gerakkan dancenya, oke!", Mia berceloteh menggodanya. "Oh, boleh boleh. Hehehe ...."
Lagu itu benar -- benar menghapus kesedihannya.Sepertinya lagu itu sudah menjadi pelangi setelah awan badai menghujam pikirannya.Hahaha ... seperti dalam cerita kartun saja.Sayangnya, pelangi itu hanya sebentar saja bersinar di otaknya. Akhirnya ia menyadari, gerak -- geriknya diperhatikan dua anak kecil. Sepertinya mereka orang yang meledek Ketrin tadi.
"Hahaha ... dasar orang gila!", anak -- anak itu menertawakannya sambil menatap sinis ke arahnya. "Heh! Si Ucup suka", salah seorang diantara mereka menegur Ketrin dengan bahasa yang sama sekali tidak pantas dilontarkan. Terutama kepada orang yang usianya diatasnya."Eh, enak aja! Kamu yang suka sama orang sinting itu!", anak kecil yang satu lagi berceloteh sambil meledek Ketrin. "Tadi ngomong apa?", akhirnya Ketrin menghampiri kedua anak itu dengan raut wajah yang tajam. Kemarahannya mulai terlihat."Apa? Nggak dengar, ya?", anak kecil itu kian menantang kesabarannya. "Budeg kali sama kegilaannya. Hahaha ...", anak kecil yang satunya lagi menambahkan untuk menggodanya. "Bisa berbicara sopan?", Ketrin semakin ter pancing amarahnya. "Nggak!Kenapa? Marah?", mereka semakin menjadi -- jadi. "Kalian bisa nggak ngeledekin aku?Aku nggak pernah ganggu kalian.Jadi kalian jangan ganggu aku pake ledekkan kalian. Itu mengganggu aku tau, nggak?", Ketrin menegaskan. "Eh! Emang kenyataannya kalau situ gila. Ngomong sama HP, di sini nyanyi -- nyanyi sendiri. Harusnya situ jangan disini, tapi di Rumah Sakit Jiwa. Hahaha ....", mereka semakin menyolot. "Kalian bilang apa? Temanku gila? Eh, temanku nggak gila. Kalian yang gila! Dia ngobrol sama HP itu karena tadi dia teleponan sama aku. Dia nyanyi nggak sendiri. Dia nyanyi bareng sama aku. Kalian diajarin untuk nggak ngebully orang nggak, sih ?Seenaknya kalau ngomong. Dengerin, ya! Kalian nggak boleh seenaknya ngehina orang sementara orang itu nggak pernah ngehina kalian. Mengerti?", Mia menegaskan panjang lebar membela sahabat karibnya. "Huuuh!Berlindung dibawah ketiak teman", mereka menyoraki Ketrin sekali lagi."Awas, ya! Ngomong kayak gitu lagi kualat kalian!", Mia meneriaki mereka.
Anak -- anak kecil itu meninggalkan tempat itu dengan perasaan kesal.Tak lama kemudian, Ketrin dan Mia pun turut meninggalkan tempat itu.Mereka melangkah per lahan -- lahan sambil bercengkrama.Mencoba mengalihkan suasana yang memanas.
Tiba -- tiba langit bergemuruh.Mengeluarkan suara gemuruh yang terkenal keributannya menyambut datangnya hujan.Angin pun ikut bertiup kencang.Akhirnya mereka memutuskan untuk berteduh dahulu.
"Hujan memang bikin banyak orang lari untuk berteduh karena datangnya keroyokkan", Ketrin berceloteh."Iya, benar juga.Hahaha ...kamu bisa aja", Mia sedikit terhibur ditengah -- tengah hujan."Ketrin, kok kamu tiba -- tiba diam lagi? Masih kepikir an yang tadi, ya?", Mia memperhatikan raut wajahnya yang murung. "I ... iya, Mia", jawab Ketrin pelan. "Jadi, yang awal datang ke Kafe kamu melamun itu gara -- gara kelakuan anak -- anak itu?", Mia penasaran. "Iya, Mia", jawabnya secara singkat.
"Coba kamu ceritakan", kata Mia."Awalnya saat aku teleponan sama kamu.Emang sih, aku teleponannya sambil senyum -- senyum.Tapi menurutku itu hanya senyum biasa, kok.Tapi nggak tau kenapa tiba -- tiba mereka menyebutku gila, dan ejekkan -- ejekkan lainnya.Itu yang membuatku menjadi kaku dan tidak percaya diri.Setiap aku berjalan, aku pasti memalingkan wajah atau menundukkan kepala bila melihat anak kecil.Aku merasa setiap ungkapan yang ingin aku lontarkan lewat ekspresi selalu menjadi bahan pergunjingan. Bahkan ketika aku diam sama aja. Selalu dijadikan cemoohan.Aku merasa sudah tidak betah lagi tinggal di lingkungan sekitar tempat tinggalku", akhirnya Ketrin mau menceritakannya."Menurutku kamu sama sekali nggak salah.Setiap orang bebas mengeluarkan ekspresinya. Itu kan hak setiap orang. Selama hal itu tidak meng ganggu orang lain. Mereka juga tidak seharusnya bersikap seperti tadi. Itu akan mem buat orang yang dicemoohnya menjadi tertekan. Mereka harus memikirkan dampak dari apa yang mereka perbuat. Sekarang kamu tenang aja. Cepat atau lambat mereka akan kena batunya. Ingat, hukum karma pasti berlaku", Mia memberikan solusi dan mencoba menghiburnya."Terimakasih ya, Mia.Kamu bisa bikin aku jadi tenang", Ketrin mencoba menghapus kesedihannya. "Sama -- sama. Apa sih yang nggak buat sahabatku?", Mia pun ikut tersenyum.
Hujan masih turun deras.Gemuruh pun masih menyeringai ditemani kilat.Langit pun masih menunjukkan kegelapannya. Tapi, semua itu sudah tak seperti perasaan Ketrin yang tetap berpelangi setelah sesuatu yang menerpanya sirna.Semua itu karena kesetiaan sahabat yang menemaninya.Senang maupun sedih.
"Kriiing!" Jam itu pun membangunkan Ketrin. Ternyata hanya mimpi. Tapi, mimpi itu bukan hanya sekedar hiburan selama ia terlelap. Mimpi itu seperti menceritakan kisahnya di masa lalu.Membuatnya kembali terdiam dengan tatapan melamun. Namun lama -- kelamaan ia mengalihkan pikirannya dengan melihat tugasnya.
"Alamak!Belum selesai. Gara -- gara aku ketiduran, sih! Aku benerin dulu, ah ....", Ketrin mengeluh sejenak.
Perlengkapan tugasnya pun ia bawa kembali ke teras rumahnya. Langit yang kembali cerah mendukungnya untuk berkonsentrasi.Menemukan kata -- kata baru.