Desa adat sibetan merupakan salah satu desa tradisional di Kabupaten Karangasem-Bali. Desa adat ini menaungi dua desa dinas, yaitu: Desa Sibetan dan Desa Jungutan, yang terdiri dari 24 banjar adat di kedua desa dinas tersebut. Penduduk di wilayah desa adat Sibetan 100% sebagai pemeluk Agama Hindu.
Seperti halnya desa-desa adat di Bali, desa adat Sibetan juga menganut konsep "Tri Hita Karana": Pawongan, Palemahan, dan Parahyangan. Terkait dengan Parahyangan (tempat-tempat suci), di wilayah desa adat Sibetan terdapat berbagai jenis tempat-tempat pemujaan sesuai dengan adat tradisi desa ini, di antaranya: Pura Kayangan Tiga (Puseh, Dalem, Balai Agung), Pura Pemaksan, Pura Penyatur Desa, Pura Penyirang, Pura Penyangjang, Pura Penyawangan, Pura Penyucian (Pura Telaga Tista), Pura Penataran, sampai ke Pura-Pura Dadia atau Pura Pemerajan Keluarga.
Jika Pulau Bali diapit oleh Pura di segala penjuru mata angin dengan "Dewata Nawasanga"-nya, adat Sibetan juga diapit oleh "Pura Penyatur Desa" dan "Pura Penyirang" di batas-batas desa. Konsep ini jelas sangat mirip dengan konsep pendirian Pura-Pura yang membentengi Pulau Bali. Keunikan lain di desa adat Sibetan adalah pelaksanaan Yadnya yang beraneka ragam sesuai dresta (tradisi) adat budaya setempat.
Salah satu bentuk pelaksanaan ritual Dewa Yadnya adalah "Ngusaba Sri". Ritual ini dilaksanakan setiap tahun sekali pada saat Sasih Kewulu (sekitar bulan Februari). Ritual keagamaan ini berlangsung selama tiga hari, diawali dengan "Pemedal" (pembukaan) yang biasanya diambil pada saat Purwani (sehari sebelum bulan Purnama sasih Kewulu, lalu besoknya (saat bulan Purnama) dilanjutkan dengan prosesi "Pemelayagan", dan di hari ketiga merupakan ritual puncak "Ida Betara Mebiyasa". Setelah tiga hari upacara Dewa Yadnya berlangsung, diakhiri dengan "Penyineban" (penutupan rangkaian acara Dewa Yadnya).
Prosesi "Usaba Sri" sendiri berlangsung sangat unik dan menarik. Diawali dengan penyiapan sesaji-sejaji dan sarana upakara dan upacara lainnya oleh Banjar Desa (tidak melibatkan seluruh umat). Banjar Desa sendiri terdiri dari 4 tempek, yang masing-masing tempek terdiri dari 11 orang anggota, ditambah 1 orang kelian desa adat (ketua), penyarikan desa (sekretaris), dan juru raksa (bendahara).
Ketika "Jro Krama Desa" sudah usai mempersiapkan sejak beberapa hari sebelumnya, barulah upacara "Pemedal" dilaksanakan, diawali dengan upacara "Mendak Ida Betara" di Pura Pemaksan oleh "Jro Krama Desa" yang ditugaskan. "Ida Betara Pemaksan" yang dipendak hanyalah pada "Pura Pemaksan" inti yaitu: Ida Betara Pemaksan Dalem Sibetan, Ida Betara Lingsir Dalem Ceroring, Ida Betara Pemaksan Puseh, Ida Betara Pemaksan Penataran, Ida Betara Pemaksan Bangkak, Ida Betara Pemaksan Gaduh, Ida Betara Pemaksan Sega, dan Ida Betara Pemaksan Pejabungan.
Sedangkan Ida Betara dari Pemaksan yang lain, Beliau tedun (turun) secara mandiri diantar oleh kerama pengempon (orang yang berorganisasi) di pemaksan tersebut. Total ada 38 Jempana (tempat suci Ida Betara) yang tedun (turun) saat upacara "Pemedal" tersebut, ditambah Ida Betara Ratu Gede Sakti (berwujud "Barong"). Setelah ke-38 Ida Betara melinggih (mendapat tempat) di "Balai Agung," barulah dilakukan "Upacara Pemedal" yang dipuput oleh seorang Pinandita.Â
"Dewi Sri" sendiri disimbulkan dengan rangkaian padi-padi dan hasil bumi dari Desa Adat Sibetan yang dihias sedemikian rupa, yang disimpan di Pura Penataran. Masyarakat desa adat Sibetan yang tidak memiliki ikatan dan kewajiban tugas, dipersilahkan untuk melakukan persembahyangan secara sukarela, dan dibuka selama 24 jam mulai saat "pemedal".
Di hari ketiga, merupakan momen puncak dari rangkaian "Usaba Sri" itu sendiri. Diawali dengan persembahyangan bersama oleh umat secara bergilir mulai pagi hari, lalu sore harinya barulah kegiatan ritual "Ida Betara Mebiyasa" dimulai. Kegiatan itu pun diawali dengan berbagai prosesi terlebih dahulu. "Jro Kerama Desa" (yang memakai kode 4 warna) akan melengkapi dirinya dengan berbagai asesoris lainnya, seperti: destar, bunga pucuk rejuna (bunga kembang sepatu merah), serta keris sebagai simbol-simbol kejantanan.Â
Hanya yang memakai "saput" warna putih yang tidak berdestar dan berbunga kembang sepatu merah. Selanjutnya "Jro Desa" tersebut akan melakukan prosesi "mabuwang" (mengelilingi) Balai Agung tempat para "Ida Betara" melinggih. Prosesi "mabwang" sendiri dipimpin oleh "Jro Kelian Desa dan Penyarikan Desa" di depan, lalu di keempat pasukan berwarna lainnya dipmimpin oleh yang namanya "Jro Tinggi" yang berasal dari pasukan berwarna "saput" putih. Penampilan "Jro Desa" sendiri seprti prajurit yang siap perang karena pada saat prosesi berkeliling sebanyak tiga kali itu mereka meneriakkan yel-yel "uryakkk" sambil mengacungkan senjata (keris).Â
Tidak ketinggalan pula diisi dengan prosesi "metuakan" rangkaian pesta sebagai perwujudan rasa syukur atas hasil bumi yang telah dilimpahkan kepada masyarakat desa. Di panggungan sendiri akan digantung beraneka macam hasil bumi produk desa setempat. Usai semua prosesi ini, barulah dilanjutkan dengan pementasan berbagai tarian sakral, seperti: "Rejang Dewa" dan Baris Gede".Â
Usai pementasan tarian ini, barulah Ida Betara yang "melingih" di "panggungan" Balai Agung tedun (turun) secara bergilir, masing-masing sebanyak tiga kali. Rangkain proses "mebiyasa" tersebut diiringi gamelan yang penuh semangat, saat itu pula masyarakat akan ada yang ngayah "Narat" yaitu tarian dengan menghunus keris yang ditusuk-tusukkan di dadanya secara membabi buta dengan bertelanjang dada.Â
Biasanya pada saat itu pula akan banyak orang (utamanya anak-anak muda yang "kerauhan" akan melalukan tarian-tarian dengan teriakan-terikan histeris. Mereka akan berhenti menari dan berteriak secara tidak sadar, setelah diperciki "wangsuh pada" (air suci yang didoakan) oleh para pemangku adat setempat. Prosesi "mebiyasa" akan diakhiri dengan atraksi "Ida Betara Gede Sakti" (tari barong sakral).
Keesokan harinya (hari ke-4) dilakukan prosesi "Penyineban" di pagi hari. Usai persembahyangan dan prosesi "murwa daksina" (mengelilingi Balai Agung) sebanyak tiga kali, Ida Betara "katuran" (dipersilahkan) matuk (kembali ke Pura masing-masing). Namun, Ida Betara yang berasal dari desa dinas Jungutan akan melakukan prosesi ritual "mesucian" di Pura Telaga Tista.Â
Sedangkan Ida Betara Maksan Dalem Sibetan, Ida Betara Maksan Puseh Sibetan, Ida Betara Maksan Bangkak, Ida Betara Maksan Sega, Ida Betara Maksan Pejabungan, Ida Betara Penataran, para "Premade", Ida Betara Gede Sakti, dan Betara Sri (yang disimbolkan dengan padi) katuran "mesucian" di Pura Penyatur Tengah. Usai prosesi mesucian, barulah Ida Betara kembali ke Istana-Nya.
Untuk tahun 2018 ini, "Pemedal" dilakukan pada hari Selasa 30 Januari 2018, kemudian "Pemelayagan" pada hari Rabu,tanggal 31 Januari 2018. "Pengebek" pada hari Kamis, 1 Februari 2018, serta "Nyineb" Jumat, 2 Februari 2018. Dan pada saat hari "Pengebek" tahun ini paling banyak masyarakat (umumnya anak muda) yang "kerauhan" (semacam kemasukan roh).
Apakah tahun depan akan terjadi "kerauhan" yang lebih banyak lagi? Menarik untuk kita tunggu.