Betapa terkejutnya diriku, jua dirimu, ketika kita tahu manik mutiara itu telah layu. Perasaan bercampur aduk menggelayutiku. Aku pasrah dalam doa. Dengan keterbatasan bekal yang kita bawa, kita coba merancang cerita. Kabar pun harus kusampaikan kepada kerabat kita, tentang nasib mutiara kita yang layu sebelum waktunya. Tindakan segera harus dilakukan, sang ahli pun memburunya dalam hitungan jam.
Engkau mati, mati suri di ruang penuh misteri. Mutiara kita ditemukan, ditangkap, dan dikeluarkan tepat jam 10 malam. Kau masih belum sadar, ketika mutiara kita keluar tanpa sinar. Isak tangis tak kuasa kutahan. Sumpah-serapah, tanpa sadar aku ucapkan. Hanya kerabat setia yang mendampingi kita. Kupangku mutiara itu dengan rasa haru. "Tuhan, mengapa Engkau rusak lagi mutiara anugrahMu?" dalam doa aku bertanya.
Nafas-nafas lemah tersembul dari mutiara kita. warnanya telah berubah biru, wujudnya sudah rusak pula. Kilaunya semakin pudar. Dua jam lamanya kutaruh dalam pangkuan, kembali lepas ke tengah samudra. Kesedihanku semakin dalam. Tapi aku adalah kepala biduk perahu kita. Aku harus tegar dan mengambil sebuah keputusan. Kesedihan dan isak tangis bukan penyelesaian. Empati kerabat hanyalah bujukan pemanis hati. Ritual pun harus kembali dilaksanakan tuk mengiringi kepergian mutiara kita. Kubiarkan kau tergolek lemah di sudut ruang itu ditemani kerabat karena aku harus mengurus prosesi ritual itu.
Aku tahu benar jiwamu. Tempramen dan cepat naik darah. Maka, kurancang sebuah muslihat dengan orang-orang sekitar. Bahwa mutiara kita masih selamat, dan tersimpan di ruang lainnya. Kerabatpun kuberi isyarat agar kau tetap tenang dan bahagia.
Tanpa aku sadari dan kuketahui, entah kemana aku saat itu, ada kerabat yang menengokmu. Dengan segala keluguannya dia bertutur bahwa mutiara kita kembali lepas. Tangismu semakin pilu dalam derita tubuhmu. Darah merembes dari tempat penyimpanan mutiara kita. Sang ahli pun panik dan berusaha memberi pertolongan. Tensi semakin tinggi, seiring kesedihan yang semakin menjadi. Perasaanku bercampur aduk. Marah, benci tak boleh aku lontarkan karena itu adalah takdir Tuhan yang harus kita terima.
Sang waktu pun berlalu. Kita mencoba melupakan kisah pilu. Goncangan jiwa yang kau alami harus aku redakan dengan doa orang sakti. Kita jalani lagi perjalanan kita, karena kita belum kembali ketepian dengan membawa hasil yang sempurna. Perlahan-lahan kita melupakan rasa perih-pilu kita. Lalu, kita mencoba tuk mengayuh lagi perahu tua kita yang semakin usang.Â
Batang usia kita pun semakin meninggi. Dua belas bulan (2009) kita mencoba mendatangi "Hyang Ahli" tuk mencaba mencari jalan meraih mutiara idaman kembali. Tak ada hasil yang kita peroleh. Bekal telah banyak kita habiskan, tapi kita harus ingat kembali bahwa kesepakatan kita di 3 Januari itu adalah untuk mengarungi samudra meraih mutiara yang membuat kita tak berputus asa.
Berbagai upaya kita lakukan lagi, mendatangi "Hyang Ahli" tidak mebawa hasil, lalu kita mencoba menempuh jalan-jalan suci. Berbagai tempat suci kita datangi, memohon agar perjalanan kita diridoi. Tempat-tempat angker jua  kusambangi karena rinduku akan sebutir mutiara hati. Sampai suatu ketika, aku ingat nasihat kerabat. Di hari "banyu pinaruh" hari Saraswati, kita terdampar di sebuah tempat suci, "Pura Candi Dasa" menjadi tempat kita memohon kepada-Nya. Orang suci telah memohonkan dan mengantarkan kita kepada-Nya. Ritual yang tak biasa pun beliau lakukan. Kita diuruti di pelataran tempat suci, sambil memberikan sebuah saran agar kita kembali hadir di suatu hari saat "Beliau" hadir.
Anggar Kasih Perangbakat di tahun 2009, kita sepakat berserah diri di hadapanNya di Pura Candidasa", sambil memohon maaf dan ampunan agar diberkahi sebutir mutiara lagi. Dalam kelehan aku berangkat, dini hari kita undur diri. Lalu sampai kita di pendaratan mencoba mengadu birahi. Tuhan berkendak, doa-doa kita terkabulkan. Sebutir manik mutiara kembali bersemayam di ragamu. Sebuah muzisat yang luar biasa di tengah usia kita semakin renta, empat puluh dua. Kita rawat dengan segala upaya. Kita sambangi "Hyang Ahli" saban bulan yang kita pilih dan kita yakini lebih mumpuni di Denpasar.Â
Perjalanan jauh selalu kita tempuh, waktu kita terkuras terkadang 24 jam. Bekal yang harus kita keluarkan pun berlipat-lipat. Tapi, semua itu kita singkirkan demi setitik harapan. Delapan bulan kau simpan rapi dengan jampi-jampi, mutiara kita hampir lagi melayang ke samudra luas. Ketika gelagat itu muncul, aku segera bertidak. Kuungsikan engkau enam hari di "rumah derita itu". Lalu aku titipkan engkau jauh di tepian kerabat. Kurelakan selalu berjalan jauh mencari bekal hidup demi mutiara kita selamat.
Tanggal 3 Juni 2010 menjadi saksi bersejarah kita kehadiran sebutir mutiara.  Tiga  hari, dua malam engkau dalam derita, namun bahagia karena mutiara kita terlahir dengan cahaya yang berkilau. Kebahagian kita sambut dengan sederhana karena bekal kita yang telah habis. Rezeki harus kukais lagi, berhutang lagi. Ritual harus kita lalui. Dan kita sepakat merawatnya dengan janji suci. Memberikan yang terbaik agar kemilaunya semakin indah dan bertumbuh semakin megah.