Unggahan di medsos pun lebih banyak bertutur tentang keadaan yang tenang. Tanpa dinyana, tanggal 29 November, tiba-tiba erupsi melontarkan abu vulkanik yang cukup besar mengarah ke selatan, dan barat daya. Masyarakat dibuat tersentak. Bahkan, keyakinan para ahli vulkanologi saat itu bahwa letusan besar akan terjadi hari itu juga tinggal menunggu hitungan jam, seperti yang ditayangkan di beberapa stasiun TV.Â
Masyarakat berbontong-bondong ingin mengabadikan peristiwa langka tersebut. Kembali alam berkehendak lain. Prediksi para ahli mental kembali oleh keagungan jagad Bali. Namun, dampak erupsi tanggal 29 September 2017 tersebut cukup dirasakan di beberapa kecamatan, seperti; Bebandem, Selat, Rendang, bahkan Kabupaten Bangli, Bandara Seleparang di Lombok dan Ngurah Rai terpaksa ditutup beberapa hari. Penerbangan lumpuh, pariwisata pun mulai terdampak.
Masyarakat di wilayah Karangasem seakan terbiasa dan tidak panik, walau ada berbagai imbauan dari pihak terkait. Mereka menjadikan tontonan setiap momen erupsi yang terjadi dan mengabadikannya melalui HP atau kamera. Bahkan, ketika lahar dingin mulai mengalir di beberapa aliran sungai, masyarakat menjadikan momen itu juga sebagai tontonan. Sungai Unda, di Kabupaten Klungkung menjadi daerah terparah oleh aliran lahar dingin kiriman dari Rendang. Sumber air masyarakat sekitarnya menjadi lumpuh penuh lumpur.
Letusan demi letusan kerap terjadi, entah kapan akan berakhir. Hanya Tuhan yang tahu. Silang pendapat antara pengambil kebijakan dengan ahli vulkanologi kerap terjadi untuk menurunkan status Gunung Agung.Â
Bahkan, perbedaan itu sampai terjadi di tingkat menteri demi "gemerincing dolar" itu mengalir melalui pariwisata. Maklum juga, pendapatan daerah Bali memang sangat bergantung dari sektor tersebut. Masyarakat Karangasem bersikap apatis dan skeptis, utamanya yang bertahan di pengungsian. Bagi mereka, yang penting dapat logistik sehingga tidak kelaparan. Mereka tidak peduli dengan beraneka status yang ditetapkan oleh para ahli dan pengambil kebijakan.
Dalam kondisi seperti itu patut kita berterimakasih kepada saudara-saudara kita yang begitu peduli akan musibah yang dialami oleh masyarakat Karangasem. Uluran bantuan material (sandang-pangan, dana, bahkan fasilitas-fasilitas lainnya) merupakan wujud kepedulian mereka. Saudara-saudara kita yang mengungsi di kabupaten lain diperlakukan sangat manusiawi.
Para siswa kita yang numpang belajar di sekolah-sekolah di kabupaten lain juga diberikan berbagai fasilitas memadai untuk belajar, bahkan ada yang "numpang belajar" di sekolah berlabel internasional secara gratis. Para donatur berbondong-bondong berdatangan membawa beraneka bantuan. Para artis pun (lokal maupun nasional) silih berganti menghibur saudara-saudara kita di kamp-kamp pengungsian. Relawan dan lembaga-lembaga peduli anak tak ketinggalan turun tangan membangkitkan semangat "Tunas-Tunas Karangasem" agar tidak layu sebelum berkembang. Doa-doa mengalir dari berbagai penjuru negeri, bahkan luar negeri. Karangasem seakan menjadi kiblat Indonesia bahkan dunia. Mungkin tidak berlebihan jika saya katakan bahwa Gunung Agung adalah "rohnya" Karangasem, Karangasem adalah "kepalanya" Bali, dan Bali adalah "jantungnya" Indonesia.
 (3) Abu vulkanik dan lahar gunung berapi memiliki beberapa zat yang dibutuhkan oleh tanaman agar dapat tumbuh dengan baik. (4) Hasil letusan Gunung Agung tahun 1963 silam menjadi sumber utama meningkatkan perekonomian daerah dan masyarakat Karangasem. Lahar yang keluar menghasilkan beberapa bahan tambang material yakni pasir dan batu. Karangasem terkenal sebagai kabupaten penghasil "mutiara hitam". (5) Panorama Gunung Agung dan alam sekitarnya, menciptakan keindahannya tersendiri yang bisa dikembangkan sebagai agrowisata untuk meningkatkan ekonomi masyarakat sekitar.
 (6) Menumbuhkan kembali rasa persaudaraan yang kian pudar, tanpa memandang; suku, agama, ras atau golongan. (7)) Sulfur dioksida dari letusan gunung dalam jumlah besar ke stratosfer menyebabkan suhu udara secara global akan turun hingga beberapa tahun (Michael Mills).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H