Mohon tunggu...
Kertas Putih Kastrat (KPK)
Kertas Putih Kastrat (KPK) Mohon Tunggu... Dokter - Departemen Kajian dan Aksi Strategis BEM IKM FKUI 2022

Kumpulan intisari berita aktual // Ditulis oleh Departemen Kajian dan Aksi Strategis BEM IKM FKUI 2022 // Narahubung: Jansen (ID line: jansenjayadi)

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Dilema Alat Kontrasepsi untuk Remaja: Antara Kesehatan Reproduksi dan Tantangan Sosial?

10 September 2024   17:35 Diperbarui: 10 September 2024   17:41 460
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pemulis: Muhammad Rayyansyah

Angka pernikahan anak di Indonesia cukup memprihatinkan. Berdasarkan data UNICEF 2023, Indonesia menempati posisi ke-4 dunia dengan pernikahan anak terbanyak dengan estimasi angka 25,53 juta jiwa. Data dari Badan Peradilan Agama (BADILAG) mencatat bahwa pada tahun 2023 terdapat 41.852 pernikahan yang dilakukan dengan dispensasi. Dispensasi pernikahan adalah kelonggaran hukum yang diberikan ketika calon pengantin belum mencukupi usia minimal untuk menikah, yaitu 19 tahun. Meskipun jumlah ini menunjukkan penurunan dari puncak 64.211 kasus pada tahun 2020, angka tersebut masih tergolong tinggi jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.[1,2]

Kehamilan sebelum menikah menjadi alasan terbanyak dikeluarkannya dispensasi pernikahan. Dari 13.880 perkara dispensasi pada 2018, lebih dari 4.000 kasus dikeluarkan dengan alasan ini – 31% dari seluruh kasus. Menurut data Riskesdas 2018, di Indonesia, 58,8% perempuan berusia 10-19 tahun pernah mengalami kehamilan dan 25,2% sedang hamil. Selanjutnya, Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 mencatat kenaikan angka riwayat kehamilan anak  menjadi 64,4% dan 12,8% sedang hamil. Ini menunjukkan bahwa isu kehamilan remaja dan usia sekolah masih berada di level yang memprihatinkan.[2,3,4,5]

Merespons situasi tersebut, Presiden Jokowi memberikan amanat kepada Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) untuk menjalankan lima arahan prioritas, salah satunya mencegah perkawinan anak. Menanggapi hal ini, pemerintah memberikan upaya dengan meluncurkan Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak (Stranas PPA) 2020 yang menargetkan penurunan angka perkawinan anak perempuan. Sejumlah langkah lain juga telah diambil untuk menghentikan praktik perkawinan anak, termasuk disahkannya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 yang mengubah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, serta Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 5 Tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin yang menjadi panduan bagi hakim dalam memutuskan perkara dispensasi kawin.[6]

Maraknya pernikahan anak, terutama dengan alasan hamil sebelum pernikahan serta tingginya kehamilan anak usia sekolah, lebih dari cukup menjadi alasan pemerintah menerbitkan upaya pengendalian kehamilan remaja dan usia sekolah. Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 Tahun 2024 disahkan oleh Presiden Joko Widodo sebagai produk turunan dari UU No. 17 Tahun 2023.  Beberapa pasal pada PP ini menarik perhatian banyak kalangan, salah satunya pada Pasal 103 ayat 4. Pasalnya, poin e pada ayat ini menyebutkan penyediaan alat kontrasepsi sebagai suatu bentuk pelayanan kesehatan reproduksi remaja dan usia sekolah. Poin ini menuai pro dan kontra dari berbagai pihak, mengingat penyediaan alat kontrasepsi seakan memberikan “lampu hijau” untuk pergaulan bebas remaja.[7]

Ketua Komisi X DPR RI, Syaiful Huda, menilai kebijakan pemberian alat kontrasepsi bagi pelajar sebagai kebijakan yang tidak bijak. Menurutnya, kebijakan ini seakan memberikan restu dari negara bagi para pelajar untuk berhubungan bebas. Hal ini tentu bertolak belakang dengan keinginan pemerintah untuk memaksimalkan pencegahan terjadinya seks diluar nikah bagi pelajar. Beliau mengusulkan agar pemerintah lebih menekankan upaya preventif melalui edukasi, tentunya dengan kerjasama antara banyak pihak.[8]

