Pada program berikut, the Ragazze Quartet membawakan karya dr Dvorak (String Quartet op. 106 in G major, mov. II), Erwin Schulhoff ("6 Esquisses de Jazz" & "String Quartet no. 1"), Philip Glass (various movements from "Dracula" for string quartet), dan Chiel Meijering (Bats from Hell). Dari "program music" ini (definisinya bisa dibaca di bag. 1), saya bisa menangkap maksud atau tema besar konser yg hendak diusung oleh grup quintet ini: menghadirkan perubahan gradual dr motif-motif berburu (hunt-motives) yg khas dlm tema2 string quartet pd jaman klasik dan romantik (Beethoven, Dvorak) hingga pd jaman modern (schullhof, Glass, Meijering). Dgn kata lain, motif "perburuannya" bergeser dari sekedar berburu rubah a la kaum borjuis hingga berbalik: akhirnya yg diburunya manusia! Meski toh pd konsernya, Ragazze, menurut saya, memberi tafsiran yg segar atas karya Beethoven itu.
Stlh memberi catatan alakadarnya pd tafsiran Ragazze atas karya Beethoven di bag. 1, mohon maaf saya akan sdkt tergesa utk langsung melompat pada komposisi Glass dan Meijering. Bahkan beberapa detail menyangkut data ttg mereka mungkin akan saya pangkas demi memenuhi misi yg hendak diusung dlm catatan saya ini: bagamana suatu seni pertunjukan (performance) dihadirkan dlm konser musik ini, seni yg tentu saja tidak sekedar melibatkan perangkat auditif saja tapi juga melibatkan seluruh perangkat inderawi kita lwt pengalaman-pengalaman estetis yg muncul dr ungkapan dan hubungan emosi dlm lingkung panggung dan audiens.
Demi misi ini, saya akan sedikit menyeberang ke wilayah pertunjukan teater, wilayah yg sangat memungkinkan semua seni bertemu dan berjalinan. Dari wilayah ini saya menemui salah satu bentuk pertunjukan teater modern yakni apa yg dlm istilah salah satu dramawan besar Indonesia, Putu Wijaya, disebut teater "teror" atau dlm istilah Antonin Artaud (aktor, penulis naskah dan esais g dikenal dg teater avant-garde) disebut "theater of cruelty". Pada bentuk-bentuk teater ini, seluruh indera audiens diteror hingga emosi-emosi yg tak terekspresikannya dipaksa keluar dr wilayah ketidaksadarannya.Â
Kita sebagai audiens tdk diminta utk sekadar mengikuti sebuah alur narasi, menyaksikan pergulatan batin para tokoh lewat aktingnya, atau mencari makna kehidupan yg tersembunyi dibalik peristiwa dramatik. Memaksakan kerja apresiasi seperti itu bisa jadi akan berakhir sia-sia. Nyaris mirip dengan apa yg terjadi di tempat dugem: kita disuguhi house music yg keras dan menggedor jantung, lampu disko yg berputar, suasana hingar bingar. Jika kita hanya diam dan menyaksikan saja, tdk ikut bergoyang, apalagi ditambah dg usaha utk mencari makna dibalik peristiwa hingar bingar ini, kepala kita malah akan pusing tak keruan.Â
Alih2 mendapatkan pengalaman estetis, kita hanya mengeluarkan gerutuan saja ketika keluar dr tempat itu! Jadi sekali lagi, pada teater ini, kita hanya diminta untuk mengikhlaskan perangkat-perangkat inderawi kita menyalurkan emosi-emosi yg muncul dr peristiwa yg terjadi di atas panggung.
Mari kita kembali pd konser the Ragazze Quartet. Pd 2 komposisi yg dimainkan mereka, yakni "various movements from 'Dracula' for string quartet" karya Philip Glass dan "Bats from Hell" karya Chiel Meijering, audiens diharapkan dpt merasakan kualitas emosi seperti halnya yg dihadirkan dlm teater teror atau "theatre of cruelty" itu. Dalam "Dracula"-nya Glass, motif ritme, atau tepatnya "poliritme", yg muncul berulang-ulang dlm sekuens second interval (mis. nada 'la' ke 'do', 'mi' ke 'sol').
Frase-frase melodi dan (dis-)harmoni yg minimalis dg mengeksplorasi suara dissonance (nada-nada/interval dan chord yg terasa bentrok, tidak stabil sehingga terasa tak enak, misalnya jika kita membunyikan berbarengan nada cis dan c) menimbulkan efek ketegangan yg terus menerus terjadi. Ritme yg berulang-ulang ini bagi saya terus terdengar di benak & meneror perasaan hingga musik berakhir, meski ia menghilang di bar-bar selanjutnya.Â
Di panggung teater, motif ritme tersebut ibarat tokoh yg berada di wilayah belakang samping kiri dan kanan, biasanya dipakai diantaranya utk adegan2 mengendap-endap utk melakukan semacam kejahatan! Pada bagian lain frase-frase melodi dr violin 1 dan 2 muncul mengejutkan, "bergulung-gulung", naik-turun, sekuens arpegio dimainkan scr legato dr nada rendah ke tinggi dan sebaliknya scr terus menerus (perpetual motion) menimbulkan efek "bergulung" tsb. Sementara viola dan cello tetap membangun ritme yg minimal tersebut. Dan itu dilakukan bergantian. Dibagian lagi viola dan cello lah yg memiliki peran membangun frase-frase melodi tersebut. Kita tdk lagi menyaksikan sebuah perburuan yg "indah", normal, strategis.Â
Komposisi ini bukanlah sebuah komposisi harmonis yg tersusun dr interval-interval dan chord yg consonance, alur atau kontur yg rapi dan stabil seperti jaman klasik dan romantik melainkan sebuah ketegangan, kekacauan, disharmoni. Kita bukanlah saksi perburuan tapi bisa jadi adalah objek perburuan itu sendiri. Tepatnya emosi-emosi kita yg terpendam di bawah sadar yg jarang keluar pd kehidupan sehari-hari diburu oleh komposisi musik ini.
Pada komposisi terakhir yg dimainkan, "Bats from Hell", karya Chiel Meijering, perburuan ini mencapai titik ekstremnya. Suara kini tdk muncul mengendap-endap (dr samping belakang panggung yg suram) tapi terkesan dari bawah, dari sebuah lubang. Penggunaan "mute" (peredam suara yg disisipkan di bagian bridge alat gesek).
Teknik harmonik (nada yg dihasilkan dg menyentuh sedikit permukaan senar, mirip teknik falseto dlm vokal) dan dinamika "piano" yg ekstrem (suara dg volume yg kecil sekali) di awal dan di bagian pengulangan (da capo) pada frase-frase dg pola arpegio yg repetitif menghasilkan efek timbre dan sonoritas --warna nada dan nada-nada yg dihasilkan dr kompleksitas suara yg bersamaan/simultan -- yg surealis, sesuatu di luar/di bawah realitas dan kesadaran kita. Kita akan merasakan sesuatu yg berseliweran dg jumlah yg masal muncul jauh dr bawah tanah. Sedikit demi sedikit (crescendo) mereka muncul ke permukaan, menyeruak dan makin nyaring. Tiba-tiba dikejutkan oleh satu suara (dr violin 1) yg sangat keras, tegas, diulang dg nilai nada yg berbeda (panjang & pendek) yg membuat hening bunyi-bunyi yg berseliweran tsb. Ia muncul utk "menghardik" bunyi-bunyi itu. Hening sesaat. Lalu seliweran itu muncul lagi dg pola yg berbeda.
Semua itu dihadirkan oleh Ragazze dg timing dan dinamika yg tepat, kualitas timbre dan sonoritas yg baik dan terlatih. Yg paling penting dr semua itu adalah keyakinan pemain atas peran yg dimainkan sesuai dg porsinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H