"Itu puisi karya kakak, ya?", tanya salah seorang lelaki itu. "Iya, puisi ini mewakili perasaanku.Aku juga dulunya mengalami seperti kalian.Bahkan ketika di kafe, ada dua anak laki -- laki dengan seenaknya menghinaku dengan sebutan orang gila.Padahal aku sama sekali nggak pernah mengganggu mereka", Ketrin menjelaskan.
      Mereka perhatikan dengan seksama puisi itu.Tak lama kemudian, mereka menyadari sesuatu.
     "Kak, maafin kami, ya.Kami sudah pernah menghina kakak dulu.Kami lah dua anak laki -- laki itu.Sekarang, kami merasakan apa yang dirasakan kakak dulu", mereka mengucapkannya sungguh -- sungguh."Iya, yang penting ini menjadi pelajaran bagi kalian", Ketrin berkata singkat.
     Mereka pulang dengan lega.Ketrin sudah membukakan pintu maafnya.Sungguh indah hidup ini bila tidak ada mulut -- mulut tajam menghujam.Memang, mulut adalah alat yang paling tajam dibandingkan dengan benda tajam lainnya. Hanya bagaimana caranya kita mengendalikannya agar tidak melukai perasaan orang lain. Ingat, mulutmu harimaumu!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H