski janji playstation tidak tertepati karena kondisi dan si anak sudah tidak berminat, namun penulis konsisten untuk menepati janji kepada si anak dalam hal pemberian hadiah atas prestasinya. Hal seperti itu secara sadar atau tidak sangat berpengaruh bagi hubungan kita dengan anak-anak.
Di sekolah tempat penulis mengajar juga pernah terjadi. Seorang siswa enggan memotong rambut sebagai syarat mengikuti Ujian Kenaikan Kelas. Sekolah kami memanggilnya hingga memanggil orangtuanya. Kami tetap konsisten dengan peraturan dan kami jelaskan maksud aturan itu digalakkan. kami tidak takut kehilangan siswa. kami justru takut kehilangan nilai-nilai kedisiplinan yang telah dibangun bertahun-tahun.
Bisa dibayangkan jika siswa tanpa dipotong rambutnya dapat lolos ikut ujian. teman-temannya yang lain akan menilai bahwa sekolah tidak konsisten dan tidak adil dan kelak akan berujung bertambahnya siswa yang tidak potong rambut dan kelak aturan potong rambut itu akan hilang.
Hilanglah satu indikator yang dapat sekolah gunakan untuk menilai kemampuan siswa dalam menahan diri, kesabaran, dan kedisiplinannya. Sekolah akan kehilangan lulusan-lulusan yang kokoh, yang mentalnya kuat dan tahan banting.
Karena itu, kami kembalikan kepada siswa dan orangtua. Bersedia dipotong rambutnya saat itu atau kembali kepada orangtuanya (dikeluarkan). Pada akhirnya siswa tersebut mentaatinya dan ia bersedia untuk rambutnya dipotong.
Setelah beragam persitiwa semacam itu, kami menyadari bahwa sikap konsisten bukan hanya memunculkan penanaman nilai dan kedisiplinan yang lebih efektif, melainkan juga memunculkan penghormatan dari anak-anak kepada kita. Penghormatan itu, akan membawa anak kita menjadi orang yang taat pada keinginan-keinginan mulia kita untuk membantunya lebih baik.
Dalam suatu kesempatan, seorang anak mendatangi wali kelasnya seraya curhat. katanya dia sangat membenci orangtuanya. dia benci karena sang orangtua melarang ini itu tapi sang orangtua lah yang paling pertama melakukan larangan itu. tidak sama antara perintahnya dengan perbuatannya. dan sikap tidak konsisten itu telah melukai anak. ia memandang perintah orangtua sebagai omong kosong. orangtua dianggapnya tidak bisa mengontrol diri namun menuntut anaknya bisa mengontrol diri. hal ini, selain hilangnya nilai keteladanan orangtua di mata anak, juga hilangnya konsistensi antara ucapan dengan perbuatan orangtua. Anak pun menjadi sering membantah, membangkang, dan menolak hampir semua permintaan orangtuanya.
Semoga kita diberikan kekuatan untuk dapat menjadi teladan, penanam nilai-nilai positif, dan menjaga konsistensi positif sehingga dapat menjadi orangtua yang baik bagi anak-anak kita.
PENUTUP
Pada penghujung artikel ini, mungkin penulis hendak menyimpulkan bahwa untuk mendidik anak menjadi taat bukanlah bertujuan menjadikan anak kita sebagai pesuruh atau budak. melainkan lebih tinggi dari itu, yaitu melatih mereka untuk hidup dalam ketaatan pada nilai-nilai positif yang kelak mereka butuhkan dalam kehidupan yang sebenarnya pada masa yang akan datang. Apabila tujuan kita bukan itu, maka kita perlu memperbaiki mindset kita untuk siap melakukan:Â
Pertama, Sebagai orangtua, kita harus menjadi teladan. kita harus memiliki nilai dan menerapkan hal-hal yang ingin kita tanamkan kepada anak-anak kita.Â
Kedua, hendaknya kita selalu memiliki peraturan atau perintah yang bermakna bagi anak-anak kita. Semua aturan kita buat dalam rangka melatih mereka menerapkan nilai-nilai, tanggung jawab, kepedulian, dan kedisiplinan. Juga pastikan mereka memahami maksud semua peraturan dan perintah itu dengan baik.
Ketiga, Kita sebagai orangtua harus konsisten dalam menerapkan aturan, memenuhi janji, dan menjunjung tinggi nilai-nilai yang telah kita bangun.
menurut pengalaman dan pengamatan penulis, tiga hal ini adalah yang cukup efektif untuk mendidik anak kita menjadi orang yang taat. taat pada nilai-nilai yang tinggi dan bermakna dan taat pada kita sebagai orangtua yang juga menjunjung tinggi nilai-nilai tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H