(Tiup Lilinmu bukan berarti panjang umurmu)
1. Tiupan Lilin Terakhir
      Dia seorang anak dari sebuah keluarga kecil yang kaya raya. Dia juga merupakan anak tunggal yang tentunya sangat disayang dan dimanja oleh orang tuanya. Apapun yang ia minta, tentu dikabulkan. Hanya saja, setiap hari pertambahan usianya ia sering  tidak ditemani orangtuanya. Maklum, kedua orangtuanya merupakan pekerja keras yang cukup sibuk. Tiap ulangtahun, ia hanya diberi kue blackforest dank ado yang dibungkus cantik tanpa menemaninya merayakannya.
      "Sayang", panggil mamanya dari meja makan.
      Gadis mungil itu masih terlelap di kamarnya yang berada di lantai 2.
      "Sayang", panggil mamanya sekali lagi.
Mamanya yang baru saja memasak makanan kesukaan anaknya itu akhirnya melangkah menaiki tangga menuju kamarnya.
"Tok tok tok!", mamanya mengetuk pintu. Namun tidak ada respon sama sekali.
Dengan terpaksa mamanya membuka pintu dan membangunkannya.
"Sayang, bangun. Kita makan yuk!"
"Ma, aku masih ngantuk", gadis kecil itu mengeluh sembari mengucek matanya.
"Tapi ini masih jam 7 malam. Kita makan dulu ya ...."
"Ma ..."
"Nanti kalau udah makan, kerjakan PR, baru kamu tidur lagi. Terlalu banyak tidur juga nggak bagus untukmu nak".
"Hmm ... iya deh, ma".
Dengan keadaan masih menguap dan matanya masih terlihat sayu, ia turun perlahan dituntun mamanya.
"Ma, sekarang kita makan apa?"
"Sekarang, mama masakin ayam goring kesukaan kamu"
"Hore ....", soraknya sambil menguap.
"Kamu masih mengantuk? Sayang, sekarang di rumah ini hanya ada kamu dan mama. Papa mu bekerja diluar kota untuk keperluan bisnis. Bi Ipah juga pulang kampung jenguk anaknya yang lagi sakit. Jadi, kamu harus biasakan jangan terlalu banyak tidur, kerjakan sesuatu yang kamu bisa sendiri. Kamu harus jadi anak mandiri. Kamu tidak bisa selalu mengandalkan Bi Ipah atau mama karena mama juga ada kesibukan. Mengerti?"
"Hmm ... iya deh ma".
"Oh ya. Ma, besok aku ulangtahun"
"Iya, jadi?"
"aku mau diulangtahun aku, mama beliin aku kue ulangtahun dan temani aku merayakannya".
"Ayolah ma. Masa diulangtahunku sekarang ditinggal terus. Kalau papa nggak bisa datang, seenggaknya ada mama yang temani aku", mata anak kecil itu berbinar berharap permintaannya dikabulkan.
"Iya sayang".
Hari yang ditunggu telah tiba. Tapi ia belum juga merasakan hari yang bahagia itu. Seperti yang diharapkannya. Saat itu malam hari, dia tidak tidur seperti biasanya. Dia hanya berdiam di kamar. Menunggu mamanya. Karena tidak sabaran, akhirnya ia keluar dari kamarnya. Namun baru saja keluar, lampu rumahnya tiba -- tiba padam. Itu yang ditakutkannya. Ia memang takut pada kegelapan, terutama pada waktu malam yang gelap gulita. Itu sebabnya ketika malam hari ia lebih memilih tidur daripada melakukan aktivitas seperti makan, mengerjakan PR, atau aktivitaslainnya.
Ruangan di sekitar rumahnya benar -- benar gelap gulita. Membuat gadis kecil itu menangis ketakutan sambil terus berjalan menuruni tangga perlahan.
"Ma!"
"Mama!"
"Ma!"
Gadis itu berulang kali memanggil mamanya. Tapi tak ada suara yang menyahutnya. Tiba -- tiba terdengar seperti suara pintu rumah terbuka. Dia tetap berjalan walaupun ia ketakutan.
"Sayang ... sayang ....", tiba -- tiba terdengar seperti bisikan. Hal itu membuat bulu kuduk anak itu merinding.
"Ma, mama! Itu mama, kan?"
"Sayang ....", suara it uterus berdengung ditelinganya.
"Mama!", dia menjerit seketika.
 Happy Birthday to you
Happy Birthday to you
Happy Birthday Happy Birthday
Happy Birthday to you
Seketika ia mengusap air matanya. Ia terkejut oleh tingkah mamanya.
"Selamat ulangtahun sayang. Maafin mama ya nak. Mama bikin kamu takut, ya?"
"Jelas aku takut lah, ma. Mama bikin aku jantungan aja, deh".
"Sekarang, tiup lilinmu".
Gadis kecil itu memejamkan mata sejenak. Menarik napas panjang akibat terkejut. Lalu lilin itu ditiupnya perlahan.
"Makasih mama. Ma, kok pake acara matiin lampu segala? Kan aku jadi takut".
"Mama nggak matiin lampu. Mungkin ada aliran".
Mereka bersenda gurau merayakan hari jadi putri semata wayangnya. Sayang sekali, senyuman mereka hanya berlangsung sebentar. Hingga dua orang bertopeng hitam itu masuk kedalam kediaman mereka. menendang pintu dengan kasarnya. Senjata yang dibawanya, ditodongkannya ke arah mereka.
"Hey, Serahkan harta kalian!"
"Ma, aku takut", gadis itu memeluk mamanya. Mamanya segera menggendongnya.
"Hey, ngapain bengong? Cepat serahkan! Atau kalian tidak selamat".
"I ... iya, iya".
Wanita yang menggendong anaknya itu dengan sigap menuju gudang.
Ia kembali, tapi bukan uang yang dibawanya. Melainkan sebongkah kayu yang dipukul ke arah mereka.
Sayangnya, salah satu dari perampok itu melemparkan sebilah pisau dan benda tajam itu menancap di dadanya. Wanita itu tersungkur seketika. Sambil menangis memanggil mamanya, gadis kecil itu berlari. Hendak meminta pertolongan. Perampok yang kalap itu langsung mengejar dan menembakkan pistol ke arahnya. Gadis malang itu tergeletak di lantai dengan luka tembak dipunggungnya. Dua penghuni rumah itu menghembuskan napas terakhir. Sedangkan kedua perampok yang tak kenal kasihan itu sibuk mencari harta dan pergi dengan sigapnya.
Kalian bisa bayangkan. Manusia macam apa yang tega menghabisi nyawa orang - orang tidak  bersalah demi kertas berharga. Benda yang dianggap segalanya, bisa menguasai dunia, bahkan bisa membutakan mata serta hati nurani. Mereka bersuka ria mengambil seluruh harta yang bukan hak, sedangkan dua jenazah yang mati konyol itu dibiarkan begitu saja tergeletak dilantai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H