Mohon tunggu...
Wayan Kerti
Wayan Kerti Mohon Tunggu... Guru - Guru SMP Negeri 1 Abang, Karangasem-Bali. Terlahir, 29 Juni 1967

Guru SMP Negeri 1 Abang, Karangasem-Bali. Terlahir, 29 Juni 1967

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Erupsi Gunung Agung, Berkah di Tengah Musibah

1 Januari 2018   06:52 Diperbarui: 1 Januari 2018   16:45 1462
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gunung Agung atau sering disebut "Giri Toh Langkir", belakangan ini dikatakan sedang mengalami "erupsi". Bagi masyarakat awam istilah tersebut kurang dipahami maknanya. Di benak mereka, hanya dikenal gunung meletus. Hal itu mengusik keinginan saya untuk mengenali lebih dekat melalui referensi. Pada sebuah buku, kata "Erupsi diartikan letusan gunung berapi. Sumber lain menyebut "Erupsi dalam istilah Geografinya adalah pelepasan; magma, gas, abu, dll, ke atmosfer atau ke permukaan bumi. Jadi, istilah "meletus" hanya berganti nama dengan "erupsi", yang dalam pelajaran bahasa Indonesia dikenal dengan istilah padanan kata atau sinonim. Lebih lanjut dijelaskan, Erupsi gunung berapi terjadi karena adanya pergerakan atau aktivitas dari magma dari dalam perut bumi yang berusaha keluar ke permukaan bumi.

Jika kita kaitkan dengan fenomena Gunung Agung saat ini, itu artinya gunung tertinggi di Pulau Dewata ini sedang mengalami proses pergerakan atau aktivitas magma dalam "perutnya" yang berusaha keluar ke permukaan bumi. 

Proses itu sudah berlangsung cukup panjang sejak bulan September, yang didahului dengan peningkatan aktivitas gunung Agung dari Level II (Waspada) ke Level III (Siaga), lalu pada tanggal 22 September ditingkatkan lagi statusnya menjadi Level IV (Awas). Berita yang tersiar di berbagai stasiun TV, media cetak dan elektronik, ditambah lagi berita di medsos yang tek henti-hentinya mengeskpos tentang aktivitas Gunung Agung, telah mempengaruhi psikologi masyarakat, utamanya masyarakat Karangasem.

Beredarnya surat pernyataan bupati Karangasem, Nomor: 362/444/BPBD/2017, tertanggal 18 September 2017 di medsos yang intinya membenarkan bahwa telah terjadi bencana alam "Erupsi Gunung Agung" di wilayah Kabupaten Karangasem pada hari Senin, 18 September 2017 pada pukul 22.00 wita telah menambah kepanikan masyarakat untuk menyelamatkan nyawa, anggota keluarganya, serta harta bendanya.

Tanggal 22 September 2017 menjadi awal eksodus besar-besaran masyarakat Karangasem untuk menyelamatkan diri. Kawasan Karangasem, dari kota sampai ke desa-desa telah terjadi kemacetan yang teramat parah karena ingin segera pergi. Ada juga yang bersikap pasrah karena ketidakberdayaan untuk menembus kemacetan pada pada saat itu. 

Lalu, memilih hari-hari berikutnya untuk pergi "ngungsi" ke titik-titik yang direkomendasi oleh pemerintah atau "medunungan" di rumah-rumah sanak-saudara, bahkan tidak sedikit yang kot sementara. Bagi yang bermodal, bahkan mungkin bisa tidur nyenyak di hotel mewah. Banyaknya pejabat Karangasem yang berseliweran di Denpasar dengan mobil dinas plat "S" membuat marah Gubernur Bali, seperti dilansir harian Radar Bali (Kamis, 28 September 2017).

Sebuah keadaan yang sangat mencekam, yang terkadang melupakan empati akan saudara-saudara. Kewajiban seorang pemimpin/pejabat yang semestinya mengayomi rakyatnya lenyap akan prinsip "selamatkan diri masing-masing". Istilah Balinya "bangke ibe, hidup kai". Beberapa hari Karangasem lumpuh total. Karangasem bagai daerah tak berpenghuni. Kegetiran tidak hanya terjadi di seputaran Kota Amlapura, bahkan sampai ke pelosok-pelosok desa di wilayah yang ditetapkan sebagai KRB. Dunia pendidikan jadi kocar-kacir karena para siswa dan guru-guru, utamanya di daerah KRB memilih mengungsi. Kantor layanan pemerintah, bank-bank juga menyingkir ke radius yang dianggap aman sehingga sangat menganggu pelayanan masyarakat.

Apakah karena peningkatan status dari Siaga ke Awas telah membuat masyarakat menjadi panik dan lari meyelamatkan diri? Ternyata jawabannya belakangan baru saya ketahui setelah Bapak Mangku Pastika bercerita di media bahwa para ahli mengatakan kepada Beliau, 23 September pukul 16.00 itu harusnya Gunung Agung meletus. Perkiraan itu berdasar pergerakan magma setelah status Awas 22 September.

Gunung Agung memang menyimpan sejuta misteri. Prediksi dan analisis para ahli vulkanologi ternyata meleset. Berbagai peralatan canggih yang di pasang untuk memantau pun sering gagal, bahkan rusak tanpa sebab. Di tengah situasi yang masih mencekam, pada tanggal 3 November 2017 ratusan krama Bali justru ngaturang pekelem ke Gunung Agung. Semua kegiatan berlangsung aman dan lancar. 

Berbagai unggahan di media sosial tentang kegiatan tersebut membuat masyarakat Karangasem, khususnya di daerah KRB merasa tenang. Banyak masyarakat dari KRB III kembali beraktivitas ke kampung halamannya utamanya di siang hari. Sorotan media dan berbagai ulasan para ahli vulkanologi mulai berkurang. Gunung Agung pun seakan menampakkan keramahan, walau sekali-sekali terlihat mengeluarkan asap. Gempa-gempa tidak lagi dirasakan oleh masyarakat.

Saat situasi semakin tenang, bahkan pengungsi di luar KRB III dihimbau untuk kembali oleh pemerintah, Gunung Agung justru erupsi hari Selasa (21/11) sekitar pukul 17.05 WITA, yang membuat warga panik. Juru bicara Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Sutopo Purwo Nugroho, mengimbau masyarakat agar tetap tenang. Kepercayaan masyarakat akan imbauan para ahli vulkanologi, membuat mereka kembali agak tenang. Pemberitaan dan ulasan di media elektronik mulai agak sepi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun