Manusia dan Climate Change
"Manusia selalu ingin beranjak ke puncak rantai makanan dan alam selalu menemukan jalannya"
Mungkin, kutipan di atas adalah ungkapan yang tepat untuk menggambarkan kondisi bumi kita sekarang. Bumi kita beranjak dari yang awalnya berbahaya untuk dihuni hingga akhirnya bersahabat untuk dihuni berkat adanya GHGs (Greenhouse gases).
Tanpa GHGs, bumi kita akan mendingin. Dengan GHGs, foton dan kalornya dapat terperangkap di atmosfer. Dengan GHGs yang seimbang, bumi tidak terlalu panas dan tidak terlalu dingin. Namun, ketidakseimbangan GHGs dapat menyebabkan malapetaka pula bagi bumi. Bumi dapat mengalami kekeringan hingga akhirnya ludes terbakar.[1]
Seperti yang kita tahu, manusia dengan keegoisan gennya memulai 'keserakahannya' pada revolusi industri 1760 di mana terjadi pemanfaatan bahan bakar fosil besar-besaran. Sejak itulah, konsumsi bahan bakar dunia terus meningkat.
Sekarang, kita dapat menemui peninggalan berarti revolusi industri 1760 dari nasi goreng dan steak yang biasa kita makan, serta kendaraan yang kita kendarai untuk membelinya.[1] Emisi dari penggorengan nasi goreng (baik menggunakan gas maupun arang), kotoran sapi, dan pembakaran bensin dari kegiatan yang disebutkan tadi mengandung karbon yang nantinya akan membentuk CH4, CO, dan CO2.
Ketiga senyawa ini termasuk GHGs (Greenhouse gases) yang nantinya akan menyebabkan global warming apabila dihasilkan dalam jumlah masif. Ironisnya, itu yang terjadi sekarang. Meskipun bukan satu-satunya penyebab climate change, global warming memberikan sumbangsih cukup besar untuk climate change.
[2] Lalu, pertanyaannya, apakah ini semua salah manusia?
Manusia mungkin tidak sepenuhnya salah akan kejadian ini. Alih-alih menjadi penyebab utama terjadinya climate change, manusia dapat menjadi penyebab utama climate change dapat dicegah pula.
Jika hal ini terjadi, tentu akan dibuktikan bahwa manusia sekarang (Homo sapiens) adalah spesies yang bijak. Jika hal ini terjadi, peralihan evolusioner penggunaan energi dari otot ke otak oleh manusia tidak sia-sia.[2]
Pandemi COVID-19 dan Climate Change