Pendekatan yang kita gunakan sekarang untuk menangani lonjakan CO2 adalah virus. Tentunya, kita tidak dapat terus-menerus menahan virus ini ada, membiarkan jutaan manusia menjadi pengangguran, dan mendesak laju perekonomian.
Usaha yang dilakukan untuk menangani climate change sudah pasti harus jauh lebih besar daripada usaha untuk sekadar membawa perindustrian tutup untuk sementara waktu.
Terlebih lagi, sangat mengerikan apabila terjadi lonjakan CO2 yang dikeluarkan guna membayar utang rehat selama pandemi tepat setelah pandemi ini berakhir.
Negara-negara perlu mengadakan pertemuan untuk membahas janji ini, green promises atau terjemahan kasarnya janji hijau, demi kebaikan bersama.[5,6]
Langkah Jangka Panjang
Jika kita berjalan-jalan di Seoul (Korea Selatan) pada tahun 2022 untuk menonton konser, misalnya, kita mungkin akan melihat seluruh gedung publik di-'tenagai' matahari. Jalanan akan dipenuhi rumah susun yang di-'tenagai' matahari pula.
[7] Bagaimana tidak, menurut data yang dilansir oleh Value Champion, negara yang dijuluki negeri ginseng ini sekarang, 2020, sudah menempati peringkat ke-3 terbaik se-Asia dari aspek energi, udara, air, GHGs (Greenhouse gases), limbah, tempat terbuka hijau, dan transportasi. Secara rata-rata, Korea Selatan setara dengan Australia dengan nilai 5,4.
Jika tidak ingin menilai dengan negara maju seperti Korea Selatan dan Australia, kita bisa melihat negara-negara tetangga kita di Asia Tenggara. Singapura, Filipina, dan Malaysia berturut-turut menempati peringkat ke-2,7, dan 8 terbaik se-Asia.
Sementara itu, Indonesia menempati peringkat ke-9. Namun, alangkah baiknya jika kita tidak menggunakan kompetisi untuk peduli dengan bumi. Kepedulian atas bumi adalah kewajiban kita semua. Bumi seharusnya gratis dan milik kita semua.
Akan tetapi, tidak ada salahnya juga apabila menerapkan reward and punishment demi kebaikan bersama.[8]
OLEH: Radea Renoza