Di sisi lain, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyatakan sikap untuk melihat pelayanan kontrasepsi bagi remaja dan usia sekolah sebagai upaya minimalisasi risiko kehamilan yang tidak diinginkan, infeksi menular seksual, serta risiko lain dari pernikahan anak. Komnas Perempuan juga menyatakan upaya kesehatan sistem reproduksi melalui layanan kontrasepsi bagi remaja dan usia sekolah dimaksudkan untuk menjalankan amanat UU Perlindungan Anak, hak konstitusional, serta amanat komitmen negara pada pelaksanaan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) yang telah diratifikasi dalam  Undang-Undang No. 7 Tahun 1984. Namun di akhir, Komnas Perempuan merekomendasikan perlunya peraturan lebih teknis setelah PP No. 28 Tahun 2024 agar memperjelas layanan kontrasepsi yang dimaksud oleh pemerintah.[9]

Di tengah pro dan kontra mengenai hal ini, sudah sebaiknya ada penjelasan resmi dan tindak lanjut dari pihak terkait – dalam hal ini pemerintah sebagai pemangku kebijakan. Juru Bicara Kementerian Kesehatan, dr. Mohammad Syahril Sp.P, MPH, menekankan agar masyarakat tidak salah paham dalam menginterpretasikan PP tersebut. Beliau menjelaskan bahwa penyediaan alat kontrasepsi hanya diberikan kepada remaja yang sudah menikah dengan tujuan menunda kehamilannya hingga umur yang ideal untuk hamil. Sebagai tambahan, rancangan Peraturan Menteri Kesehatan akan diterbitkan untuk memperjelas teknis dari pelayanan kontrasepsi serta edukasi tentang keluarga berencana bagi remaja dan usia sekolah.[10]

Jika penyediaan alat kontrasepsi diperuntukkan bagi para remaja dan usia sekolah yang sudah menikah, tampaknya target sasaran dari pasal 103 Ayat 4 PP No. 28 Tahun 2024 tidak menyeluruh. Ini dikarenakan alasan utama dari pernikahan anak adalah kehamilan sebelum pernikahan. Tujuan dari penyediaan alat kontrasepsi tidak akan tercapai dengan maksimal jika targetnya telah mengalami kehamilan. Oleh karena itu, edukasi terkait kesehatan sistem reproduksi yang lebih efektif kepada para remaja dan usia sekolah dapat menjadi kunci dari pintu permasalahan ini.[2,7]

Selain itu, pemberian kontrasepsi ini dapat memiliki implikasi terhadap kekerasan seksual yang dilakukan setelah pernikahan. Meskipun secara agama hubungan seksual dianggap sah setelah pernikahan, hal ini tidak menutup kemungkinan terjadinya kekerasan seksual di dalam rumah tangga. Risiko kekerasan seksual dalam rumah tangga cenderung meningkat karena remaja masih dalam tahap perkembangan emosi dan cenderung labil sehingga mereka rentan melakukan tindakan impulsif. Oleh karena itu, memberikan akses kontrasepsi kepada remaja dapat meningkatkan risiko penyalahgunaan, di mana kontrasepsi tersebut dapat digunakan untuk memaksa pasangan menggunakannya guna menyembunyikan bukti kekerasan seksual, termasuk pemaksaan dalam hubungan seksual.[11]

Berkaca dari penelitian luar negeri mengenai penyediaan alat kontrasepsi bagi usia sekolah dan  remaja, memang dapat dikatakan bahwa hal ini memberikan dampak positif bagi kesehatan sistem reproduksi remaja. Para peneliti menemukan bahwa kebijakan mendistribusikan kontrasepsi dan kondom di sekolah yang diterapkan di Inggris Raya menunjukkan hasil yang positif. Selama 16 tahun, sepanjang kebijakan itu dijalankan, terdapat penurunan sebesar 51% dalam tingkat pembuahan/ fertilisasi pada perempuan di bawah 18 tahun. Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa penyediaan kondom berbasis sekolah juga dapat mengurangi risiko memulai hubungan seksual. Risiko memulai hubungan seksual bahkan turun sebesar 88% ketika penyediaan kondom disertakan lokakarya pencegahan HIV.[12,13] 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun