Matahari telah usai menyajikan hidangan pagi
di meja perjamuan Semesta Raya.
Desau pepohonan,
melantunkan puisi dari balik rimbun
halimun pinggang gunung.
Sayup di kejauhan,
di antara kecipak riak telaga memetik dawai harpa,
ada nyanyian alam.
Syahdu dan melenakan sukma.
Tabir menyemburat hijau berbias biru,
adalah bingkai waktu memantulkan cahaya
di bentang samudra kehidupan.
Genta alam,
berdentang menyusup di setiap pori-pori kembang di taman,
berharap wewangi menyelimuti hamparan semesta.
Segerombolan burung-burung,
menukik dari gugusan awan serupa jalinan sutra.
Silih berganti kepak sayapnya membentuk formasi ceria hati.
Butiran enau menggantung janjikan manisnya kisah.
Semesta dalam lakon hati berbunga,
menyuarakan girang batin-batin dalam tarian alam.
Fauna berdendang, folra bersenandung,
Mengusir mendung dari cakrawala.
Setangkai pagi di hangat Sasih Kedasa,
terangkai kisah semanis madu panenan lebah.
Tentang nyanyian di belantara taman serta bentang wana di kaki giri.
Tentang panen beragam-rupa, melimpah-ruah.
Bebuahan, sayur-mayur, biji-bijian,
serta kembang selaksa warna.
Damai hati, sedamai Swargaloka.
Sasih Kedasa: Sasih ke-10 dalam perhitungan tahun saka (bulan April, tahun masehi) diyakini sebagai renungan suci dalam hal pengendalian diri dan hawa nafsu dalam keyakinan agama Hindu.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI