Perihal paling mencolok yang jadi penanda adanya pemilu di negeri kita adalah alat peraga kampanye (APK) dan bahan kampanye (BK) yang bertebaran.
Di pinggir jalan utama, di tiang listrik, di tiang telepon, di gang-gang, di kebun-kebun warga, di pepohonan, di pagar-pagar taman, APK berbagai ukuran terpajang seperti sebuah karya seni yang tak nyeni.
Banyak dari APK-BK yang dipasang melanggar aturan yang telah ditetapkan di PKPU 15 Tahun 2023.
Tapi, apa yang bisa kita lakukan sebagai orang awam terkait keberadaan APK dan BK yang ngawur tersebut?
Saya haqqul yaqin, banyak dari kita sudah sepet melihat APK-BK yang tak karuan itu. Ada yang protes, sambat, serta mengeluhkan kondisi itu ketika berada di tongkrongan.
Ada juga yang beraksi langsung mengungkapkan protes di media sosial, lewat tulisan di Kompasiana, lewat meme, atau tindakan langsung seperti menandai APK dengan "tersangka penusukan pohon."
Ditambah lagi dengan beberapa informasi yang mengabarkan APK telah mencelakakan warga, tak sedikit masyarakat kini mempertanyakan pemasangan dan keberadaannya.
Lalu dimana peran Bawaslu sebagai pengawas pemilu?
Sosialisasi Aturan APK-BK
Saya sempat ngobrol dengan beberapa rekan di desa terkait keberadaan APK-BK. Banyak diantara mereka memang mengeluh, tapi banyak juga yang abai.
Mereka yang abai ini, masa bodoh dengan berbagai macam baliho, spanduk, banner, poster dan berbagai pernik lain yang menampilkan wajah para caleg.
Uniknya, ada juga rekan yang maklum. Dia lebih permisif dan akomodatif.
Dia menjelaskan bahwa saat ini memang sedang musimnya pemilu, maka keberadaan APK-BK itu adalah hal yang lumrah. Nanti kalau musimnya sudah selesai, ya bakal hilang dengan sendirinya.
Untuk mereka yang permisif ini, justru lebih bisa menerima keberadaan APK-BK berdasarkan argumen, ada orang-orang yang diuntungkan. Misalnya, mereka yang dipekerjakan untuk memasang APK-BK tersebut.
Tapi yang jadi catatan penting obrolan dengan rekan-rekan saya itu, banyak dari mereka yang mengaku tidak tahu peraturan tentang pemasangan APK-BK.
Menurut saya, ada tiga hal yang menjadi penyebabnya. Pertama, kurangnya sosialisasi dari KPU. Kedua, publik memang banyak tidak membaca aturannya. Ketiga, memang tidak mau tahu tentang aturan tersebut, khususnya untuk mereka yang cuma buruh memasang.
Pendeknya Jadwal Kampanye
Sebagai caleg dan calon pemangku kekuasaan, pemilu adalah gerbang awal mereka mengartikulasikan diri ke hadapan publik.
Tapi jika aturan dasar seperti pemasangan APK-BK saja tidak dipatuhi, saya menduga besar kemungkinan ada yang tidak beres dalam benak para caleg dan calon pemimpin tersebut.
Terlebih sebagai caleg, bukankah tugas mereka membuat undang-undang atau menyetujui aturan lain perihal kehidupan bernegara dan bermasyarakat?
Mereka menyusun dan menyetujui aturan, tapi kemudian melanggarnya. Apakah ini memang ciri sejati Manusia Indonesia?
Ada juga argumen yang menyatakan: jadwal kampanye hanya 75 hari. Jadi kalau punya modal, bikin dan pasang APK-BK sebanyak mungkin agar dikenal publik karena waktu kampanye terbatas.
Jumlah calon tetap anggota DPR RI itu 9.917 calon  dan 668 calon DPD. Ini belum lagi ditambah calon tetap anggota legislatif Provinsi dan Kabupaten.
Kompetisi untuk mempublikasikan dan memperkenalkan diri, kesempatan yang paling terbuka adalah pada pemasangan APK-BK.
Sayangnya, pemasangan itu kerap melanggar aturan, tidak sedap dipandang mata, dan ngawur.
Saya pernah mendengar seloroh, "Ya masalah APK-BK yang melanggar biar jadi pekerjaan Bawaslu karena mereka juga sudah digaji."
Bagi saya, seloroh ini adalah hal yang paling bahlul dan paling bebal meski kadang dianggap masuk akal.
Misalnya kalau peserta pemilu taat aturan, tentu negara akan bisa menghemat banyak anggaran. Menertibkan APK dan BK yang jumlahnya ribuan, puluhan ribu bahkan mencapai ratusan ribu di satu kabupaten, meski terlihat sepele, juga akan membutuhkan anggaran.
Apalagi jajaran Bawaslu terbawah yang personelnya terbatas. Biasanya kalau penertiban APK-BK, akan minta tolong petugas trantib seperti Satpol PP, yang juga butuh biaya.
Terlebih dan paling penting, kita bisa menyimak di Perbawaslu 3 Tahun 2022 tentang Tata Kerja dan Pola Hubungan Pengawas Pemilihan Umum. Di aturan ini, semua jajaran pengawas pemilu bekerja secara hierarki (Pasal 2).
Saya yakin, jajaran pengawas pemilu terbawah, misalnya Pengawas Pemilu Kecamatan (Panwaslucam) dan Pengawas Desa/Kelurahan (PKD) yang jumlahnya tak seberapa itu, tidak bisa bertindak secara mandiri dengan menertibkan APK-BK jika tidak ada instruksi.
Karena apa? Karena secara aturan, mereka bekerja secara hierarkis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H