Mohon tunggu...
Wayan Kerti
Wayan Kerti Mohon Tunggu... Guru - Guru SMP Negeri 1 Abang, Karangasem-Bali. Terlahir, 29 Juni 1967

Guru SMP Negeri 1 Abang, Karangasem-Bali. Terlahir, 29 Juni 1967

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kunci

4 Juli 2018   18:42 Diperbarui: 4 Juli 2018   18:58 522
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Senja itu, udara serasa dingin karena gerimis turun menyingkap tepi langit. Tetesan air tak hanya menyusur halaman rumah, tetapi juga tumpah di lantai rumah itu. Dinginnya udara sekeliling, sungguh tak mampu memadamkan api amarah yang bergelora di dada lelaki muda itu. Dan, isak tangis kepedihan pun tak terbendung pada sosok prempuan muda itu ketika suaminya sungguh tidak terima dengan alasan-alasan yang disampaikannya.

"Sumpah aku tak kemana-mana. Ini kunci juga aku tidak tahu, milik siapa, dari siapa", kilah Bu Darmi dengan suara parau karena isak tangisnya. Nadanya sedikit bergetar karena kesal akan tuduhan miring yang ditimpakan oleh suaminya kepadanya.

"Permisi! Om Swastyastu!" Sayup terdengar suara sapaan dari pekarangan rumah itu, telah menghentikan isak tangis Bu Darmi. Suara-suara ribut di rumah itu seketika pula berhenti. Wanita muda itu tersadar dan menahan isak tangisnya dengan mengusap air matanya membalas suara sapaan itu sambil membuka pintu.

"He, Bapak. Ada apa Pak Wi?" tanya bu Darmi sembari berusaha bersikap wajar dan menenangkan kegundahan hatinya. Maklum saja, tentu keluarga ini akan malu jika tamu yang datang sampai tahu permasalahan apa yang sedang mereka alami barusan.

"Silahkan masuk, Pak!" Sebuah tawaran manis disuguhkan kepada Pak Negah Wijaya sahabatnya sesama menjadi tenaga pendidik di sebuah SMP di Desa Abang, Karangasem. Lelaki tua yang terkesan lugu itu pun mengiyakan ajakan bu guru Darmi memasuki ruang tamu keluarga itu dan memilih duduk di kursi sisi pojok ruang tamu itu.

Di sisi lain, sesosok lelaki nampak gelisah. Mondar-mandir, dengan wajah kesal seperti sedang menahan amarah. Ia adalah suami bu Darmi. Ia curiga dan marah sama istrinya yang diketahuinya membawa kunci motor di dalam tas kerja istrinya ketika mengambil hand pone istrinya yang terus berdering.

"Begini Bu, tadi saya kehilangan kunci motor di sekolah. Ibu kan tahu, saya sering pikun menaruh barang-barang di sekolah. Tadi, saya juga bingung ketika akan pulang kunci motor saya tidak saya temukan. Saya sudah mencarinya ke mana-mana tetap juga tidak ada hasil. Akhirnya, motor pun saya tinggal di sekolah dan saya diantar oleh teman ke rumah", cerita Pak Wijaya lebih lanjut.

"Kenapa Bapak mencari ke saya?" Tanya Bu Darmi dengan wajah sedikit heran.

"Begini Bu, sesampai di rumah saya ditelepon oleh Pak Dewa yang menyampaikan bahwa kunci motor saya ternyata tertinggal di tas Ibu. Katanya, Ibu mengunggah foto kunci motor di WA group sekolah kita. Pak Dewa yang kebetulan membaca pesan tersebut, lalu menelepon saya. Saya putuskan untuk segera berangkat ke sini. Saya tidak ingin gara-gara kunci itu, Ibu jadi ribut dengan suami", katanya polos.

Lelaki tua yang menjadi guru satu sekolah dengan Bu Darmi ini memang terkenal mulai kena penyakit pikun akhir-akhir ini. Maklumlah, usianya sudah menjelang 60, dan akhir tahun ini beliau sudah akan purna tugas, alias pensiun. Di tengah pesatnya perkembangan teknologi informasi, Pak Wijaya hanya memiliki sebuah HP jadul yang biasa ia pakai untuk berkomunikasi untuk sekadar mengikuti perkembangan zaman.

