Persis setelah subuh tadi, pengeras masjid di kejauhan berbunyi. Ada kabar orang meninggal. Tentu, akan ada kesedihan yang terejawantah pada setiap kabar perpisahan seperti itu.
Akan ada yang menangis, bisa jadi sambil sesenggukan. Juga bakal ada yang sedih, tapi tak mau menunjukkannya karena mencoba tegar pada setiap takdir kepastian.
Saya bertanya kepada Bapakku yang duduk tepekur di ruang tamu, itu yang meninggal warga desa mana, karena suara pengeras tadi lindap dibawa angin? Bapakku menjawab pendek: desa sebelah.
Ada tiga desa yang berbatasan dengan desaku. Aku tak mendapat informasi desa yang mana. Yang jelas jika desa sebelah, berarti itu tak terlalu jauh dari desaku.
Namun tak lama setelah itu, ketika pagi suram datang digelayuti mendung yang hitam, seorang kawan mengabarkan kematian yang lain: Abdul Hadi WM.
Bagiku, nama ini dekat meski jauh. Ia telah menjadi bagian dari biografi hidupku. Meski aku tak pernah berjumpa dengannya, buku Madura, Luang Prabhang karyanya pernah ku baca.
Esai-esai garapan Abdul Hadi WM yang memiliki kejelian dalam pembahasan beraroma sufistik, juga pernah ku baca.
Memang, saya tidak terlalu intens menjumpa tulisan-tulisan sastrawan-budayawan ini. Namun, entah mengapa nama Abdul Hadi Widji Muthari dengan mudah kuingat. Mungkin karena nama itu terasa begitu dekat.
Sedekat apa? Saya sendiri tidak bisa mengukurnya. Tapi mengingat dekat, Abdul Hadi WM pernah menulis puisi Tuhan, Kita Begitu Dekat.Â
Kita bisa menyimak rangkaian kalimat puitis yang tegas dari Sang Penyair:
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!