Mohon tunggu...
Priyadi
Priyadi Mohon Tunggu... Lainnya - Menyukai buku

Baru belajar nulis

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

IKD dan Keamanan Siber yang Meragukan

17 Desember 2023   15:46 Diperbarui: 17 Desember 2023   18:10 219
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Unsplash.com/Franck

Saya pernah apes. Saat mengendarai motor dengan istri di ruas jalan Solo-Sragen, seseorang menjambret tas selempang istri saya. Istri saya tidak langsung teriak "jambrettt!!!" atau apa begitu. Tapi dia menangis.

Aku memelankan motor, bertanya apa yang terjadi. Sambil terisak, dia mengatakan tasnya dijambret.

Lha! Piye ta iki?

Saya ingin mengegas motor, berniat mengejar penjambret. Niat itu saya urungkan. Selain karena beroncengan, motor saya juga bukan spek balap.

Akhirnya, saya memilih putar balik, bertamu ke kantor polisi terdekat dan membuat laporan menjadi korban tindakan penjambretan.

Di kantor polisi, pelayanan sangat baik. Kami berdua disuguhi teh anget sebelum dimintai keterangan. Pada akhirnya, saya dibuatkan surat keterangan tentang peristiwa tersebut.

Demi apa? Demi mengurus barang-barang "penting" yang ada di dalam tas seperti KTP, Kartu BPJS, Kartu RS dan kartu-kartu lain.

Dalam perjalanan pulang setelah peristiwa itu, istri saya masih sesenggukan. Meski saya sadar bukan orang yang humoris, tapi saya tetap berusaha menghiburnya dengan candaan.

Di perjalanan pulang itulah, sempat terbesit dalam pikiran "jika seandainya kartu-kartu itu digital."

Tapi buat apa? Lha ponsel juga ikut dicolong oleh jambret karena ponsel tersebut ada di dalam tas.

Pada akhirnya, saya mengurus surat kehilangan di kantor polisi untuk mendapatkan KTP baru, kartu BPJS baru, juga kartu-kartu lain yang saya anggap penting.

*****

Program pembuatan Identitas Kependudukan Digital (IKD) yang saat ini telah berjalan, mengingatkan kembali peristiwa penjambretan itu. "Jika seandainya kartu-kartu itu digital."

Jujur saja, saya belum memiliki IKD. Beberapa rekan nongkrong sudah memilikinya.

Suatu waktu, saya pernah iseng bertanya "apa keuntunganmu setelah memiliki IKD?" 

Mereka menjawab bahwa "sampai saat ini belum ada. Karena kalau ngurus beberapa hal di kantor desa, tetap menggunakan fotokopi KTP-el."

Saya sendiri memiliki dua alasan mengapa belum membuat IKD.

Pertama, persoalan teknis.

Ponsel saya bukan ponsel yang memiliki kapasitas memori besar. Sementara ini, ponsel telah berisi aplikasi-aplikasi yang berkaitan dengan pekerjaan. Untuk sistem dan berkasnya saja, telah memakan ruang memori lebih dari 30 gigabyte.

Aplikasi pekerjaan dan data yang terkait dengan itu, jumlahnya kurang lebih sama.

Dengan kondisi sekarang yang ketika mengurus hal-hal "resmi" masih membutuhkan fotokopi KTP-el, jadi saya memutuskan untuk belum membuat IKD. Di kemudian hari, saya berharap akan bisa membuat secepatnya.

Ini karena saya orang yang kurang rapi dalam menyimpan sesuatu. Pas dibutuhkan, KTP-el juga sering ketlisut entah di mana. Jadi saya pikir, IKD lebih ringkas, sangkil dan mangkus.

Selain itu, IKD sepertinya tidak akan membuat keribetan jika kehilangan KTP. Sebelumnya, mengurus KTP yang hilang setidaknya harus menyempatkan waktu. Harus wira-wiri ke kantor desa untuk membuat surat pernyataan kehilangan, lalu ke kantor polisi untuk membuat surat kehilangan, dan sebagainya-sebagainya.

Tapi bagaimana kalau kehilangan ponsel? Nah! Itu yang nanti bakal membuat bingung.

Persoalan kedua, persoalan keamanan.

Entah mengapa, sampai saat ini saya masih memiliki keraguan besar dengan keamanan data digital di Indonesia.

Apalagi dalam waktu tiga tahun terakhir, peretasan data pribadi di Indonesia sangat marak. Jumlah data yang diretas juga tidak main-main.

Kita bisa berhitung dari mulai peretasan Mei 2021 yang menyasar BPJS Kesehatan. Peretas mengklaim berhasil membobol data tersebut, mencurinya dan menjual di forum daring RaidForum.

Tak berselang lama, Agustus 2021 juga terdengar kabar Electronic Health Alert (e-HAC) milik Kemenkes diretas. Peneliti dari VPNMentor mengatakan, e-HAC tidak memiliki protokol keamanan yang memadai.

Pada tahun 2022, sejumlah data di institusi atau perusahaan terkait pemerintah juga dilaporkan telah diretas.

Sebut saja misalnya dugaan peretasan data pelanggan IndiHome, data pelanggan PLN, data internal Jasa Marga, juga termasuk 1,3 miliar data SIM yang dijual di forum daring para peretas.

Pada tahun 2023 ini, data KPU diduga berhasil diretas. Peretas bernama Jimbo dan data yang berhasil diambil, dijual seharga 74 ribu dolar atau lebih dari satu miliar rupiah.

Ini belum lagi kasus peretasan yang terjadi pada perusahaan-perusahaan swasta di Indonesia.

Kasus-kasus tersebut bagi saya bukan kasus biasa. Program digitalisasi yang saat ini tengah meningkat di berbagai belahan dunia, termasuk juga Indonesia, tentu memiliki konsekuensi tersendiri, yakni persoalan keamanan siber.

Saya sendiri pernah menjadi korban peretasan. Ini terjadi dulu ketika saya masih kuliah.

Saat itu, Paypal belum begitu populer seperti saat ini.  Uang saya yang tidak banyak tersimpan di akun Paypal, diambil oleh peretas.

Saya tidak terlalu getun karena jumlahnya hanya belasan dolar. Tapi yang membuat saya jengkel, dia meninggalkan pesan ke email saya, mengucapkan terimakasih dan menyuruh saya untuk bekerja lebih giat agar saldo Paypal saya jumlahnya banyak.

Dasar sial. Akhinya saya memperbaharui email dan membuat akun Paypal baru.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun