Sebagai seorang Muslim, adalah kewajiban setiap manusia untuk membaca dan mempelajari Al-Qur'an. Al-qur'an adalah kalamullah yang istilahnya berasal dari bahasa arab yang artinya membaca. Al-Qur'an diturunkan kepada Nabi Muhammad melalui perantara malaikat Jibril yang dijadikan pedoman hidup di dunia oleh manusia.
Hukum membaca dan mempelajari Al-Qur'an bagi umat Islam adalah wajib, sebagaimana dibuktikan oleh Hadits Sejarah Muslim yang mengatakan "Bacalah Al-Qur'an! Karena akan datang pada hari kiamat sebagai pemberi syafaat bagi yang membacanya" .
Sejak kecil, anak-anak di desa saya sudah diajarkan membaca Al-Qur'an atau biasa dikenal dengan Al-Qur'an. Pada tahap awal belajar membaca Al-Qur'an, terlebih dahulu belajar membaca kitab iqro'. Kitab iqro' berisi enam jilid yang biasanya dijual terpisah dengan warna yang berbeda-beda atau ada juga yang menjual enam jilid dalam satu kitab. Iqro' 1 atau jilid pertama berisi tentang pelajaran huruf hijaiyyah dengan penulisan yang paling mudah yaitu secara terpisah.
Huruf hijaiyyah sendiri memiliki 29 huruf tanpa termasuk lam alif yang merupakan gabungan dari dua huruf. Setiap jilid kitab Iqro' memiliki kesulitannya masing-masing dimana semakin mendekati jilid enam maka kesulitan belajarnya semakin meningkat.
Jika sudah selesai dan sudah bisa membaca dan memahami kitab Iqra' di setiap jilidnya, bisa dipastikan membaca Al-Qur'an akan lebih mudah.
Namun, tetap ada hukum bacaan atau tajwid yang harus dipelajari agar bacaan Al-Qur'an yang kita baca benar. Karena jika salah dalam melafalkan bacaan-bacaan dalam Al-Qur'an, maka maknanya akan berbeda.
Ayah dan ibu saya mengajari saya Al-Qur'an sejak kecil. Sekitar usia 8 hingga 10 tahun, saya mengaji di TPQ masjid dekat rumah saya. Saya di ajar oleh Pak Ilham, Beliau adalah guru Al-Qur'an yang juga mengajari saya membaca Al-Qur'an, menghafal surat-surat pendek, dan doa-doa sehari-hari.
Beliau baik sekali, dengan sabar dalam mengajar. Beliau pun sering memberi hadiah kepada santrinya yang bisa menghafalkan surat-surat pendek ataupun doa sehari-hari. Beliau juga mengajarkan bagaimana adab yang baiik seorang santri terhadap gurunya.
Beliau mengambil isi dari Kitab Adabul Alim wal Mutaalim Karya KH. Hasyim Asyari yang diantaranya berisi sebagai berikut :
Pertama, melamun, berpikir dalam-dalam dan kemudian melakukan sholat istikharah, kepada siapa dia harus mengambil ilmu dan mencari akhlak yang baik darinya. Jika memungkinkan seorang siswa, hendaknya memilih guru yang sesuai dengan bidangnya, ia juga memiliki sifat penyayang, menjaga muru'ah (etika), menjaga dari perbuatan yang merendahkan harkat dan martabat seorang guru. Dia juga seorang guru yang baik dalam metode pengajaran dan pemahaman. sebagian ulama salaf: “Ilmu adalah agama, maka perhatikanlah siapa yang kamu ambil atau pelajari dari agamamu”.
Kedua, serius dalam mencari guru, ia adalah orang yang memiliki perhatian khusus terhadap ilmu syari'at dan termasuk orang yang dipercaya oleh guru pada masanya, sering berdiskusi dan menghabiskan waktu lama dalam kelompok diskusi, bukan orang yang mengambil ilmu berdasarkan makna yang tertera dalam sebuah teks dan tidak diketahui oleh guru yang memiliki tingkat kecerdasan yang tinggi. Imam kita Al-Syafi'i berkata: "Barangsiapa yang mempelajari ilmu fiqh hanya memahami makna yang eksplisit, maka dia telah menyia-nyiakan beberapa hukum".
Ketiga, patuhi guru dalam segala hal dan tidak keluar dari nasehat dan aturannya. Padahal, hubungan antara guru dan murid harus seperti pasien dengan spesialis. Maka ia meminta resep sesuai nasehatnya dan selalu berusaha semaksimal mungkin untuk menghilangkan apa yang ia lakukan dan serius untuk menghormatinya dan mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan melayaninya. Seorang siswa harus tahu bahwa merendahkan dirinya di depan gurunya adalah suatu keutamaan, tunduk kepada gurunya adalah kebanggaan dan tawadlu' di depannya adalah ketinggiannya.
Keempat, memandang guru dengan pandangan bahwa ia adalah orang yang harus dimuliakan dan dihormati serta meyakini bahwa guru memiliki derajat yang sempurna. Karena pandangan seperti itu paling dekat dengan kemaslahatan ilmunya. Abu Yusuf berkata: "Saya mendengar para ulama salaf berkata: "Barangsiapa tidak memiliki keyakinan (i'tiqad) tentang kemuliaan gurunya, maka dia tidak akan bahagia. Jadi bagi siswa jangan memanggil guru menggunakan ta' khitab (baca: kamu) dan kaf khitab (mu), dia juga tidak memanggil dengan namanya. Bahkan dia harus memanggil dengan: “Ya sayyidi”, wahai tuanku atau “Yaa Ustadzi”, wahai guruku. Juga ketika seorang guru tidak berada di tempat, murid tidak boleh memanggilnya dengan namanya kecuali nama itu disertai dengan sebutan yang memberikan pemahaman tentang kebesaran seorang guru, seperti apa yang dikatakan murid itu: “Al Syekh Al Ustadz mengatakan ini, ini" atau "kata guru kita" dan seterusnya.
Kelima, santri harus mengetahui kewajibannya kepada gurunya dan tidak pernah melupakan jasa, keagungan dan kemuliaannya, serta selalu mendoakan gurunya baik ketika dia masih hidup maupun setelah dia meninggal.
Selalu menjaga keturunannya, kerabatnya dan orang-orang yang dicintainya, dan selalu menekankan pada dirinya sendiri untuk selalu berziarah ke makamnya untuk memohon ampun, memberikan sedekah atas namanya, selalu menunjukkan sopan santun dan memberi petunjuk kepada orang lain yang membutuhkannya, selain itu Oleh karena itu, peserta didik harus selalu menjaga adat, tradisi dan kebiasaan yang telah dilakukan oleh gurunya baik dalam masalah agama maupun dalam ilmu pengetahuan, dan menggunakan akhlak seperti yang telah dilakukan oleh guru, selalu setia, tunduk dan patuh kepadanya dalam keadaan apapun. dan dimanapun dia berada. .
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H