Bisnis ayam petelur sepertinya tak akan ada matinya. Apalagi, tingkat konsumsi akan daging dan telur di Indonesia tergolong masih rendah, dibanding kebutuhan gizi maupun konsumsi negara lain. Atas dasar ini, Nela Abdika Zamri berbisnis ayam petelur. Bahkan kini ia telah memiliki 10 ribu ayam petelur dengan omzetnya per bulan puluhan juta.
Anak nagari jadi sarjana tidak luar biasa. Tapi sarjana asal nagari yang pulang kampung dan sukses membangun nagarinya bisa dibilang langka. Nela Abdika Zamri, dokter hewan asal Jorong Pauahsangik, Kecamatan Akabiluru, Kabupaten Limapuluh Kota, salah satunya.
Dengan ilmu yang ia peroleh dari Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana, Bali, ia mengubah nagarinya menjadi sentra peternakan ayam petelur. Bahkan, ia mendapatkan dukungan dari keluarga dalam menjalankan usaha peternakan ayam petelur ini.
“Saya sendiri tamat kuliah 2010. Waktu itu usai tamat kuliah, sempat juga berpikiran mau kerja di swasta beberapa tahun untuk mencari pengalaman dan baru pulang kampung. Tapi, orangtua tak mengizinkan akhirnya tercetus ide membuka usaha peternakan ayam petelur,” ujar Nela Abdika Zamri, kepada Padang Ekspres, akhir pekan lalu.
Dengan modal Rp 250 juta bantuan perbankan, kata Nela, ia memulai usaha peternakan ayam petelur di kampungnya akhir tahun 2010. Tak hanya modal uang, bekal ilmu saat kuliah dan basic dokter hewan cukup menunjang usaha peternakan ayam petelur ini.
“Saya merasakan dan ingin membuktikan juga bahwa peternakan itu berbeda kalau dikelola oleh orang yang punya ilmunya,” ujar putri sulung dari pasangan Lizamri dan Wirdayati ini.
Nela sengaja memilih lokasi yang jauh dengan permukiman penduduk agar ia dapat lebih konsen mengembangkan usahanya. Terlebih lagi, memelihara ayam petelur sangat cocok dilakukan di lokasi yang tenang serta keadaan alamnya yang dingin. “Saya ingin menikmati hidup dengan tenang dan damai, tetapi bisa memberikan kontribusi riil bagi pembangunan daerah,” katanya.
Nela mengatakan alhamdulillah, dalam tempo satu tahun, ia sudah bisa menunjukkan usaha ternak ayam bisa menghasilkan banyak keuntungan. “Apalagi, kalau harga telur naik selalu senyum sepanjang hari,” tutur wanita kelahiran tahun 1987 ini.
Tak hanya suka saja, sebut Nela, dirinya juga mengalami berbagai duka dalam menjalankan usaha peternakan ayam petelur. “Dulu pernah saya sering mengalami rugi bahkan sampai bangkrut ketika beternak ayam broiler. Tapi bagi saya ini cambuk untuk terus bangkit, coba dan coba usaha peternakan ayam ini,” ucapnya.
Ketika bangkit, Nela pun membidik usaha peternakan ayam petelur. Di saat beternak ayam petelur tersebut, ia juga mengalami berbagai risiko. “Kalau di ayam petelur ini ketika harga pakan naik drastis. Termasuk juga ketika harga telur ayam turun. Bisa menangis kalau mengetahui merugi,” ungkap Nela.
Dengan semangat untuk bangkit dan coba, usaha peternakan ayam petelur ini pun tetap dijalankan. “Alhamdulillah, jumlah ayam petelur ini pun tiap tahun meningkat dan berimbas juga pada peningkatan jumlah kandang. Bahkan, ada dua pekerja yang membantu dalam usaha ini,” tuturnya yang memiliki moto “aku mau aku yakin aku bisa” ini.
Secara kualitas, kata Nela, telur ayam produksinya lebih bermutu dan lebih murah bila dibandingkan telur lainnya. Dalam pemasarannya, telur ayamnya masih segar karena setiap pagi telur yang dipasarkan adalah telur baru. Vitaminnya lebih terjamin. “Soal harga, relatif standar,” ujarnya.
Menurutnya, permintaan telur di pasar tidak akan pernah habis. Semua masyarakat, baik orang kaya maupun miskin, keduanya mengonsumsi telur. (***) Bisnis Ayam Petelur http://indofarminvestor.com/indonesia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H