Mendengar penyampaian seperti itu, lelaki yang sedari tadi nampak gelisah dan mondar-mandir itu mulai terlihat penasaran. Ia mulai mendekat ke ruang tamu. Wajahnya masih nampak kesal, penuh selidik bak sosok seorang reserse yang sedang mengintrogasi pesakitannya. "Maaf! Bapak ini siapa ya?" Lelaki muda yang tak lain adalah suami Bu Darmi memulai pembicaraan. Ia pura-pura tidak mendengar percakapan Bu Darmi dengan Pak Wijaya beberapa saat sebelumnya. Ia duduk di sebelah tamunya, dengan lagak sedikit angkuh.

"Saya temannya Ibu, Pak. Kedatangan saya kemari untuk mengambil kunci motor saya yang tak sengaja tertinggal di tas Ibu". Pak Wijaya lalu menceritakan kembali semua yang telah ia ceritakan sebelumnya kepada Bu Darmi. Lelaki tua yang terlihat polos dan lugu ini, bercerita seadanya di hadapan anak muda yang berwajah penuh selidik di depannya.

Ketika Pak Wijaya sedang bercerita kepada suaminya, Bu Darmi baru ingat jika sesampainya di rumah ia sempat menemukan kunci motor di dalam tasnya ketika hendak mengambil HP, lalu seketika ia memoto dan mengirimnya ke WA group sekolahnya dengan disisipi pesan tentang siapa yang merasa kehilangan kunci motor, ada di tasnya untuk segera diambil. Ia jadi teringat, jika Pak Wijaya memang sudah beberapa kali kelupaan menaruh kunci motornya di sekolah akibat penyakit tua yang mulai menyerangnya.

"Ooo... jadi Bapak teman istri saya? Bapak satu sekolah dengan istri saya? Kenapa kunci itu sampai bisa masuk ke tas istri saya? Tolong jawab yang jujur!" Perintah suami Bu Darmi dengan nada yang masih terdengar emosi. Maklumlah jiwa mudanya masih bergelora, sehingga perasaan itu mengalahkan akal sehatnya.

Diberondong dengan pertanyaan seperti itu, Pak Wijaya yang sudah sepuh berusaha menanggapi dengan bijak dan memberikan jawaban apa adanya, sejujur-jujurnya, seraya meminta maaf jika gara-gara kunci motornya telah mengganggu keharmonisan di rumah tangganya.

Bu Darmi pun berusaha meyakinkan suaminya akan kebenaran cerita Pak Wijaya, sahabatnya yang sudah akan pensiun. Untuk lebih meyakinkan sang suami, Bu Darmi juga bercerita jika Pak Wijaya sudah beberapa kali mengalami hal yang sama di sekolah.

"Baiklah. Ambilkan kuncinya", perintah sang suami kepada Bu Darmi dengan nada tinggi. Sinar matanya menatap tajam kearah Pak Wijaya, menandakan bahwa ia merasa jengkel dan curiga kepada lelaki itu. Bu Darmi, tanpa pikir panjang, lalu bergegas mengambil tas yang berisi kunci motor itu.

"Tapi ingat, besok Bapak tolong datang lagi ke sini dengan membawa motor lengkap dengan surat-suratnya, sebagai bukti bahwa memang benar motor itu milik Bapak", pinta suami Bu Darmi masih dengan nada penuh kecurigaan.

Pak Wijaya pun mengiyakan permintaan suami Bu Darmi, seraya memohon pamit dengan motor pinjamannya meninggalkan Bu Darmi yang terlihat bengong dengan rawut muka terlihat malu. Malu akan perilaku suaminya yang berprilaku kurang sopan kepada orang tua, yang merupakan sahabatnya sendiri di sekolah.

Sepeninggal Pak Wijaya dengan kunci motor yang baru diambilnya, tidak lantas membuat suami Bu Darmi merasa tenang. Di batinnya masih berkecamuk, antara percaya dengan pengakuan lelaki yang bertamu ke rumahnya tadi atau hanyalah akal-akalan istrinya untuk menutupi aibnya. Lalu, sengaja meminta temannya untuk mengirim lelaki tua itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun