Penulis: Kevin Tadeus Simanjuntak
Melandainya angka kasus COVID-19 dalam negeri disambut hangat oleh kembalinya kegiatan-kegiatan offline yang mengundang kerumunan orang. Berbagai konser bertabur musisi lokal dan internasional kembali hadir untuk memanjakan fans musik di Indonesia.Â
Sebut saja, NCT, Blackpink, Heads in the clouds, Sheila On 7, Berdendang Bergoyang, dll.[1] Tertahan selama dua tahun, gairah masyarakat Indonesia untuk kembali menikmati musik bersama-sama membludak.Â
Antusiasme yang tinggi terlihat dengan ludesnya tiket-tiket konser dalam waktu yang singkat, misalnya tiket konser Sheila On 7 yang habis terjual dalam 30 menit dan 77 ribu tiket konser Blackpink yang habis dalam kurang dari 15 menit.[2,3] Demi bisa bertemu secara langsung dengan musisi yang kita cintai, segelintir uang siap kita "korbankan". Namun, apa jadinya apabila uang bukanlah satu-satunya hal yang perlu dikorbankan?
Nyawa Jadi Taruhan
Pada bulan Oktober silam, dunia sempat dihebohkan dengan insiden crowd crush tragis di Itaewon, Korea Selatan, yang merenggut 158 nyawa. Tragedi tersebut terjadi di tengah perayaan Halloween yang mayoritas diikuti oleh kalangan muda.[4] Tindakan preventif dan mitigasi dari pihak kepolisian yang kurang adekuat dan lambat memegang peranan penting dalam peristiwa ini.[5] Di tanah air sendiri, peristiwa tragis yang berkaitan dengan keramaian baru saja terjadi, yakni Tragedi Kanjuruhan yang menewaskan setidaknya 135 nyawa pada Oktober lalu.
Terlepas dari benar atau salahnya keputusan pihak kepolisian untuk menembakkan gas air mata, jumlah penonton yang melebihi kapasitas juga memainkan peranan dalam kasus ini. Komnas HAM mencatat bahwa terdapat sekitar 43 ribu tiket yang dijual untuk menonton pertandingan antara Arema FC dan Persebaya Surabaya tersebut.Â
Padahal, batasan kapasitas yang sudah ditetapkan adalah sebanyak 38 ribu penonton.[6] Menurut Panitia Pelaksana Arema FC, awalnya pihak kepolisian sudah membatasi jumlah maksimal 38 ribu orang. Namun, akibat protes dari beberapa suporter atas pembatasan yang dilakukan secara tiba-tiba, kepolisian akhirnya memperbolehkan tiket berlebih tersebut untuk dijual.[7]
Hanya berselang beberapa minggu, bencana kerumunan kembali terjadi di Indonesia. Berlokasi di Istora Senayan, Festival Berdendang Bergoyang melebihi kapasitas yang sudah ditentukan sehingga pelaksanaan hari ketiganya dibatalkan.
Izin keramaian yang diajukan ke pihak kepolisian adalah 3 ribu orang dengan daya tampung Istora Senayan sebesar 10 ribu orang. Mengagetkannya, tiket yang telah terjual hingga Oktober adalah sebanyak 27.879 tiket.