Rel kereta api Kedungjati-Ambarawa awalnya digunakan untuk mengangkut panen tersebut. Bahkan juga mengangkut kakao yang ditanam di daerah Ngasinan serta mengangkut penumpang.
Jejak sejarah ratusan tahun lampau dan sisa-sisa bangunan yang sampai saat ini masih ada, membuatku merasa dekat sekaligus jauh.
Stasiun Bringin adalah bukti fisik bahwa pemerintah kolonial begitu dekat dengan desa saya, tapi sekaligus jauh karena ada kekosongan cerita tentang hal tersebut.
Saya kerap membayangkan bagaimana kebahagiaan dan penderitaan orang-orang saat di bawah pemerintahan kolonial. Dan apakah itu juga berdampak pada desa saya, ihwal itu menjadi pertanyaan tersendiri.
Ini karena saya masih memiliki pertanyaan yang belum terjawab, dari daerah mana para pekerja pembangunan jalur kereta api itu?
Apakah mereka kerja paksa, dan jika iya berapa banyak yang mati bersimbah darah? Jika mereka buruh yang dibayar, berapakah bayarannya dan mereka berasal dari mana saja? Apakah ada yang berasal dari desa saya? Termasuk kemudian pertanyaan, apakah saat itu desa saya sudah ada?
Pada tahun 2016-2017, saya menjadi salah satu "aktivis" di Pasar Bringin: jualan jamur tiram hasil budidaya sendiri. Setiap pagi sebelum subuh, saya harus mengantarkan hasil panen dan menjualnya kepada pengepul.
Setelah jualan habis, saya nongkrong di angkringan dan ngobrol dengan pemiliknya yang sudah sepuh. Pernah saya menyinggung tentang mengapa dan kapan stasiun itu berhenti beroperasi.
Dia bilang, stasiun mulai berhenti beroperasi sekitar tahun 1975 karena kalah bersaing dengan kendaraan angkutan.
Di akhir tahun 1980-an, dia juga bercerita pernah ada suatu peristiwa di depan stasiun, tepatnya di seberangnya, yakni di depan Pasar Bringin.
Sebelum subuh, ada sebuah karung di pinggir jalan. Orang-orang mengira, karung itu berisi gori, nangka yang belum matang. Karung itu disangka milik salah satu pedagang. Tapi sampai siang, karung itu masih berada di tempat itu dan tidak ada yang menggesernya.